Thursday, November 29, 2012

KONFLIK KALIMANTAN BARAT 1996-1997

Zamzam Muhammad Fuad

Pendahuluan
Etnisitas dan integrasi nasional merupakan dua elemen vital yang menyangga eksistensi negara bangsa, khususnya bagi negara sebesar Indonesia. Etnisitas merupakan sebuah komunitas hidup yang telah ada sejak purba hingga sekarang dan memiliki gerak dinamis. Sedangkan yang integrasi nasional adalah hasil dari gerakan dinamis tersebut. Apabila kehilangan salah satu saja, republik ini akan hancur lebur. Oleh karena itulah, Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan republik ini. “Bhineka” adalah ekspresi pengakuan terhadap adanya etnisitas. Sedangkan “Tunggal Ika” mengekspresikan ikatan keragaman antar etnis dalam sebuah komitmen untuk hidup bersama. Di tengah-tengah antara Bhineka dan Tunggal Ika terdapat sebuah proses yang bernama integrasi.

Dalam integrasi akan ditemukan adanya proses kompromi antar etnis-etnis untuk membentuk sebuah komitmen bersama. Kompromi ini tidak harus dilakukan dengan penandatanganan kontrak, melainkan akan bergerak secara halus, perlahan, dinamis-organis. Apabila kompromi ini berjalan lancar, maka lahirnya negara bangsa merupakan sebuah keniscayaan. Dalam interaksi antar etnis pula itulah akan tercipta sebuah model masyarakat baru, yaitu masyarakat sipil: masyarakat yang meninggalkan sentimen kedaerahannya (primordial sentiment), menuju perasaan satu bangsa (nationality). Proses menjadi masyarakat baru inilah yang dinamakan Geertz sebagai integrative revolution, yang diintepretasikan oleh Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi sebagai ”suatu gerak integrasi masyarakat ke dalam ikatan-ikatan kultural yang lebih luas yang mendukung pemerintahan nasional” (Amal dan Armawi, 1998: x).
Sebagai sebuah proses, integrative revolution tidak selalu berjalan dengan lancar. Selalu ada dinamika di dalamnya. Proses tersebut bisa retak apabila masing-masing pihak tidak dapat menemukan kompromi yang bisa diterima bersama. Kelancaran proses tersebut bergantung pada terjembataninya kepentingan masing-masing pihak –dalam hal ini etnis –, baik itu kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya. Dalam hal ini, negara bertugas sebagai aktor utama dalam mengupayakan terhindarnya konflik, dan lebih dari itu, mengupayakan integrasi nasional. Apabila kompromi tidak dapat tercipta, maka konflik akan menjadi niscaya, dan disintegrasi dapat menyusul di belakangnya. Oleh karena itulah ketahanan nasional mensyaratkan adanya proses integrasi yang mantap (Amal dan Armawi, 1998: x).

Takdir Kemajemukan

Indonesia merupakan negara bangsa yang majemuk. Pernyataan ini seolah-olah klise dan karikatural. Namun, itulah faktanya. Oleh karena itu, mengelola keanekaragaman menjadi kunci dalam mengelola Indonesia. Sejak zaman prakolonial hingga sekarang, mengelola keanekaragaman selalu menjadi perhatian serius oleh intelektual, pemerintah, masyarkaat yang ada di atas tanah nusantara ini: di zaman prakolonial, Empu Tantular menuliskan tentang Bhineka Tunggal Ika; pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi pemilahan penduduk; pejuang kemerdekaan menggagas ide persatuan; Orde Baru menerbitkan kampanye anti-Sara; pasca reformasi mempromosikan gagasan pluralisme. Semua ini menunjukkan bahwa pengelolalaan terhadap keberagaman merupakan pekerjaan rumah bagi setiap manusia Indonesia. 

Kalau mengelola keberagaman masih menjadi persoalan sentral di Indonesia, maka dapat juga dikatakan bahwa konflik-konflik antar etnis masih mengemuka di Indonesia. Sejak hampir terbit reformasi hingga sekarang, telah muncul berbagai macam konflik etnis. Untuk menyebut beberapa saja, ada konflik antara suku Melayu melawan Madura di Sambas; suku Dayak melawan Madura di Sambas; Suku Dayak melawan Madura di Kalteng; penganut agama Kristen Timor-timur melawan suku Buton Bugis Makassar di Kupang yang berakhir dengan konflik antar agama; etnis Ambon dengan Buton Bugis Makassar di Ambon yang berakhir dengan konflik agama; antara berbagai kelompok etnis di Maluku Utara; dan antara beberapa kelompok etnis di Poso. 

Beberapa konflik di atas, ada yang berbasis agama, ada pula yang lebih pada berbasis etnis. Namun, seringkali kedua hal itu saling tumpang tindih. Maksudnya, bisa jadi dalam sebuah konflik etnis juga menyimpan dimensi pertikaian antar agama. Sebaliknya, konflik agama juga mengandung selubung persaingan antar etnis. Dibutuhkan suatu ketrampilan mata elang untuk melihat benang kusut akar masalah sebuah konflik. Inilah yang menjadi tantangan para intelektual, pemerintah dan segala elemen masyarakat untuk mencari akar persoalan konflik-konflik yang ada.

Pendekatan Ekonomi Politik dalam Studi Konflik
Sebelum lebih jauh melangkah untuk mereflesikan dan menganalisis konflik-konflik etnis yang terjadi di Indonesia, terlebih dahulu akan dipaparkan pendekatan yang akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan. Terkait dengan hal ini, pendekatan ekonomi politik akan dipilih sebagai alat analisis untuk membedah permasalahan konflik di Indonesia.

Bukan hendak mengerdilkan perspektif, namun pendekatan ekonomi politik adalah pendekatan yang dialeniasi dalam studi konflik Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Kebanyakan dari studi konflik etnis di Indonesia berlandaskan pada pendekatan budaya. Misalnya, budaya kekerasan etnis Madura, etnis makassar, etnis aceh dsb. Dalam pendekatan budaya, konflik seolah-olah dipandang sebagai fenomena yang muncul karena adanya budaya asali kekerasan yang melekat pada etnis tertentu. Tentu saja ini tidak salah. Namun, mengikuti pendapat Frances Stewart:

...pendekatan budaya tidak memberi harapan sama sekali bahwa konflik dapat dicegah –selain dari, barangkali, memisahkan suku-suku yang bertarung. Dalam kenyataannya, banyak pula masyarakat multi suku yang hidup berdampingan tanpa konflik besar. Ini menunjukkan bahwa penjelasan murni dari sudut budaya tidak tepat (Stewart., 2005: 188). 

Dalam studi konflik Indonesia, ditinggalkannya pendekatan ekonomi politik merupakan implikasi dari diharamkannya ideologi Marxisme di Indonesia. Bahkan, tidak hanya dalam studi konflik saja, dalam studi ekonomi politik pembangunan sekalipun pendekatan marxis dianggap tidak ramah bagi rezim Orde Baru. Pengharaman terhadap pendekatan dalam memahami fenomena konflik inilah yang bisa jadi menjadi salah satu faktor kegagalan negara dalam mencari akar dan penyelesaian konflik. Kalau pendekatan ekonomi politik telah diharamkan sejak Orde Baru, maka penggunaan pendekatan ekonomi politik bukan sebuah upaya untuk mengerdilkan realitas. Justru sebaliknya, menggunakan pendekatan ekonomi politik adalah upaya untuk meluaskan cakrawala dalam mengamati konflik. Begitu juga tulisan ini juga berusaha untuk melihat konflik etnis melalui pendekatan ekonomi politik.

Dalam studi konflik, ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial budaya antar etnis merupakan faktor pemicu konflik. Menurut E. Brown, faktor ekonomi politik dan sosial budaya adalah faktor pokok yang dapat memicu konflik (dalam Widjajanto dkk., 2007:158). Terkait dengan hal ini, yang dimaksud ketimpangan politik adalah tidak meratanya akses politik di antara masing-masing etnis. Sedangkan ketimpangan ekonomi adalah tidak meratanya penguasaan sumber daya ekonomi di antara etnis. Sementara itu, ketimpangan sosial-budaya adalah adanya diskriminasi terhadap identitas suatu etnis oleh etnis yang lain.

Dalam banyak kasus, ketimpangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam arti, ketimpangan ekonomi dapat memicu ketimpangan politik dan sosial budaya. Ketimpangan politik dapat memicu ketimpangan ekonomi dan sosial. Sama halnya ketimpangan sosial dapat memicu ketimpangan politik dan ekonomi. Semua itu dapat menjadi sebuah rangkaian yang sulit dilihat secara kasat mata. Konflik maluku, misalnya terjadi karena adanya pendalaman (deepening) diskriminasi politik, ekonomi, sosial yang antara pihak-pihak yang bertikai. Bahkan, sentimen agama dan sentimen ras juga bertumpuk-tumpuk menjadi satu.

Agar lebih fokus dan terarah, saya akan meminjam kerangka analisis pendekatan ekonomi politik studi konflik a la Frances Stewart. Dalam studinya, Stewart menggunakan 4 hipotesa dalam menganalisis konflik etnis dengan pendekatan ekonomi politik. Pertama, motivasi kelompok dan kesenjangan horizontal. Hipotesa ini menggambarkan bahwa konflik disebabkan oleh memuncaknya semangat antara kelompok-kelompok yang ingin mengendalikan atau menguasai sumber-sumber daya politik ekonomi yang terbatas, misal pertambangan minyak atau mineral. Artinya, konflik kelas inheren dalam konflik etnis. Stewart tidak percaya bahwa konflik antar etnis hampir selalu tampil dalam wajah memperebutkan hal yang mendasar menyangkut distribusi kekuasaan, politik atau keduanya. Konflik antar kelompok etnis tidak hanya dipancing oleh kelompok etnis yang minor secara ekonomi politik, namun juga bisa dipancing oleh kolompok etnis yang memiliki keunggulan sumber daya ekonomi politik. Sebab, kelompok yang memiliki sumber daya politik ekonomi juga cenderung untuk mempertahankan kekuasannya (Stewart, 2005: 191-192).

Kedua, motivasi perorangan. Dalam hipotesa ini, motivasi pribadi menjadi penyebab yang paling mendasar. Hipotesa ini berangkat dari asumsi bahwa terdapat fakta bahwa perang dapat menciptakan keuntungan ekonomi bagi seseorang. Karena motif inilah, seseorang dapat terdorong ikut bertempur. Misalnya, perang dapat mendorong anak muda tak berpendidikan untuk mendapat gaji/hasil jarahan sebagai serdadu. Hipotesa ini hampir mirip dengan hipotesa pertama. Sebab, perang/kerusuhan juga akan dilakukan secara berkelompok. Namun, yang membedakan adalah motivasi pribadi –bukan loyalitas kelompok– menjadi alasan seseorang untuk berperang (Stewart, 2005: 192).

Ketiga, kontrak sosial yang gagal. Hipotesa ini mengandaikan bahwa negara telah gagal dalam memainkan perannya dalam kontrak sosial. Negara telah gagal dalam mendistribusikan aset ekonomi dan politik secara merata di antara kelompok-kelompok etnis yang ada. Selain itu, pendekatan ini mencermati implikasi ekonomi politik terhadap etnis dalam setiap kebijakan negara. Misalnya, kebijakan transmigrasi bisa berdampak pada akses ekonomi politik etnis tertentu.

Ketidakpuasan terhadap sebuah kebijakan negara akan memancing kelompok etnis menyerang sang pengampu otoritas untuk menuntut haknya, bahkan beberapa kasus ada yang berujung pada disintegrasi. Konflik Balkan menjadi contoh par excellence. Namun perlu dicatat bahwa hipotesa ini tidak hanya mencakup pada unit analisis kelompok etnis vs negara secara hitam putih. Pasalnya, negara bisa juga mensponsori salah satu kelompok etnis untuk bertikai dengan kelompok lain. Dalam kondisi ini, tentu saja unit analisisnya adalah kelompok etnis vs kelompok etnis (Stewart, 2005: 193-194).

Keempat, hipotesis perang hijau. Hipotesa ini mengandaikan bahwa konflik terjadi karena adanya kerusakan lingkungan yang menyebabkan etnis tertentu mengalami pemiskinan. Hipotesa ini merujuk pada faktor-faktor yang spesifik dalam wacana lingkungan hidup, seperti perebutan lahan pertanian, lahan perkebunan, sumber air, dsb (Stewart, 2005: 194-195).

Dalam beberapa kasus konflik, keempat hipotesa ini dapat digunakan sekaligus. Namun yang mesti digarisbawahi sekali lagi adalah bahwa keempat hipotesa ini meyakini bahwa konflik dipicu oleh kelompok/individu etnis untuk memperebutkan sumber daya ekonomi politik yang terbatas dan tidak terdistribusi secara adil.

Setelah dipaparkan pisau analisis yang digunakan, saya akan merefleksikan dan mencoba untuk menganalisis salah satu konflik etnis yang pernah terjadi di Indonesia. Tentu saja, saya tidak hendak menganalisis semua konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Sebab, tulisan ini secara khusus bertujuan untuk menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi politik sangat relevan untuk mencari akar konflik di Indonesia. Lebih jauh lagi, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi politik merupakan faktor yang menjadi akar permasalahan dalam beberapa konflik etnis yang terjadi di Indonesia. Agar lebih kontekstual, kasus yang akan dipilih merupakan konflik kekerasan etnis Dayak melawan Madura di Kalimantan Barat sepanjang tahun 1996-1997.

Kasus Kekerasan Etnis Dayak Melawan Madura di Kalimantan Barat
Menjelang terbit reformasi, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang mengalami 2 konflik besar yang mengarah pada tindak kekerasan yang sangat serius. Konflik kekerasan pertama melibatkan etnis Dayak melawan Madura. Sedangkan yang satu lagi melibatkan etnis Melayu melawan Madura. Terkait dengan itu, tulisan ini akan menyoroti konflik antara etnis Dayak melawan Madura.

Banyak kalangan menilai bahwa serangan Dayak terhadap Madura disebabkan karena budaya orang Madura yang keras, suka mencuri, eksklusif, suka membunuh (Marzali, 2003: 23-24). Penilaian ini menginformasikan bahwa pendekatan budaya digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisis konflik. Namun pendekatan itu menegasikan adanya fakta tentang pemiskinan politik dan ekonomi yang dialami oleh etnis Dayak. Melalui pendekatan ekonomi politik, kerusuhan di Kalimantan Barat ini akan mencapai sebuah kesimpulan yang benar-benar berbeda, yaitu bahwa konflik dipicu oleh adanya ketimpangan politik dan ekonomi etnis Dayak dalam hubungannya dengan etnis-etnis yang lain, khususnya oleh etnis Melayu.

Ditinjau dari demografi penduduk, etnis Dayak menempati posisi mayoritas di Provisi Kalimantan Barat. Hingga tahun 2000, etnis Dayak berjumlah 33,1 % dari total penduduk. Terbanyak kedua adalah etnis Melayu yang berjumlah 32,4 % dari total penduduk. Sedangkan Jawa 10%, Cina 9,5%, Madura 5,5%, dan Bugis 3,3%. (Tanasaldy, 2007: 462) Menariknya, meskipun secara kuantitas menduduki posisi paling puncak, etnis Dayak seolah-olah memiliki perasaan minoritas. Sebab sejak zaman kolonialisme hingga akhir Orde Baru, etnis Dayak hampir selalu dialeniasi dari sumber daya politik dan ekonomi.

Pada zaman kolonial, etnis Dayak sering mengalami diskriminasi politik ekonomi oleh kesultanan Melayu dan pemerintah kolonial Belanda. Oleh pemerintah kolonial etnis Dayak sering disebut sebagai “bukan anak negeri”. Mereka seolah-olah tidak dianggap sebagai kelompok manusia yang beradab. Oleh kesultanan Melayu, mereka sering mengalami pelecehan, tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja di kesultanan. Sejalan dengan itu, etnis Dayak tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar. Tidak mengherankan jika mereka kurang terdengar perannya pada saat revolusi kemerdekaan (Tanasaldy, 2007: 463-464).

Dalam banyak hal, etnis Melayu lebih memiliki modal ekonomi politik daripada etnis Dayak. Faktor kesejarahan membuat orang keturunan Melayu di Kalimantan Barat lebih memiliki pondasi yang kuat dalam mengembangkan jaringan ekonomi politik. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami etnis Dayak. Sekalipun, pada orde lama etnis Dayak mulai mendapatkan kesempatan untuk duduk pada posisi administratif pemerintahan yang cukup penting (Tanasaldy, 2007: 465).

Namun, nasib agak baik yang dialami oleh etnis yang mengklaim dirinya sebagai “etnis asli” ini merosot kembali pada era Orde Baru. Pembangunanisme Orde Baru mensyaratkan pertumbuhan ekonomi tinggi di daerah-daerah. Kalimantan, sebagai pulau yang memiliki banyak hutan, digenjot oleh pemerintah pusat untuk menyediakan kayu untuk konsumsi dalam negeri ataupun eskpor. Demi tujuan ini, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada mentri kehutanan utnuk menjadikan sebagian besar wilayah hutan tropis sebagai wilayah konsesi bagi perusahaan kayu hutan (Marzali, 2003: 16-18).

Sial bagi orang Dayak, mereka tidak kebagian “kue” ekonomi itu karena proyek kayu hutan banyak melibatkan orang-orang pendatang. Selain itu, banyak tanah ulayat yang digunakan etnis Dayak untuk bertani dan berburu, telah hilang karena ditutup oleh pemerintah (Marzali, 2003: 18). Selain itu, pemerintah juga membuat kebijakan transmigrasi yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk tinggal di Kalimantan. Transmigran ini kemudian bekerja sama dengan pengelola hutan. Lebih dari itu, kelompok pendatang ini membuat enclave di tengah-tengah pedalaman yang membuat etnis Dayak semakin terdesak ruang hidupnya. (Tanasaldy, 2007: 471) Kemiskinan ekonomi ini diperparah dengan kemiskinan politik.

Sejak Orde Baru, aktivitas politik etnis Dayak disubordinasi. Pemerintah pusat, dengan dalih percepatan pembangunan, anti-SARA, menempatkan banyak orang titipan dalam jabatan penting hingga pejabat administratif rendahan di Pemda. Sampai Orde Baru runtuh, Pemerintah Kalimantan Barat baru sekali diisi oleh warga Dayak, Uvang Oerai. (Marzali, 2003: 20)

Pada tahun 1993, perwakilan etnis Dayak mengirimkan surat kepada Pemerintah Pusat, yang berisi tuntutan agar memberi jatah pada perwakilan etnis Dayak untuk duduk di kursi bupati. Namun, tuntutan ini tidak diperhatikan Pemerintah Pusat. Dalam pemilihan Bupati Sintang, 1994, terdapat 3 orang calon bupati. Kadir dari militer, Kamarullah dan Abdul Hadi Karsoem dari etnis Melayu. Melihat bursa bupati seperti ini, kelompok etnis Dayak mendukung Kadir. Etnis Melayu optimis menang. Pasalnya, jumlah fraksi militer di DPRD Sintang menguasai 80% kursi (Tanasaldy, 2007: 473). Ini merupakan peluang bagi etnis Dayak untuk mengalahkan etnis Melayu.

Mengejutkan, Kamarullah yang kemudian terpilih menjadi Bupati. Selain tertekan oleh kekalahan yang kesekian kalinya oleh etnis Melayu, etnis Dayak juga merasa ditelikung oleh Golkar, PDI dan Militer. (Tanasaldy, 2007: 473) Pasca ini, etnis Dayak benar-benar terpukul. Hal ini bisa dipahami sebab, selain karena disubordinasi ekonomi politik sejak lama, etnis Dayak-lah yang secara kuantitas warga unggul dibanding kelompok lain di Kalimantan. Ibarat macan ompong, mereka kuat namun tanpa taring.

Kekalahan ekonomi dan politik ini dengan sendirinya menyebabkan etnis Dayak perlahan-lahan kehilangan “harga diri” dan terpinggirkan (Klinken, 2005: 109). Banyak diantara etnis Dayak yang kemudian berpindah agama menjadi muslim, agar lebih diakui eksistensinya. Sebab dengan menjadi muslim berarti juga menjadi Melayu. (Tanasaldy, 2007: 463) Karena ter”Melayu”kan, secara eksistensial mereka akan lebih merasa dihargai. Adat istiadat sehari-hari etnis Dayak pun semakin luntur, ditandai dengan mulai menghilangnya “rumah panjang” sebagai simbol identitas kebersamaan dan rumah sosialisasi bagi etnis Dayak. Lebih menyakitkan lagi bagi etnis Dayak, banyak anak-anak mudanya yang meninggalkan bahasa Dayak beralih pada bahasa Indonesia dan Melayu karena dianggap lebih bergengsi. (Tanasaldy, 2007: 470).

Tekanan ekonomi, politik, sosial, budaya inilah yang menjadi tenaga endogen kelompok etnis Dayak menyimpan potensi “amok”. Dan benar, pada akhir 1996 dan awal 1997, pecahlah kerusuhan antara etnis Dayak dengan etnis Madura. Mungkin benar bahwa etnis Madura memiliki budaya keras. Namun, fakta bahwa etnis Dayak telah mengalami subordinasi ekonomi politik sosial-budaya sejak zaman kolonial juga tidak boleh disingkirkan sebagai premis utama. Subordinasi ini telah mengendap sedemikian lama, dan menjadi penyebab dari terjadinya sebuah ledakan besar walau hanya dipantik oleh sepercik api saja. Benarlah, sifat kerusuhan Dayak Madura berlangsung sangat cepat dan “histeris”. (Klinken, 2005: 109) Pola-pola seperti itu hanya dimungkinkan ketika kepedihan yang mendalam akibat terus menerus disingkirkan secara politik ekonomi. Di atas segalanya, sampailah pada sebuah kesimpulan bahwa konflik etnis tidak hanya disebabkan oleh faktor “budaya etnis” an sich. Lebih dari itu, kasus Kalimantan Barat ini telah menunjukkan bahwa konflik etnis juga dapat disebabkan oleh faktor ketimpangan politik dan ekonomi.

Apa yang harus dilakukan?
Ketimpangan ekonomi politik jelas-jelas telah menjadi pemicu konflik antar etnis. Terkhusus bagi etnis Dayak, pemerintah mesti melakukan distribusi ekonomi politik sosial yang lebih adil. Usaha ini bukan upaya untuk menciptakan primordial sentiment baru. Lebih dari itu, hal ini mesti dilakukan untuk menghapus ingatan masa lalu warga etnis Dayak tentang pengalaman subordinasi ekonomi politik yang tonggaknya telah terpancang demikian dalam.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. dan Armawi, Armaidy., 1998, Pendahuluan, dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional, Amal, Ichlasul. dan Armawi, Armaidy., Yogyakarta: UGM Press, hal ix.

Klinken, G.V., 2003, Pelaku Baru, Identitas Baru: Kekerasan Antar Suku Pada Masa Pasca Orde Baru, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Jakarta: Inis, hal: 91.

Marzali, Amri., 2003, Perbedaan Etnis dalam Konflik: Sebuah Analisis Sosio-Ekonomi Terhadap Kekerasan Di Kalimantan, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Jakarta: Inis, hal: 15.

Stewart, Frances., 2005., Sebab-sebab Dasar Sosial Ekonomi, Konflik Politik, dengan Kekerasan, dalam Konflik Kekerasan Internal, Diedit oleh Anwar, D. F., Bouvier H., Smith G., Tol R., Jakarta: Obor, hal 186.

Tanasaldy, Taufiq., 2007, Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat, dalam Politik Lokal di Indonesia, Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal: 461.

Widjajanto A., Hadi S., Permadi R., Rochyati N., Supriyanto., Maria S., Addinata., 2007, Disintegrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Obor.

No comments:

Post a Comment