Zamzam Muhammad Fuad
Sudah banyak produk hukum yang baru. Dari sisi itu, seharusnya bangsa ini mampu bangkit. Tapi nyatanya hukum tak dijalankan secara serius. (Mahfud M.D)
Penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Seringkali, hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Gembong narkoba, kerabat pejabat, koruptor, jarang tersentuh oleh sanksi pidana yang menjerakan. Sebaliknya, masyarakat lemah tuna harta dan kuasa jadi sasaran empuk pemenjaraan puluhan tahun.
Kita ingat Corby, gembong narkoba yang mendapat grasi itu. Kita juga tak boleh lupa dengan Artalyta yang mendapatkan pelayanan hotel bintang lima saat mendekam di penjara. Angelina Sondakh hanya dikurung 4 tahun penjara. Itupun belum potongan masa tahanan dan bonus potongan masa tahanan yang selalu niscaya. Belum lama ini juga ada anak pejabat yang hanya dipenjara 8 bulan setelah menabrak mati 2 warga. Sekarang, masyarakat juga tengah menunggu, apakah dewi keadilan akan datang pada persidangan kasus Anas nanti. Tentu saja, bila terbukti bersalah, masyarakat tak ingin lagi koruptor dijerat hukuman yang lebih ringan daripada pencuri sandal dan ayam.
Banyak publik bertanya, mengapa penegakan hukum di indonesia begitu lemah. Mengapa hakim tidak bisa galak terhadap penjahat kelas kakap. Mengapa aparat-aparat penegak hukumnya mudah sekali disuap. Mengapa masih banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. mengapa republik ini seolah-olah tanpa tatanan dan aturan. Masing-masing saling sikut tanpa menghiraukan aturan main. Everybody fight for himself, kata Romo Magnis. Atau bila diibaratkan dalam tarian popular, republik ini seperti harlem shake, bergerak tanpa tatanan dan tak karu-karuan. Persisnya, hukum di republik ini tak pernah dipatuhi, tak berlaku bagi semua warga Negara, tak bisa melakukan rekayasa sosial.
Republik ini bukanlah lawless state, kata Robert Cribb. Indonesia bukanlah negeri yang kekurangan produk hukum atau perundang-undangan. Republik ini mengatur sebagian besar kehidupan warganegaranya. Kalau banyak yang tidak tahu, itu urusan lain. Komentar Cribb ini mirip dengan kutipan perkataan Mahfud M.D di muka yang mengatakan bahwa sudah banyak produk hukum yang diciptakan.
Lebih jauh Cribb mengatakan bahwa catatan buruk penegakan hukum di indonesia adalah kebiasannya yang selalu mengecualikan orang-orang kuat harta dan kuasa sebagai objek sanksi hukuman. Oleh karena itulah ia menjuluki praktik penegakan hukum di indonesia sebagai system of exemption. Lalu, apakah yang menyebabkan proses penegakan hukum di indonesia begitu kacau balau seperti ini? Masing-masing ahli punya pendapatnya. Ada yang meninjau secara historis, ekonomi, politik. mari kita kulik satu persatu.
Bagi Cribb, kacaunya penegakan hukum di Indonesia disebabkan lantaran pewacanaan hukum nasional (lembaga, apparatus, statute, dsb) masih terhitung sangat muda.[1] Terbilang muda karena baru diberlakukan pasca proklamasi. Pemerintah republik tidak menginginkan system hukum colonial tetap digunakan di gunakan.[2] Bagi Cribb, karena umur yang masih sangat muda ini, hukum di indonesia belum terlembaga sepenuhnya di masyarakat. Belum lagi ditambah dengan persoalan pasca diusirnya para apparatus hukum belanda pasca kemerdekaan. Sementara itu, republik baru masih kekurangan sarjana hukum. Latar belakang histori yang seperti ini bagi Cribb memiliki pengaruh terhadap pelembagaan hukum di indonesia.
Daniel Lev, seorang ahli sosiologi hukum dari universitas Cornell juga berbagi perspektif. Menurutnya, sulitnya bangsa ini mengejawantahkan prinsip equality before the law disebabkan oleh budaya feudal patrimonial yang demikian mengakar di indonesia.[3] Asumsinya, tidak mungkin hukum dapat supremebila masyarakat sendiri masih percaya pada ratu adil? Dalam budaya feudal, hukum berada di bawah cengkraman manusia berpengaruh yang karismatis. Hukum adalah apa yang dikatakan oleh penguasa. Persis seperti perkataan Louis XIV: L etat c’est moi. Dalam lanskap berpikir sosiologis itulah Daniel Lev membayangkan system hukum di Indonesia dari masa ke masa. Soekarno, Soeharto, dipandang Lev sebagai penguasa yang menempati dan ditempatkan sebagai ratu adil oleh masyarakat Indonesia.
Kelemahan penegakan hukum di indonesia juga bisa dilihat dari perspektif marxis. Kalau mau dilihat dari perspektif ini, hukum indonesia harus dibayangkan semata-mata sebagai suprastruktur dari hubungan produksi yang ada di dalam Negara. Hukum mesti dimaknai sebagai instrument yang digunakan oleh kelas borjuis penguasa untuk melakukan akumulasi capital. Tulisan-tulisan Richard Robison, Vedi Hadiz, Samsul Hadi, Sritua Arief menjelaskan pada kita bahwa hukum Indonesia tunduk pada kepentingan kelas borjuis.
Dalam trend politik indonesia sekarang, perspektif ini agaknya semakin relevan digunakan. Iklim demokratik procedural+masyarakat miskin dan kurang pendidikan politik+high cost politics menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kerjasama antara petualang politik dengan pebisnis untuk sama-sama melanggengkan kepentingannya. Akhirnya, banyak sekali produk peraturan hukum yang tidak bermutu karena hanya dijadikan alat legitimasi kepentingan pebisnis predatoris. Sri Edi Swasono pernah mengkritik keras amandemen UUD 45 pasal 33. Baginya, penambahan 3 ayat tambahan dalam tersebut, termasuk ditambahkannya redaksi “efisiensi berkeadilan” merupakan campur tangan pemodal asing yang hendak mengacak-acak ekonomi nasional.
Ada juga perspektif yang tak boleh ditinggalkan, yaitu praktik KKN yang sudah menjalar dari pusat hingga daerah dan menjangkiti seluruh lembaga Negara. Sangat mudah diramalkan, penegakan hukum di indonesia tak akan pernah berhasil ketika republik ini disesaki oleh penegak hukum yang korup, mata duitan dan gampang disuap. Paling tidak dari keempat perspektif ini kita bisa memahami mengapa penegakan hukum di indonesia begitu lemah.
Tapi bisa jadi analisanya tidak perlu serumit itu. Membayangkan sejarah masa lalu disamakan dengan sejarah masa kini, hal itu dikhawatirkan akan menyebabkan myopia analisa. Disetiap patahan sejarah, tentu saja ada dinamika yang berbeda. Kalau dulu indonesia kurang sarjana, sekarang sudah ada ribuan sarjana hukum. Kalau dulu eksekutif, legislative, yudikatif hidup dalam diskursus Negara organis, sekarang lembaga-lembaga itu hidup dalam diskursus pembagian kekuasaan dan diskursus demokrasi ultra liberal. Bila sarjana sudah banyak, produk hukum sudah banyak, prinsip pembagian kekuasaan juga sudah mulai menapak, gaji aparat penegak hukum sudah dinaikkan, mengapa masih saja muncul persoalan?
Mengurai benang kusut persoalan di indonesia seoalah-olah tak ada selesainya. Perkataan Mahfud M.D yang saya tuliskan di muka bahwa penegakan hukum di indonesia ditentukan oleh keseriusan agaknya patut dipertimbangkan. Sepintas, jawaban itu terlalu sederhana dan menyederhanakan. Tapi mau bagaimana lagi, pada akhirnya jawaban yang memuaskan tinggal “keseriusan”. Atau kalau dalam bahasa media massa: political will. Bukankah Pascal Blaise juga pernah mengingatkan, Justice without force is powerless; force without justice is tyrannical.
ENDNOTES
[1] Robert Cribb. System of Exemption. Dalam Edward Aspinall. The State and Illegality. Leiden: KITLV.
[2] Meskipun, kita juga tak bisa memungkiri fakta bahwa hukum di indonesia masih menggunakan beberapa kitab hukum buatan belanda. Namun persoalan ini bisa diatasi dengan syarat jika peraturan buatan belanda terebut tidak berseberangan dengan spirit of law-nya hukum indonesia. Lihat Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES.
[3] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES.
[2] Meskipun, kita juga tak bisa memungkiri fakta bahwa hukum di indonesia masih menggunakan beberapa kitab hukum buatan belanda. Namun persoalan ini bisa diatasi dengan syarat jika peraturan buatan belanda terebut tidak berseberangan dengan spirit of law-nya hukum indonesia. Lihat Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES.
[3] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES.
No comments:
Post a Comment