Zamzam Muhammad
Latar Belakang
Salah satu ranah diskusi yang selalu hangat diperbincangkan oleh kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah penegasan profil kader ikatan. Misalnya, yang terbaru, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik (MGIP) merupakan sebuah buku yang sengaja disasarkan oleh penulisnya –A.H Sani – untuk mengisi ruang diskusi mengenai profil kader ikatan. Dalam buku tersebut, A.H. Sani mengeksplisitasi gagasan tentang ‘intelektual profetik’, yang sudah sejak lama telah diperbincangkan oleh kader IMM.
Dalam pengalaman saya ber-IMM, pewacanaan –baik itu dalam diskusi formal atau informal– mengenai profil kader ikatan tidak hanya membicarakan gagasan tentang ‘intelektual profetik’. Lebih dari itu, ada lagi gagasan yang lebih ‘jalanan’ daripada ‘intelektual profetik’, yaitu gagasan tentang ‘intelektual anti-politik praktis’. Pro dan kontra selalu muncul apabila gagasan tersebut muncul. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini tidak akan mencari jawab atas pihak mana yang paling benar. Lebih dari itu, tulisan ini berusaha untuk menjelaskan mengapa gagasan tentang ‘intelektual anti-politik praktis’ dapat muncul ke permukaan.
Dalam diskusi-diskusi tentang profil kader ikatan, idealisasi identitas kader ikatan ditentukan oleh dua wacana yang berbeda namun tak dapat dipisahkan: wacana ideologi dan wacana politik. Pertama, wacana ideologi. Wacana ini meliputi ideologi IMM –yang terkonkretisasi dalam trilogi IMM– dan wacana keilmuan yang bersifat filsafati. Kedua, wacana politik. Wacana ini meliputi respon kader atas kondisi kepolitikan nasional dan internasional. Dua wacana tersebut tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berjalin-kelindan. Lebih jauh lagi, dua wacana di atas –sadar atau tidak sadar– memengaruhi berbagai kebijakan organisasi dan materi perkaderan. Yang jelas, respon terhadap dua wacana inilah yang menentukan bagaimana idealisasi identitas kader dan pola gerakan IMM kemarin, sekarang , dan nanti.
Gagasan ‘Intelektual Anti-Politik Praktis’ dalam Wacana Profil Kader Ikatan
Dalam common sense, istilah anti-politik praktis seringkali dimaknai secara sederhana sebagai anti politik partai-politik (the politics of political party) dan segala assosiasinya, termasuk agenda-agendanya. Tidak saja di ikatan, makna tersebut jamak dijumpai dalam praktik keseharian, seperti di warung kopi, pasar hingga di arena-arena diskusi. Jika demikian ihwalnya, maka pemaknaan terhadap pendapat tentang “kader IMM idealnya adalah intelektual anti-politik praktis” dapat sama artinya dengan “kader IMM dilarang menyelam ke dalam samudera politik partai politik, apalagi partai politik”.
Dalam wacana mengenai profil kader ikatan, gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ (sekali lagi dalam pengalaman saya ber-IMM) seringkali memiliki posisi yang lebih terhormat dibandingkan dengan gagasan tentang ‘intelektual politik praktis’. Saking terhormatnya, gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ telah berubah wajah menjadi semacam doktrin yang anti kritik. Hal ini tentu saja merupakan kondisi yang memrihatinkan. Bagaimanapun, dalam perspektif filsafati, gagasan yang memiliki sifat doktriner dan anti-kritik merupakan anti-intelektual.
Sejatinya, gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ yang berkembang di ikatan merupakan suatu gagasan yang lahir dari rahim sejarah pemikiran dan perpolitikan tertentu. Dengan demikian, gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ seharusnya memiliki sifat yang plastis, bukan statis. Dia bisa ada, bisa tidak ada, bisa juga berubah bentuk dalam setiap periode sejarah tertentu. Semua itu bergantung pada wacana ideologi dan wacana kepolitikan nasional yang melingkupi ikatan. Bertalian dengan semua itu, saya akan mengajukan sebuah argumentasi: gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ yang sekarang ini berkembang di ikatan, merupakan ‘warisan’ dari respon gerakan mahasiswa terhadap situasi politik Orde Lama Akhir dan Orde Baru.
Dari Mitos ’Anti-Penguasa’ Menuju Gagasan ‘Intelektual Anti Politik Praktis’
Dalam konteks sejarah pergerakan di Indonesia, kaum intelektual tidak dapat dipandang sebagai golongan yang di isi oleh individu-individu uniform. Perbedaan pandangan, visi politik dan afiliasi politik merupakan beberapa faktor yang kadangkala menjadi pemicu lahirnya keterpecahan. Oleh karena itu, heterogenitas antar intelektual sebaiknya ditanggapi sebagai suatu gejala yang lumrah terjadi. Namun di balik heterogenitas yang terjadi, terdapat sebuah mitos yang mampu mengikatkan individu-individu berbeda tersebut ke dalam sebuah wadah yang bernama kaum intelektual: mitos anti-penguasa.
Mitos anti penguasa ini merupakan garis pembeda yang sering digunakan untuk menentukan kategorisasi golongan intelektual ‘pengkhianat’ dan golongan intelektual ‘ideal’. Dalam hal ini, menarik kiranya apabila mencermati munculnya kategori ‘pengkhianat’ dan ‘ideal’. ‘Pengkhianat’ merupakan istilah yang mengindikasikan adanya pengingkaran terhadap suatu hal yang dianggap ‘seharusnya/semestinya’. Dalam konteks Indonesia, ‘intelektual pengkhianat’ seringkali disematkan kepada individu/kelompok intelektual yang berlindung di dalam ketiak kekuasaan.
Ada 2 alasan yang dapat menjelaskan mengapa gagasan tentang ‘intelektual anti-penguasa = intelektual ideal’ mampu mendapatkan tempat terhormat di hati ikatan. Pertama, wacana politik. Kedua, wacana keilmuan tentang kaum intelektual ideal.
Sejarah menerangkan bahwa salah satu motor penggerak kemerdekaan Indonesia ialah kaum elite-pemuda-intelektual. Sebagai permisalan, sebut saja nama-nama seperti Hatta, Soekarno, Sjahrir. Identitas mereka sebagai akademisi sekaligus aktivis organisasi pergerakan dan ditambah dengan sprit perjuangan menentang penguasa Hindia Belanda, turut mengonstruksi mitos intelektual anti-penguasa. Selain wacana sejarah sepak terjang kaum intelektual kemerdekaan, pemikiran ilmuwan sosial tentang kaum intelektual juga menentukan penilaian gerakan mahasiswa terhadap kaum intelektual ideal. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran Shariati, Freire, Gramsci telah menjadi bacaan otoritatif dalam setiap materi diskusi gerakan mahasiswa. Apabila ditilik satu persatu, pemikiran Shariati dan Gramsci tentu saja mengekspresikan penolakan terhadap penguasa.
Sekalipun wacana-wacana tersebut memiliki andil dalam mengonstruksi mitos anti-penguasa, namun wacana-wacana tersebut tidak menentukan lahirnya gagasan’ intelektual anti politik praktis’. Perlu diingat bahwa Soekarno, Hatta, Sjahrir merupakan intelektual yang berkubang dalam aktivisme partai. Selain itu, pada pertengahan Orde Lama, berafiliasinya gerakan mahasiswa dengan partai politik merupakan hal yang dipandang biasa.[1] Terkait hal ini, Farid Fathoni mengungkapkan:
"keinginan
partai-partai politik untuk menarik sebanyak mungkin warga kampus,
terutama mahasiswa dan dosen untuk menjadi pemikir, tokoh, pemimpin dan
pendukungnya disambut oleh pihak kampus melalui peningkatan aktivitas
organisasi ekstra universitas. Mahasiswa dari berbagai ormas yang
mendapat dukungan dan simpati dari dosen meningkatkan aktivitasnya
menuruti peta aliran pemikiran politik, menuruti perselisihan ideologis
dari partai politik nasional."
Semua ini terbukti dengan melihat posisi HMI, GMNI, CGMI yang masing-masing ber-koeksistensi dengan Masyumi, PNI dan PKI. Selain berpijak pada pengalaman-pengalaman sejarah tersebut, latar belakang kehidupan dan pijar pemikiran Gramsci pun kental dengan perjuangan pembebasan melalui partai politik: historical bloc dapat direalisir oleh kaum intelektual organik melalui kepimpinan kebudayaan melalui perjuangan-perjuangan demokratik. Oleh karena semua itu, mengatakan bahwa gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’ ikatan yang ada sekarang adalah dibangun oleh wacana sejarah politik kemerdekaan dan pascakemerdekaan plus teori-teori tentang peran intelektual ideal merupakan kesimpulan yang terlampau dini. Menurut saya, gagasan intelektual anti politik praktis dapat ditemukan keberadaannya dalam ruang lingkup sejarah politik yang lebih spesifik.
Dalam pandangan saya, pastilah terdapat pengaruh lain yang masuk ke dalam mitos intelektual anti-penguasa sehingga memungkinkan munculnya gagasan intelektual anti-politik praktis. Dan tentang hal ini, saya berpendapat bahwa respon ikatan terhadap kondisi politik orde lama akhir dan situasi politik nasional orde baru faktor yang mentransformasikan mitos intelektual anti-penguasa menjadi gagasan ‘intelektual anti-politik praktis’. Dengan demikian, munculnya gagasan ‘intelektual anti politik praktis’ di IMM dapat dimengerti dengan jalan memahami respon ikatan terhadap politik nasional di Orde Lama Akhir dan Orde Baru.
Kelahiran IMM berada dalam konteks sejarah Orde Lama Akhir. Pada saat itu, konstelasi politik nasional sedang memanas. Tarik-menarik kekuatan politik militer, komunis, nasionalis, islam modern, islam tradisional dan Soekarno, telah menimbulkan pergesekan-pergesekan kepentingan. Pada saat yang sama, polarisasi kiri-kanan juga semakin tajam. Konflik-konflik vertikal-horizontal cenderung bernafaskan sentimen ideologi. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat-saat itu, politik aliran sedang mengalami masa kejayaannya. Hingar-bingar situasi politik tersebut tidak hanya berada dalam level nasional, namun juga merambah hingga grassroot. Lebih gawat lagi, runyamnya kondisi sosial politik tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi indonesia yang memburuk menuju inflasi 600 %. Farid Fathoni menggambarkan situasi tersebut dalam penggalan berikut ini:
“situasi menjelang kelahiran IMM
yakni satu situasi di tengah-tengah prolognya gestapu/PKI, di mana
fitnah, intrik mental, kampanye dan aksi pecah belah umum dilakukan oleh
suatu golongan untuk melumpuhkan lawan politiknya tanpa memerhatikan
ekses yang akan terjadi. Fatsoen politik sama sekali tidak dihiraukan.
Apa yang dinamakan kompetisi politik dalam kenyataan adalah
jegal-jegalan. Yang penting bahwa golongan sendiri dapat mendominir
golongan lain tanpa memerhatikan kesopanan, norma-norma sosial apalagi
norma religi. Itu semua dilakukan di bawah slogan bahwa politik adalah
panglima”. [2]
Di dalam situasi yang seperti ini muncullah sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hingar-bingar politik bukanlah jaminan menuju kesejahteraan. Bertalian dengan itu, IMM menanggapinya melalui 6 penegasan IMM. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap 6 penegasan IMM juga harus dilihat dengan cara menempatkannya dalam lanskap situasi politik saat itu. Terkait dengan hal itu, menarik kiranya kalau mencermati poin ke 3 dalam 6 penegasan IMM: fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam muhammadiyah. Lebih jauh, sikap politik IMM implisit dalam poin tersebut .
Apabila kita hendak melihat genesis sikap politik IMM di masa awal kelahirannya, kita juga mesti menilik sikap politik muhammadiyah dalam konstelasi politik nasional pada saat itu. Pada tahun 1959, muhammadiyah menyatakan keluar dari keanggotaan istimewa partai Masyumi. Sikap ini ditandai dengan dikeluarkannya maklumat No. 761/I-A/U-B/M/P-M tanggal 12 September 1959. adapun salah satu poin dalam maklumat tersebut adalah: “Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali muhammadiyah tetap muhammadiyah, bergerak mencapai tujuannya dan selalu melakukan amar makruf nahi munkar untuk kebaikan masyarakat seluruhnya”.[3] Atas dasar inilah, poin ke ke 3 dalam 6 penegasan IMM secara implisit juga menunjukkan sikap politik IMM, yaitu bersikap untuk tidak menceburkan diri ke dalam ranah politik praktis: ia tidak akan menjadi basis massa bagi satu partai politik apapun. Di situlah tiang pancang gagasan intelektual anti politik praktis di ikatan diikrarkan. Di situ pula mitos anti-penguasa dan gagasan intelektual anti politik praktis berdiri dalam posisi yang sejajar. Belakangan, sikap politik inilah yang menyebabkan IMM kecewa terhadap Muhammadiyah karena ikut menandatangani pembentukan Partai Muslimin Indonesia pada 1967.
Detak jarum jam peralihan orde lama menuju orde baru merupakan periode yang menarik untuk dicermati. Pada periode tersebut, garis pemisah antara kaum intelektual ideal dan kaum intelektual pengkhianat lebur sama sekali. Dalam pandangan penulis, pada periode tersebut, mitos anti-penguasa hilang sama sekali seiring dengan hilangnya penguasa itu sendiri. Delegitimasi terhadap penguasa de jure, Soekarno, sudah sedemi kian besarnya. Linier dengan itu, Soeharto pun belum menjadi kekuatan politik yang resmi, meskipun secara de facto kebesaran pengaruh politiknya tidak boleh diremehkan . Tidak ada penguasa, karena keduanya pengusa: yang satu berkuasa secara de jure, yang satu lagi secara de facto. Praktis, mitos intelektual anti penguasa menghilang untuk sementara.
Mitos intelektual anti penguasa kembali menguat ketika orde baru masuk ke dalam pendulum sejarah politik indonesia. Peristiwa malari yang terjadi pada 1974 dan demonstrasi besar-besaran 1978 merupakan monumentasi konkret renaisans mitos intelektual anti-penguasa. Dalam peristiwa tersebut,mahasiswa menuntut Soeharto untuk memberikan keterbukaan politik bagi setiap warga negara. Oleh mahasiswa, pemerintah orde baru dianggap korup, anti kritik, otoriter. Demikian juga partai politik dinilai oleh mahasiswa tidak mampu berfungsi sebagai artikulator kepentingan masyarakat. Banyak mahasiswa angkatan 66 yang ikut membawa suharto pada kekuasaan, menarik kembali dukungannya.[4]
Oleh beberapa pengamat politik Indonesia, rezim orde baru dicirikan sebagai rezim pembangunan yang apolitis. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah yang berusaha untuk menutup ruang gerak aspirasi dari masyarakat. ‘Penyederhanaan partai’ adalah langkah pertama. Pelabelan sebagai partai politik resmi adalah usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjinakkan Partai Politik dan Golkar. Kemudian, kebijakan-kebijakan seperti NKK/BKK, ‘massa mengambang’, pembredelan media, mengikuti di belakangnya. Retorika-retorika seperti ‘kebebasan yang bertanggung jawab’, ‘demokrasi pancasila’, digunakan oleh rezim soeharto untuk menciptakan kestabilan politik di berbagai bidang. Yang jelas, semua hal yang berbau politik, harus didefinisikan oleh otoritas yang berwenang: negara. Di luar negara, dianggap subversif.
Dalam situasi politik yang demikian tertutup itu, gagasan intelektual anti-politik praktis kembali mencuat. Pasalnya, tidak ada satupun saluran politik yang dapat digunakan oleh mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya. Semua saluran politik telah dibajak (baca:dikooptasi) oleh pemerintah. Hal ini mengantarkan mahasiswa untuk tetap berada di luar medan politik ‘resmi’ yang ditorehkan oleh pemerintah Orde Baru. Buku Putih gerakan mahasiswa 78 mendefinisikan politik Orde Baru sbb:
“Sejak penentuan daftar
calon resmi untuk anggota DPR dari setiap Parpol/Golkar pada waktu
pemilu, orang-orangnya telah dipilih oleh pemerintah. Orang-orang yang
terlalu berani, berwatak, mempunyai pendirian yang teguh, dianggap
berbahaya , maka dicoret dari daftar calon. Maka yang tinggal dalam
daftar calon yang direstui oleh pemerintah adalah orang-orang yang
bersifat lembek”.
Sebagai tanggapan atas situasi politik yang ada, IMM mengambil sikap politik untuk tetap berada di luar jalur politik praktis. Di sini, makna politik dan makna dakwah menjadi terpecah. Politik praktis dipandang bukanlah sebagai alat perjuangan untuk dakwah, melainkan dianggap sebagai hamparan yang harus didakwahi.[5]
Jaringan kekuasaan politik orde baru yang menggurita, mengkooptasi berbagai saluran politik, mendorong ikatan untuk menerbitkan gerakan pemberdayaan politik masyarakat sebagai fokus perjuangan. Hal ini terlihat pada pandangan IMM tentang fungsi keormasan yang muncul di tengah-tengah Tanwir V di Garut: ormas sebagai pemadu dan artikulasi kepentingan. Dengan sikap ini, IMM menyatakan untuk tidak membebek pada kekuatan politik manapun. Lebih dari itu, IMM ingin menegaskan diri sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia.
Persoalan sikap politik ikatan yang cenderung anti-politik praktis bukannya tanpa tentangan. Banyak sekali dinamika yang terjadi di ikatan dalam menyikapi sikap politik ini. Puncak perdebatan adalah pada muktammar V IMM di Padang, saat pembahasan hal ihwal tempat pusat kegiatan IMM. Dalam pembahasan tersebut terdapat dua pihak yang bertentangan. Pihak pertama disebut dengan poros jogja, menghendaki agar pusat kegiatan ikatan tetap berada di jogja. Sedangkan pihak yang lain disebut dengan poros jakarta yang menghendaki jakarta sebagai pusat kegiatan IMM. Dalam hal ini, poros jogja menolak dipindahnya pusat kegiatan ikatan ke jakarta karena khawatir IMM akan dijadikan ajang “konflik interest dan menjurus pada sikap-sikap politik praktis” [6]
Kesimpulan
Di Indonesia, makna tentang kaum intelektual ideal memiliki assosiasi yang erat dengan mitos tentang anti-penguasa. Dalam hal ini, mitos intelektual anti-penguasa tidak dapat disamakan dengan gagasan ‘intelektual anti politik praktis’. Gagasan intelektual anti politik praktis merupakan gagasan yang lahir belakangan sekaligus derivasi dari mitos intelektual anti penguasa. Lebih jauh lagi, gagasan intelektual anti politik praktis terlahir dalam sebuah sejarah yang spesifik: orde lama akhir dan sepanjang orde baru. Situasi politik nasional yang tercermin dalam 2 periode tersebut mendorong kaum intelektual mahasiswa untuk menarik diri dari aktivitas politik praktis. Dan karena proses sejarah, gagasan tentang intelektual anti politik praktis mampu mendapatkan tempat terhormat dalam hati kaum pergerakan indonesia, sampai sekarang.
Sikap politik IMM yang cenderung bersikap anti politik praktis bukanlah sesuatu hal yang bersifat given. Lebih dari itu, sikap politik IMM tersebut dilingkupi oleh lanskap sejarah yang tertentu: wacana tentang mitos anti-penguasa, wacana politik yang melingkupinya, dan wacana tentang konsep kaum intelektual ideal. Semua wacana tersebut menghablur menjadi satu kesatuan yang kemudian memunculkan gagasan intelektual anti politik praktis.
Saat ini, perdebatan tentang idealisasi profil kader ikatan sering mempersoalkan gagasan intelektual anti politik praktis. Hanya saja, dalam beberapa diskusi tersebut, gagasan intelektual anti politik praktis cenderung ditempatkan sebagai barang yang suci, tidak boleh disentuh. Akibatnya, ada kecenderungan sikap membuta mengatakan bahwa anti politik praktis merupakan sebuah keharusan, kewajiban, tanpa terlebih dahulu melakukan refleksi terhadap kondisi politik kontemporer. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, pandangan dan sikap politik IMM sangatlah fleksibel, menyesuaikan dengan wacana politik yang berkembang dalam sebuah sejarah yang spesifik.
[1] Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: LP3ES, 1983) 140
[2] Farid Fathoni, Kelahiran yang Dipersoalkan, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1990) 119
[3] Ibid, 98-99
[4] Michael R.J Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise And Fall Of The New Order. (London: Routledge, 1998) 6
[5] Farid Fathoni, Kelahiran yang Dipersoalkan, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1990) 202
[6] Ibid, 220
No comments:
Post a Comment