Dalam sebuah artikel, Revrisond Baswir berbagi kegelisahannya perihal praktik sistem perekonomian Indonesia.(Kompas, 1 Oktober 2012) Dikatakan disana bahwa terdapat jurang yang teramat lebar antara praktik perekonomian Indonesia dengan amanah konstitusi. Dari tulisannya kita dapat mengetahui bahwa semakin jauh republik ini melangkah dalam sejarah, semakin jauh pula amanah konstitusi dikhianati. Hubungan antara amanah konstitusi dengan praktik ekonomi Indonesia hari ini ibarat jauh panggang daripada api.
Baswir menerangkan bahwa praktik perekonomian republik ini sedang berada di dalam milieu ideologi kapitalisme. Ini mengherankan. Sebab raison d’etre konstitusi adalah penolakan terhadap sistem kapitalisme. Meminjam terminologi Soekarno, konstitusi adalah revolutie groundwet. Artinya, konstutsi merupakan ekspresi paling nyata penolakan terhadap kolonialisme sekaligus watak-wataknya termasuk juga sistem ekonomi kapitalis. (Fitriciada, 2011) Pasal 33 UUD 45 merupakan bukti paling nyata bahwa republik ini menolak sistem ekonomi kapitalis.
Ironis. Sejak pasal 33 dilahirkan, sejak itu pula pasal itu belum dapat sepenuhnya diimplementasikan. Padahal, beberapa ekonom telah membuatkan blue print sistem ekonomi pancasila. Sayangnya, baru dalam level diskursus, sistem ekonomi pancasila sudah terlebih dahulu dipenggal kepalanya. Hal ini ditunjukkan Baswir dalam tulisannya yang mengutip pendapat Mubyarto:
”Dr Sjahrir merasa sulit menerima Pasal 33 UUD 1945 Ayat 1, 2, dan 3 secara tidak direvisi karena kesan yang ditimbulkan adalah ’keniscayan sistem sosialisme yang dianut dalam pasal tersebut’. Dengan perkataan lain, paham sosialisme menurut Sjahrir harus ditolak, karena, ’kita tidak perlu berteman dengan paham ekonomi yang sudah jelas kalah’, dan ’akan lebih baik membina paham ekonomi dunia kapitalisme yang sudah jelas-jelas menang dalam pertarungan” (Kompas, 1 Oktober 2012)
Perang gagasan
Membaca tulisan Revrisond Baswir seperti kembali lagi pada “perang gagasan” yang terjadi semasa 1980an. Pada saat-saat itu terjadi perdebatan alot antara 3 kubu. Kubu pertama ialah para ahli perekonomian kapitalis liberal. Sedangkan yang kedua dan ketiga adalah para pendukung ekonomi pancasila dan pendukung ekonomi sosialis. Meskipun hanya berbentuk pertarungan gagasan, seringkali praktik perekonomian Indonesia ditentukan oleh sejauhmana ideologi perekonomian dapat menguasai diskursus perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, penguasaan terhadap diskursus ekonomi akan sangat menentukan praktik ekonomi Indonesia. Dan sejauh ini, gagasan sistem ekonomi kapitalisme hampir selalu menang di level diskursus dan, oleh karena itu, praktik.
Alexander Irwan menunjukkan road map penetrasi gagasan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia. Pada mulanya adalah gagasan kapitalisme yang dibawa oleh ahli-ahli ekonomi lulusan Amerika. Oleh mereka, kampus dijadikan sebagai institusi penting dalam menyebarluaskan gagasan kapitalisme. (Irwan, 2006) Berbarengan dengan itu, gagasan kapitalisme juga disebarkan melalui seminar-seminar ekonomi yang bekerja sama dengan media massa dan institusi militer. (Mallarangeng, 2008).
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sementara para birokrat sedang mencari legitimasi pengetahuan untuk merumuskan kebijakan ekonomi Indonesia, sistem ekonomi kapitalis mulai menyeruak sebagai rezim kebenaran. Belum lagi ditambah dengan masuknya para ahli ekonomi berwatak kapitalis ke dalam jaringan birokrasi. Tidak hanya beroperasi secara internal, sistem ekonomi kapitalis juga “dipaksa” masuk oleh lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan World Bank. (Irwan, 2006) Rute semacam inilah yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis mampu bercokol kuat di Indonesia.
Semua ini menunjukkan bahwa bertahannya gagasan ekonomi kapitalis di republik ini melibatkan pola relasi kekuasaan yang sangat kompleks. Kelestarian gagasan kapitalisme ditopang oleh kaum akademisi, lembaga donor asing, universitas di Indonesia, institusi pemerintah Indonesia, lembaga penelitian di Indonesia, NGO, dan media massa. Relasi kekuasaan semacam inilah yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis mampu bercokol kuat di Indonesia.
Gerakan ekonomi pancasila mendapatkan perlawanan kuat di wilayah gagasan. Tidak hanya oleh para pembela kapitalisme, tapi juga para pendukung sosialisme –meskipun banyak kalangan menilai sistem ekonomi sosialis memiliki kemiripan dengan sistem ekonomi pancasila–. Pendukung sosialisme mengkritik sistem ekonomi pancasila di aspek pendekatan ekonominya yakni pendekatan kulturalisme. Menurut pendukung sosialisme, sistem ekonomi pancasila terlalu menekankan pada aspek mental masyarakat dalam menganalisis kebobrokan ekonomi. Sistem ekonomi pancasila dituduh hanya banyak bicara tentang moral hazard bukan pada persoalan struktural ekonomi. Sementara itu, pendukung sosialisme mengklaim dirinya memiliki blue print yang bersifat struktural dalam melihat fenomena ekonomi. (Budiman, 1989)
Membongkar Paradigma
Tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, sistem ekonomi pancasila juga memiliki terobosan struktural ekonomi seperti sistem koperasi. Bagi para pendukung sistem ekonomi pancasila, sistem koperasi inilah yang mesti dipaksakan melalui perundang-undangan. Misalnya, sebuah perusahaan industri wajib untuk memberikan beberapa bagian sahamnya kepada serikat pekerja. Dengan demikian, industri tersebut akan berubah menjadi semacam koperasi karena nafasnya adalah usaha bersama dan gotong royong. Model hubungan produksi semacam inilah yang disebut Hatta sebagai demokrasi ekonomi.
Namun sayang sekali, sistem ekonomi pancasila sudah digempur oleh tuduhan tidak ilmiah. Gempuran di wilayah gagasan inilah yang menyebabkan watak perekonomian Indonesia semakin menjauh dari konstitusi. Perlu political will dari pemerintah untuk memaksakan sistem ekonomi pancasila diimplementasikan. Ini kalau pemerintah mau konstitusional. Tidak kalah penting, perlu juga diadakan semacam pembongkaran di wilayah epistemik pemikiran ekonomi Indonesia. Usaha ini dapat dijalankan dengan kerjasama antar kampus-kampus dan epistemic community yang lain. Perlu kerja keras memang. Sebab, hegemoni gagasan kapitalisme sudah demikian berkerak di Indonesia.
Budiman, Arief. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989
Irwan, Alexander. “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, diedit oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, 31-61. Jakarta: Equinox Publishing, 2006.
Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG, 2008.
Alexander Irwan menunjukkan road map penetrasi gagasan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia. Pada mulanya adalah gagasan kapitalisme yang dibawa oleh ahli-ahli ekonomi lulusan Amerika. Oleh mereka, kampus dijadikan sebagai institusi penting dalam menyebarluaskan gagasan kapitalisme. (Irwan, 2006) Berbarengan dengan itu, gagasan kapitalisme juga disebarkan melalui seminar-seminar ekonomi yang bekerja sama dengan media massa dan institusi militer. (Mallarangeng, 2008).
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sementara para birokrat sedang mencari legitimasi pengetahuan untuk merumuskan kebijakan ekonomi Indonesia, sistem ekonomi kapitalis mulai menyeruak sebagai rezim kebenaran. Belum lagi ditambah dengan masuknya para ahli ekonomi berwatak kapitalis ke dalam jaringan birokrasi. Tidak hanya beroperasi secara internal, sistem ekonomi kapitalis juga “dipaksa” masuk oleh lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan World Bank. (Irwan, 2006) Rute semacam inilah yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis mampu bercokol kuat di Indonesia.
Semua ini menunjukkan bahwa bertahannya gagasan ekonomi kapitalis di republik ini melibatkan pola relasi kekuasaan yang sangat kompleks. Kelestarian gagasan kapitalisme ditopang oleh kaum akademisi, lembaga donor asing, universitas di Indonesia, institusi pemerintah Indonesia, lembaga penelitian di Indonesia, NGO, dan media massa. Relasi kekuasaan semacam inilah yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis mampu bercokol kuat di Indonesia.
Gerakan ekonomi pancasila mendapatkan perlawanan kuat di wilayah gagasan. Tidak hanya oleh para pembela kapitalisme, tapi juga para pendukung sosialisme –meskipun banyak kalangan menilai sistem ekonomi sosialis memiliki kemiripan dengan sistem ekonomi pancasila–. Pendukung sosialisme mengkritik sistem ekonomi pancasila di aspek pendekatan ekonominya yakni pendekatan kulturalisme. Menurut pendukung sosialisme, sistem ekonomi pancasila terlalu menekankan pada aspek mental masyarakat dalam menganalisis kebobrokan ekonomi. Sistem ekonomi pancasila dituduh hanya banyak bicara tentang moral hazard bukan pada persoalan struktural ekonomi. Sementara itu, pendukung sosialisme mengklaim dirinya memiliki blue print yang bersifat struktural dalam melihat fenomena ekonomi. (Budiman, 1989)
Membongkar Paradigma
Tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, sistem ekonomi pancasila juga memiliki terobosan struktural ekonomi seperti sistem koperasi. Bagi para pendukung sistem ekonomi pancasila, sistem koperasi inilah yang mesti dipaksakan melalui perundang-undangan. Misalnya, sebuah perusahaan industri wajib untuk memberikan beberapa bagian sahamnya kepada serikat pekerja. Dengan demikian, industri tersebut akan berubah menjadi semacam koperasi karena nafasnya adalah usaha bersama dan gotong royong. Model hubungan produksi semacam inilah yang disebut Hatta sebagai demokrasi ekonomi.
Namun sayang sekali, sistem ekonomi pancasila sudah digempur oleh tuduhan tidak ilmiah. Gempuran di wilayah gagasan inilah yang menyebabkan watak perekonomian Indonesia semakin menjauh dari konstitusi. Perlu political will dari pemerintah untuk memaksakan sistem ekonomi pancasila diimplementasikan. Ini kalau pemerintah mau konstitusional. Tidak kalah penting, perlu juga diadakan semacam pembongkaran di wilayah epistemik pemikiran ekonomi Indonesia. Usaha ini dapat dijalankan dengan kerjasama antar kampus-kampus dan epistemic community yang lain. Perlu kerja keras memang. Sebab, hegemoni gagasan kapitalisme sudah demikian berkerak di Indonesia.
Referensi
Azhari, Aidul Fitriciada. UUD 1945 Sebagai Revolutiegrondwet: Tafsir Postkolonial Atas Gagasan-Gagasan Revolusioner Dalam Wacana Konstitusi Indonesia. Jakarta: Jalasutra, 2011.Budiman, Arief. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989
Irwan, Alexander. “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, diedit oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, 31-61. Jakarta: Equinox Publishing, 2006.
Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG, 2008.
No comments:
Post a Comment