Sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah selalu hadir di dalam
sebuah konteks. Konteks tersebut adalah
ketidaksejahteraan umat. Konteks
ketidaksejahteraan umat itulah yang disadari atau tidak, telah memengaruhi cita-cita
dan semangat perjuangan dakwah Muhammadiyah.
Bertalian dengan hal di atas, maka dapatlah dipahami mengapa
pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan, memandang perlunya kader
Muhammadiyah mesti memiliki spirit pembebasan, pencerahan dan pencerdasan. Kader Muhammadiyah yang diharapkan oleh Ahmad
Dahlan bukan sekedar kader yang cakap dalam hal ibadah yang bersifat ritual
keagamaan semata. Lebih dari itu, dalam
pandangan Dahlan, ibadah juga sarat dengan dimensi sosial-keagamaan.
Dengan demikian,
meningkatnya kesalehan individual mestinya berjalan linier dengan kesalehan
sosial.
Lahir dan berkembang di dalam konteks ketidaksejahteraan
umat, membuat Muhammadiyah memiliki sensibilitas sosial yang sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan didirikannya PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat)
sebagai lembaga khusus yang sengaja dibuat untuk mengatasi persoalan-persoalan
masyarakat. Bergandengan dengan itu,
didirikanlah beberapa rumah sakit dan sekolah-sekolah muhammadiyah yang terbuka untuk umum, tidak terbatas kelas sosial
tertentu. Pendirian rumah sakit dan
sekolah-sekolah muhammadiyah ini boleh ditafsirkan sebagai aksi perlawanan
terhadap pemerintah kolonial. Betapa
tidak, rumah sakit dan sekolah yang didirikan pemerintah kolonial hanya mengakomodasi
segelintir golongan, yaitu golongan eropa dan golongan pribumi bangsawan.
Semangat
kader Muhammadiyah untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan tercermin dari
menjamurnya sekolah-sekolah Muhammadiyah di seantero nusantara. Dalam bukunya Purifying the Faith, James L. Peacock mencatat bahwa sampai dengan 1939
Muhammadiyah telah memiliki 1744 sekolah, baik itu sekolah model pemerintah
ataupun model madrasah. Tidak kalah
penting, sekolah-sekolah tersebut bersifat terbuka untuk umum.
Geliat
kader muhammadiyah memaksa pemerintah kolonial hindia-belanda meningkatkan
kewaspadaan terhadap gerakan muhammadiyah.
Pasalnya, lembaga pendidikan muhammadiyah dianggap bom waktu yang dapat menciptakan rust en orde (ketertiban dan keamanan)
dan menggerogoti hegemoni kekuasaan pemerintah kolonial.
Mengingat
hal ini, pemerintah kolonial kemudian membatasi berbagai kegiatan sosial
muhammadiyah. Salah
satunya adalah
dengan melakukan labelisasi ‘wildenscholeen’ (sekolah liar) terhadap beberapa
sekolah muhammadiyah. Akibatnya,
beberapa sekolah muhammadiyah tidak lagi mendapatkan bantuan keuangan dari
pemerintah kolonial hindia-belanda. Aral yang dilintangkan oleh pemerintah kolonial tidak menyurutkan
semangat juang kader muhammadiyah untuk terus bergerak. Sebaliknya, gerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah
yang populis justru semakin meningkatkan jumlah kader Muhammadiyah.
Mengambil pelajaran dari masa lalu merupakan jalan paling
mudah untuk merumuskan masa depan. Dengan
demikian, agenda muhammadiyah sekarang hendaknya dapat mengambil spirit sejarah
perjuangan muhammadiyah di masa lalu.
|
No comments:
Post a Comment