Zamzam Muhammad Fuad
Secara umum ideologi didefinisikan sebagai sebuah sistem
ide yang mengobsesi seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan atau
merespon lingkungannya. Dari penjelasan tersebut kita dapat menemukan bahwa
ideologi membedakan dirinya dengan tindakan. Ideologi berada dalam alam
pikiran. Sedangkan tindakan merupakan aksi nyata seorang manusia atau kelompok.
Terlepas dari definisi tersebut, ideologi menjadi sesuatu hal yang menarik
dikaji dalam ilmu sosial karena sifatnya yang mampu untuk mendikte tindakan dan
mengarahkan manusia dalam merespon lingkungannya.
Manakah
yang terlebih dahulu? Ideologi dulu atau hubungan antar manusia dulu?
Dalam kajian mengenai ideologi, tidak ada pertanyaan yang
paling mengundang polemik selain “darimana asal datangnya ideologi?” apakah ideologi
muncul belakangan setelah praktik dan pengalaman manusia dalam mengada di
dunia? Terkait dengan pendapat ini, gagasan Marx merupakan contoh par exellence. Ataukah kita lebih
percaya pada pendapat yang sedikit platonik bahwa ideologi dapat didatangkan
terlebih dahulu sebelum manusia mengenal lingkungannya atau sebelum manusia
berinteraksi dengan manusia lainnya? Berdasarkan asumsi bahwa ideologi dapat
menjadi alat rekayasa sosial, banyak teori-teori pendidikan yang percaya pada
pendapat terakhir.
Faktanya, dan saya juga memercayai, bahwa kedua pendapat
di atas sulit dijangkar antara satu dengan lainnya. Hubungan antara keduanya
bersifat dialektis namun tidak deterministik. Ibarat hubungan antara bahasa dan
realitas. Bahasa merupakan abstraksi dari realitas, sekaligus bahasa memiliki
kapasitas untuk mendikte penampakan sebuah realitas.
Sebagai awalan, mari kita berbicara mengenai genesis ideologi
kapitalisme dan sosialisme. Dawam Raharjo pernah mengajukan sebuah pertanyaan
“mengapa pada abad 19 ideologi liberalisme dapat tumbuh subur di Inggris,
sedangkan kurang berkembang di Jerman yang cenderung subur untuk ideologi
komunitarian yang menekankan pada proteksi terhadap pasar?” Menurut Rahardjo, perbedaan
waktu kemunculan industrialisasi di kedua bangsa ini merupakan penjelasan yang
paling memungkinkan untuk menjawab pertanyaan diatas. Industrialisasi di Inggris
yang lebih awal muncul daripada di negara manapun telah berhasil memacu
produksi bahan baku. Ancaman over produksi menjadi pendorong munculnya gagasan ide
pasar bebas. Sedangkan di Jerman, yang industrialisasinya muncul di belakang Inggris,
tengah berhadapan dengan serbuan produk industri Inggris. Kondisi material
semacam ini mendorong munculnya ide tentang komunitarianisme dan proteksi
pasar. (Rahardjo, 1992)
Dari kasus di atas jelas terlihat bahwa munculnya
ideologi sangat bergantung pada aspek material seperti industrialisasi. Dengan
kata lain, hubungan antar manusia atau manusia dengan lingkungannya menjadi
faktor penting yang mendikte wajah ideologi. Atau dengan kata lain, ideologi
tunduk pada suatu hal yang lebih material. Dalam bahasa Marx, ideologi adalah
suprastruktur yang bentuknya bergantung pada dinamika infrastruktur yaitu hubungan
produksi antar manusia.
Namun keyakinan bahwa ideologi bergantung pada kondisi
material belaka, tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Kita tentu ingat bagaimana
wajah perekonomian Indonesia era Soekarno yang sangat anti utang, berbalik arah
menjadi sangat pro utang di bawah rezim Soeharto. Mengapa perekonomian Indonesia
di era Soekarno yang sangat anti pasar, berubah drastis menjadi pro pasar di
era Soeharto? Ada sebuah analisis menarik yang banyak diterima oleh banyak
ilmuwan sosial: berubahnya praktik perekonomian Indonesia disebabkan karena adanya
penetrasi ideologi neoliberalisme di sekujur institusi kebijakan perekonomian Indonesia.
Awalnya, ideologi neoliberalisme masuk melalui akademisi Indonesia yang kuliah
di luar negeri (mafia berkeley), kemudian dipromosikan besar-besaran di kampus,
kegiatan seminar dan media massa.
Hasilnya, terciptalah sarjana-sarjana ekonomi berpaham neoliberalisme. Praktis,
neoliberalisme menduduki posisi sebagai “rezim kebenaran” yang mengelilingi
sistem kebijakan perekonomian indonesia. (Mallarangeng, 2008) Oleh karena ideologi
neoliberalisme telah mengepung birokrasi kebijakan, maka implementasi kebijakan
ekonomi neoliberal tinggal tunggu waktu kelahirannya saja. Pelajaran yang dapat
kita petik dari cerita di atas adalah bahwa, ideologi dapat mendikte lingkungan
material. Gagasan dapat mendikte praktik. Teori dapat mengontrol realitas.
Di atas segalanya, poin yang akan saya garis bawahi
adalah: 1) hubungan antara ideologi dan kondisi material manusia
(praktik/tindakan) adalah dialektis, tanpa ujung tanpa pangkal. 2) Ideologi dapat
digunakan sebagai alat untuk menciptakan kondisi material yang dicita-citakan, karena
ideologi memiliki kapasitas untuk mendikte tindakan manusia dan mendikte
manusia memahami lingkungannya. Dengan kata lain, ideologi merupakan alat
rekayasa sosial. 3) meskipun dapat tercipta dengan sendirinya, ideologi dapat
diproduksi, dan direproduksi.
Ideologi
sebagai alat rekayasa sosial
Telah dikemukakan di awal, ideologi merupakan sistem ide.
Oleh karena itu, menurut saya, ideologi tidak dapat dibatasi hanya pada satu
atau dua macam ideologi saja. Mengatakan bahwa ideologi hanya ada 2, liberal
atau komunitarianisme, tentu sangat mengaburkan fakta yang ada. Dari sini kita
dapat menderetkan berbagai macam ideologi: ideologi islam, ideologi pancasila,
ideologi integralistik, ideologi kemajemukan, dan sederet yang lain.
Banyak yang menyebut bahwa ideologi Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila lahir melalui jalur sosiohistoris masyarakat Indonesia yang kuat (Soekarno).
Namun, seperti pernah dicontohkan oleh Soeharto, Pancasila juga dapat diposisikan
sebagai alat rekayasa sosial. Terkait dengan alat rekayasa sosial, Marx pernah
mengatakan bahwa ideologi merupakan “kesadaran palsu”, kesadaran yang
diselundupkan oleh kelas borjuis ke dalam kesadaran kelas proletar untuk
menghindari revolusi kelas. Alih-alih ingin mengatakan ideologi proletar yang
lebih benar dibanding ideologi borjuis, yang ingin saya tekankan adalah fungsi
ideologi dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial. Dalam konteks pemikiran Marx
di atas, ideologi berfungsi sebagai alat rekayasa sosial untuk meredam perlawanan
kaum proletar. Oleh karena itu, maka seharusnya Marx tidak dapat memberikan
label palsu pada ideologi borjuis dan label asli pada ideologi proletar.
Bukankah bagi Marx ideologi proletar juga berfungsi sebagai alat rekayasa
sosial? Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan ideologi itu barang palsu atau
bukan. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan ideologi sebagai alat rekayasa
sosial, dan kemudian mengoperasikannya demi kesejahteraan bersama.
Kepentingan
nasional sebagai basis produksi ideologi
Ideologi dianggap baik atau buruk ditinjau dari
kepentingannya. Marx menganggap ideologi merupakan barang jahat karena ideologi
yang berkembang pada saat itu dipandang merepresentasikan kepentingan kaum
borjuis. Oleh karena itu, usul Gramsci, ideologi kaum borjuis tersebut mesti diganti
dengan ideologi kaum proletar. Pada titik ini Gramsci mengharapkan agar
ideologi kaum proletar melakukan counter
hegemony atas ideologi kaum borjuis.
Proyek intelektual Gramsci adalah menjadikan ideologi kaum proletar sebagai
kebenaran yang diterima oleh umum (common
sense).
Dari diskusi di atas, yang ingin saya tekankan adalah
bahwa pembicaraan tentang ideologi tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
tentang kepentingan. Penilaian terhadap ideologi dapat dilakukan dengan cara
mengukur sejauh mana ideologi mengambil peran dalam mensukseskan sebuah
kepentingan.
Proyek pembangunan nasional Indonesia dapat mengambil pelajaran
dari diskursus di atas. Republik ini harus mampu menciptakan ideologi yang memperjuangkan
kepentingan nasional. Selanjutnya, ideologi tersebut mesti diinjeksikan ke
dalam –meminjam bahasa Gramsci– commonsense
dengan cara sosialisasi pada seluruh masyarakat lewat –dalam bahasa Althusser– aparatus ideologis, yaitu institusi
agama, sekolah, keluarga dsb.
Proyek ideologisasi ini tidak boleh hanya di lidah. Kita
tidak boleh lagi mengulangi kesalahan Orde Baru yang melakukan proyek
ideologisasi tanpa realisasi praktik. Kita mesti ulangi proyek tersebut dengan
metode yang berbeda, yang lebih genuine.
Bukan demi eksistensi rezim atau pemerintah, bukan demi kelas pemodal,
melainkan demi kepentingan nasional.
Indonesia bukan hanya milik pemerintah. Indonesia juga
bukan hanya milik individu bermodal besar. Satu orang sejahtera di tanah air
ini, maka orang lain juga harus sejahtera. Visi inilah yang disebut kepentingan
nasional. Dan kepentingan nasional inilah harus dikristalisasi dalam bentuk
ideologi, yang kemudian dioperasikan ke dalam kesadaran seluruh rakyat indonesia.
Referensi
Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta:
KPG, 2008
Rahardjo, Dawam. Pragmatisme dan
Utopia. Jakarta: LP3ES, 1992
No comments:
Post a Comment