Zamzam Muhammad Fuad
Latar belakang
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang wacana integrasi nasional di wilayah perbatasan Indonesia, khususnya Provinsi Kepulauan Riau. Pembicaraan tentang Provinsi Kepulauan Riau ini menjadi menarik karena provinsi ini berbatasan langsung dengan Singapura, dan Malaysia. Menjadi lebih unik karena masyarakat Riau, Singapura dan Malaysia masih memiliki perasaan satu etnis. Harus diakui bahwa hari ini di Kepulauan Riau relatif tidak ada pergolakan-pergolakan yang mengancam integrasi nasional. Tentu saja ini merupakan keberhasilan. Namun perlu dicatat bahwa keberhasilan ini bukan “taken for granted”. Sekalipun demikian, jarang sekali ahli yang berusaha untuk menjelaskan mengapa keberhasilan ini bisa terjadi. Padahal, dengan mempelajari dinamika integrasi nasional di Kepulauan Riau kita dapat mendapatkan pelajaran tentang pembangunan kawasan perbatasan untuk diterapkan di wilayah perbatasan Indonesia yang lain. Dan karena alasan inilah saya menulis artikel ini.
Banyak orang sepakat bahwa pembangunan kawasan perbatasan di Kepulauan Riau dinilai berhasil. Sebab, kesadaran masyarakat di Kepulauan Riau terhadap integrasi nasional sudah sedemikian tinggi. Pemandangan seperti ini tentu saja masih sulit ditemukan di Papua, misalnya. Namun perlu diketahui, keberhasilan di Kepulauan Riau ini tidak dicapai dengan sekejap mata. Pernah pada suatu masa, terdapat pergolakan etnis yang mengancam integrasi nasional seperti Gerakan Riau Merdeka (GRM). Selain itu, ada juga masa-masa bilamana kesadaran nasionalisme masyarakat Kepulauan Riau berganda. Di satu sisi mereka hidup di dalam territorial NKRI, namun secara kultural sosial ekonomi mereka sangat terkait dengan Singapura dan Malaysia. Sekarang, kondisinya telah berubah. Kesadaran masyarakat Kepulauan Riau relatif telah terintegrasi penuh dengan NKRI.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa kesadaran nasional masyarakat Kepri bukan sesuatu yang taken for granted dan sekali jadi. Kesadaran nasional masyarakat Kepri berjalan sangat dinamis dan berada dalam proses “menjadi”. Dengan kerangka latar belakang ini tulisan ini akan berusaha untuk menjelaskan diskontinuitas (sinkroni) perjalanan kesadaran nasional masyarakat Kepulauan Riau yang sangat dinamik itu. Sekaligus memaparkan faktor-faktor material yang menyebabkan terbitnya kesadaran nasional itu.
Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan Negara yang tersusun atas berbagai macam etnis. Cerita tentang Indonesia, dengan demikian, adalah cerita tentang kompromi antara satu etnis dengan etnis yang lain untuk membentuk suatu kesatuan politik dan identitas nasional bernama Indonesia. Proses menjadi satu inilah yang kemudian dinamakan dengan integrasi nasional. Sebagaimana Drake menjelaskan, integrasi nasional adalah proses bersatunya “perasaan” orang-orang yang memiliki latar belakang tempat hidup berbeda, etnis yang berbeda, sosial kulutural yang berbeda, ekonomi yang berbeda, menjadi sebuah identitas bersama bernama bangsa.[1] Identitas nasional yang terbentuk ini dengan sendirinya akan menimbulkan perasaan “ke-kita-an” dan “ke-mereka-an”.
Dalam konsep bangsa, batasan antara “kita” dan “mereka” begitu kabur. Sebab berbangsa adalah persoalan “perasaan”. Lantaran dianggap kabur, maka berbangsa saja tidak cukup untuk mengikrarkan persatuan. Kesatuan perasaan itu harus ditegaskan dalam sebuah kesatuan hukum. Dan, proses terintegrasinya pluralitas identitas ke dalam sebuah kesatuan hukum itulah yang dinamakan dengan bernegara. Dalam pengertian yang seperti ini, muncullah sebuah problematika, yaitu fakta tentang adanya ruang yang berisi kumpulan etnis yang merasa satu bangsa namun tidak bernegara. Sebaliknya ada juga ruang yang berisi kumpulan etnis yang bernegara namun merasa tidak satu bangsa. Melalui problematika hubungan antara berbangsa dan bernegara inilah ruang yang bernama Kepulauan Riau akan kita teropong.
Deteritorialitas Masyarakat Kepulauan Riau
Kepulauan Riau (Kepri) selalu dipandang sebagai wilayah yang unik bagi setiap pemerintah yang pernah ada di hindia belanda/indonesia. Jauh sebelum Hindia Belanda datang di nusantara masyarakat Kepri sudah sangat dekat dengan masyarakat Singapura dan Malaysia.[2] Bahkan, aktivitas di Selat Malaka ini hanya bisa dikalahkan oleh keramaian kapal di Selat Dover, Inggris.[3] Dilihat dari sejarahnya, secara sosial kultural, mereka adalah satu rumpun etnis yaitu melayu. Secara ekonomi, mereka juga dihubungkan dengan oleh kegiatan jual beli hasil alam baik darat atau laut. Hubungan ini menjadikan masyarakat Singapura, Kepri dan Malaysia perbatasan menjadi demikian akrab. Bahkan tidak jarang mereka saling menyambangi dan saling menetap baik itu sementara atau permanen. Tidak jarang suatu keluarga di Kepulauan Riau memiliki kerabat yang menetap di Singapura atau Johor Malaysia.[4] Selain secara sosial kultural dan ekonomi, hubungan baik dan mobilitas yang tinggi antara Singapura, Kepri, dan Malaysia perbatasan juga disebabkan oleh faktor politik. Mereka merasa memiliki hubungan akrab akibat otoritas politik kerajaan setempat yang menembus perbatasan antar Negara sebagaimana yang ada sekarang. Otoritas Sultan Indragiri, misalnya, menembus hingga Singapura. Sebaliknya, pernah juga pijar kekuasaan kerajaan malaka dan malay memancar hingga Kepri.[5]
Semua ini dengan sendirinya mewariskan sebuah perasaan berbangsa yang unik bagi masyarakat Kepri. Saat datang di indonesia, belanda menorehkan garis batas administrative yang tegas antara Kepri dan Malaysia. Namun, pemerintah colonial belanda juga merasa kesulitan untuk membendung arus mobilitas antar masyarakat melayu tersebut. Bahkan pada masa itu, mata uang belanda tidak berlaku di Kepri. Sekalipun dapat mengambil keuntungan ekonomi dari kondisi ini, Pemerintah colonial belanda tetap menanggung “kerugian teritorialitas”.
Gilles Deleuze dan Felix Guattari memaparkan bahwa pola masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah) sangat dibenci oleh Negara yang immobile. Sebab tantangan Negara yang immobile adalah meraih sekaligus menjaga kedaulatan. Hal ini dengan sendirinya akan mendorong Negara tersebut untuk terus menerus menorehkan garis tegas batas wilayah kekuasaan politik sembari menjaga garis perbatasan tersebut agar tidak disusupi oleh otoritas Negara lain. Atau bisa disimpulkan, Negara yang immobile adalah Negara yang sangat menekankan persoalan teritorialitas. Oleh karena itulah, Negara yang immobile cenderung membenci masyarakat nomaden. Masyarakat seperti itu dikhawatirkan hanya akan melakukan deteritorialisasi terus menerus, sehingga “perbatasan” tidak lagi bermakna, sebab secara de facto perbatasan selalu dilanggar oleh masyarakat nomaden tersebut.[6]
Namun Belanda tidak ambil pusing terhadap deteritorialisasi terus menerus yang dilakukan oleh masayarakat Kepri di kawasan tersebut. Mungkin karena logika mereguk pencapaian ekonomis masih terlalu kuat menjalari setiap kebijakan-kebijakan politik Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, barulah imbas dari praktik deteritorialisasi ini mulai terasa. Bukan karena batas wilayah NKRI yang diingkari secara de facto, namun karena munculnya identitas kebangsaan yang ambivalen pada masyarakat Kepri.
Identitas nasional yang ambivalen
Pasca kemerdekaan, hubungan etnis melayu di Kepri antara masyarakat Kepri, Singapura dan Malaysia perbatasan sudah sedemikian erat. Pemerintah soekarno, seperti halnya pemerintah colonial belanda, pada awalnya juga membiarkan kondisi tersebut. Bahkan, untuk pertamakali dalam sejarah Indonesia, Kepri adalah wilayah yang diizinkan untuk menggunakan mata uang selain rupiah, yaitu dollar Singapura/Malaysia, dalam melakukan aktivitas ekonomi. Masa-masa dimana Kepri menggunakan mata uang asig itu akrab disebut dengan “zaman dollar”[7]
Perlu ditekankan sekali lagi, sejak sebelum revolusi kemerdekaan hingga masa awal kepemimpinan melayu, Kepri merupakan zona bebas bagi kegiatan ekonomi antar Negara Singapura dan Malaysia.[8] Kenyataan bahwa mata uang dollar yang digunakan berdampak pada kesejahteraan masyarakat Kepri. Sebab, sampai era reformasi, belum ada dalam sejarah Indonesia mata uang rupiah lebih kuat daripada mata uang Malaysia dan Singapura.
Barangkali saat itu pemerintah Soekarno belum menyadari bahwa mobilitas yang demikian tinggi masyarakat Kepri di luar perbatasan indonesia dan penggunaan mata uang asing di Kepri akan berakibat pada munculnya identitas nasional yang ambivalen. Adanya deteritorialisasi dan penggunaan mata uang asing yang dilakukan oleh masyarakat Kepri menandakan ambivalensi kesadaran bernegara. Ambivalensi ini tidak akan menjadi masalah yang kelewat serius apabila kesadaran berbangsa masih kuat.
Di luar dugaan, deteritorialisasi dan penggunaan mata uang asing dengan sendirinya tidak hanya mengambivalenisasi kesadaran bernegara masyarakat Kepri, melainkan juga menimbulkan ambivalensi kesadaran berbangsa. Sebab, bangsa yang didefinisikan oleh pemerintah nasional cakupannya terlalu sempit bagi masyarakat Kepri yang memiliki banyak kerabat di Singapura dan Malaysia perbatasan.
Pertemuan antara ambivalensi kesadaran berbangsa dan bernegara ini menyebabkan masyarakat Kepri ini rawan bergolak bila pemerintah pusat melakukan tindakan yang mengecewakan. Hipotesa-hipotesa ini semakin diperkuat oleh munculnya Kongres Rakyat Riau (KRR) pada tahun 1956. Meskipun tujuan akhir KRR bukan kemerdekaan Riau, namun kenyataan ini bisa jadi melukiskan bahwa masyarakat Riau tengah mengalami sindrom “cinta benci” terhadap pemerintah indonesia. Sindrom ini bisa jadi muncul karena adanya identitas nasional masyarakat Kepri yang ambivalen. Sindrom ini pula bisa menjadi faktor yang menyebabkan PRRI mengalami pertumbuhan pesat di Riau. Bahkan, setelah Soeharto lengser, terjadi deklarasi Gerakan Riau Merdeka.
SIJORI: instrument nasionalisme yang tak disengaja?
Pada medio 80an, Pemerintah Orde Baru menerbitkan kebijakan SIJORI (Singapura-Johor-Riau), sebuah kebijakan ekonomi yang mengatur tentang hubungan ekonomi antara Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tujuan SIJORI adalah “mendekatkan kembali” hubungan ekonomi antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.[9] Dikatakan mendekatkan kembali karena hubungan ekonomi antara ketiga Negara ini sempat mengalami gangguan paska soekarno melakukan “konfrontasi” terhadap pendirian Negara Malaysia.
Uniknya, kebijakan untuk mendekatkan kembali tiga wilayah ini justru memupus ambivalensi identitas masyarakat Kepulauan Riau. Padahal, di era-era sebelumnya, rekatnya hubungan tiga wilayah itu menjadi sebab munculnya ambivalensi identitas masyarakat Kepulauan Riau. Pertanyaannya kemudian adalah, apa saja yang terjadi pada periode paska SIJORI diimplementasikan?
Pembukaan kembali hubungan antara tiga Negara menimbulkan sentimen antar etnis melayu di Malaysia, Kepulauan Riau dan Singapura. Meskipun masih sama-sama melayu, masyarakat Kepulauan Riau merasa telah didiskriminasikan oleh etnis melayu di Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan karena kebanyakan masyarakat Kepri di Negara tetangga yang menjadi pekerja di Singapura dan Malaysia banyak dicemooh oleh masyaraka Singapura dan Malaysia. Pada periode inilah istilah “indon” mulai terdengar umum. Indon sendiri adalah panggilan berkonotasi negative yang ditujukan kepada warganegara indonesia yang bekerja di Singapura atau Malaysia.[10]
Bagi pemerintah Orde Baru, SIJORI mungkin hanyalah kebijakan yang menyangkut soal perekonomian semata. Namun bila dicermati lebih dalam, lebih dari itu. Lantaran ada SIJORI, identitas kemelayuan masyarakat Kepri didiskriminasi. Tentu saja, perlakuan diskriminatif ini tidak disenangi oleh masyarakat Kepri. Akhirnya, di masa-masa inilah muncul garis tegas perbedaan antara “kita” (masyakat Kepri) dan “mereka” (masyarakat Singapura dan Malaysia). Sebagaimana yang ditulis oleh Carole Foulcher: “segitiga pertumbuhan itu memunculkan suatu hirarki transnasional baru ketika modal Singapura memimpin di tempat teratas dan Kepulauan Riau menduduki posisi paling bawah sebagai pemasok tenaga kerja murah.”
Peran Pendidikan
Selain dampak SIJORI yang tak disengaja, “integrative revolution” yang dialami masyarakat Kepri juga dipengaruhi oleh pendidikan dan tayangan-tayangan televisi nasional. Setidaknya terdapat 2 wacana pendidikan yang berkembang di Kepri. Pertama adalah wacana pendidikan local. Kedua adalah wacana pendidikan nasional. Yang disebut pertama adalah wacana pendidikan yang berkembang di madrasah-madrasah. Sedangkan yang disebut terakhir adalah wacana pendidikan yang berkembang di sekolah-sekolah yang materi-materi pelajarannya mengikuti kurikulum nasional.
Terkait dengan hal di atas, tidak ada pertentangan antara pendidikan local dan pendidikan nasional di Kepri sejak sekolah-sekolah formal memasukkan materi muatan local dalam kurikulum. System pendidikan nasional di Kepri yang telah terpraktikkan sejak lama berhasil merubah system kognisi masyarakat perbatasan ini terintegrasi sepenuhnya dengan indonesia.
Melalui pendidikan, masyarakat Kepri lebih akrab dengan bahasa indonesia, daripada bahasa-bahasa melayu Singapura atau Malaysia perbatasan. Di sini, perkataan Gellner menjadi relevan untuk dituliskan “school textbooks and the key role played by them helping to inculcate children that they belong to a specific nation.” [11] Pendidikan memang instrument yang utama dan paling efektif untuk menanamkan nasionalisme dan identitas nasional pada masyarakat.
Kesimpulan
Dari kasus Kepulauan Riau dapat dilihat bahwa identitas dan kesadaran nasional bukanlah “barang jadi”. Lebih dari itu, ia adalah proses “menjadi” yang berjalan sangat dinamis. Pada awalnya, kesadaran nasional masyarakat Kepri berada dalam ambivalensi. Pada sebuah titik sejarah, pernah perasaan kebangsaanya lebih kuat dari pada kesadaran bernegaranya. Deteritorialisasi dan penggunaan mata uang selain rupaiah pada masyarakat Kepri membuktikan hipotesa tersebut. Pada titik sejarah yang lain, pernah juga perasaan bernegaranya lebih kuat daripada kesadaran berbangsa. Yaitu ketika hukum menjadi penghalang mobilitas berkunjung ke sesame kerabat melayu di malaysia dan Singapura.
Sekarang, namun identitas masyarakat Kepri yang ambivalen itu telah berubah. Ada patahan sejarah (historical fracture) yang mendorong adanya integrative revolution pada identitas masyarakat Kepri. Patahan sejarah inilah yang kemudian menggoreskan garis tegas bahwa “kita” (masyarakat Kepri) berbeda dengan “mereka” (masyarakat Singapura dan Malaysia perbatasan). Perkataan salah satu sekretaris LSM di Kepri sangat tepat untuk dikutipkan di sini:
“Kami orang melayu dan harus senantiasa memperkuat dan memupuk hubungan ekonomi dan kulutral dengan orang-orang melayu di Malaysia dan Singapura. Meskipun begitu, juga penting dipahami bahwa kami mempunyai identitas kami sendiri. Kami perlu diplomatis, tetapi andaikata konfrontasi terjadi lagi, saya jelas akan memihak indonesia”[12]
Historical fracture yang terjadi pada sejarah masyarakat Kepri ditandai oleh kebijakan SIJORI dan massifikasi pendidikan nasional. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan berbangsa sekaligus bernegara masyarakat Kepri. Seperti halnya dicatat oleh Carole Foulcher bahwa sulit memperkirakan dampak sosial kultural apakah yang akan terjadi pada masyarakat Kepri apabila pendidikan dan media massa absen dalam penguatan identitas nasional masyarakat Kepri.[13]
ENDNOTES
Banyak orang sepakat bahwa pembangunan kawasan perbatasan di Kepulauan Riau dinilai berhasil. Sebab, kesadaran masyarakat di Kepulauan Riau terhadap integrasi nasional sudah sedemikian tinggi. Pemandangan seperti ini tentu saja masih sulit ditemukan di Papua, misalnya. Namun perlu diketahui, keberhasilan di Kepulauan Riau ini tidak dicapai dengan sekejap mata. Pernah pada suatu masa, terdapat pergolakan etnis yang mengancam integrasi nasional seperti Gerakan Riau Merdeka (GRM). Selain itu, ada juga masa-masa bilamana kesadaran nasionalisme masyarakat Kepulauan Riau berganda. Di satu sisi mereka hidup di dalam territorial NKRI, namun secara kultural sosial ekonomi mereka sangat terkait dengan Singapura dan Malaysia. Sekarang, kondisinya telah berubah. Kesadaran masyarakat Kepulauan Riau relatif telah terintegrasi penuh dengan NKRI.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa kesadaran nasional masyarakat Kepri bukan sesuatu yang taken for granted dan sekali jadi. Kesadaran nasional masyarakat Kepri berjalan sangat dinamis dan berada dalam proses “menjadi”. Dengan kerangka latar belakang ini tulisan ini akan berusaha untuk menjelaskan diskontinuitas (sinkroni) perjalanan kesadaran nasional masyarakat Kepulauan Riau yang sangat dinamik itu. Sekaligus memaparkan faktor-faktor material yang menyebabkan terbitnya kesadaran nasional itu.
Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan Negara yang tersusun atas berbagai macam etnis. Cerita tentang Indonesia, dengan demikian, adalah cerita tentang kompromi antara satu etnis dengan etnis yang lain untuk membentuk suatu kesatuan politik dan identitas nasional bernama Indonesia. Proses menjadi satu inilah yang kemudian dinamakan dengan integrasi nasional. Sebagaimana Drake menjelaskan, integrasi nasional adalah proses bersatunya “perasaan” orang-orang yang memiliki latar belakang tempat hidup berbeda, etnis yang berbeda, sosial kulutural yang berbeda, ekonomi yang berbeda, menjadi sebuah identitas bersama bernama bangsa.[1] Identitas nasional yang terbentuk ini dengan sendirinya akan menimbulkan perasaan “ke-kita-an” dan “ke-mereka-an”.
Dalam konsep bangsa, batasan antara “kita” dan “mereka” begitu kabur. Sebab berbangsa adalah persoalan “perasaan”. Lantaran dianggap kabur, maka berbangsa saja tidak cukup untuk mengikrarkan persatuan. Kesatuan perasaan itu harus ditegaskan dalam sebuah kesatuan hukum. Dan, proses terintegrasinya pluralitas identitas ke dalam sebuah kesatuan hukum itulah yang dinamakan dengan bernegara. Dalam pengertian yang seperti ini, muncullah sebuah problematika, yaitu fakta tentang adanya ruang yang berisi kumpulan etnis yang merasa satu bangsa namun tidak bernegara. Sebaliknya ada juga ruang yang berisi kumpulan etnis yang bernegara namun merasa tidak satu bangsa. Melalui problematika hubungan antara berbangsa dan bernegara inilah ruang yang bernama Kepulauan Riau akan kita teropong.
Deteritorialitas Masyarakat Kepulauan Riau
Kepulauan Riau (Kepri) selalu dipandang sebagai wilayah yang unik bagi setiap pemerintah yang pernah ada di hindia belanda/indonesia. Jauh sebelum Hindia Belanda datang di nusantara masyarakat Kepri sudah sangat dekat dengan masyarakat Singapura dan Malaysia.[2] Bahkan, aktivitas di Selat Malaka ini hanya bisa dikalahkan oleh keramaian kapal di Selat Dover, Inggris.[3] Dilihat dari sejarahnya, secara sosial kultural, mereka adalah satu rumpun etnis yaitu melayu. Secara ekonomi, mereka juga dihubungkan dengan oleh kegiatan jual beli hasil alam baik darat atau laut. Hubungan ini menjadikan masyarakat Singapura, Kepri dan Malaysia perbatasan menjadi demikian akrab. Bahkan tidak jarang mereka saling menyambangi dan saling menetap baik itu sementara atau permanen. Tidak jarang suatu keluarga di Kepulauan Riau memiliki kerabat yang menetap di Singapura atau Johor Malaysia.[4] Selain secara sosial kultural dan ekonomi, hubungan baik dan mobilitas yang tinggi antara Singapura, Kepri, dan Malaysia perbatasan juga disebabkan oleh faktor politik. Mereka merasa memiliki hubungan akrab akibat otoritas politik kerajaan setempat yang menembus perbatasan antar Negara sebagaimana yang ada sekarang. Otoritas Sultan Indragiri, misalnya, menembus hingga Singapura. Sebaliknya, pernah juga pijar kekuasaan kerajaan malaka dan malay memancar hingga Kepri.[5]
Semua ini dengan sendirinya mewariskan sebuah perasaan berbangsa yang unik bagi masyarakat Kepri. Saat datang di indonesia, belanda menorehkan garis batas administrative yang tegas antara Kepri dan Malaysia. Namun, pemerintah colonial belanda juga merasa kesulitan untuk membendung arus mobilitas antar masyarakat melayu tersebut. Bahkan pada masa itu, mata uang belanda tidak berlaku di Kepri. Sekalipun dapat mengambil keuntungan ekonomi dari kondisi ini, Pemerintah colonial belanda tetap menanggung “kerugian teritorialitas”.
Gilles Deleuze dan Felix Guattari memaparkan bahwa pola masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah) sangat dibenci oleh Negara yang immobile. Sebab tantangan Negara yang immobile adalah meraih sekaligus menjaga kedaulatan. Hal ini dengan sendirinya akan mendorong Negara tersebut untuk terus menerus menorehkan garis tegas batas wilayah kekuasaan politik sembari menjaga garis perbatasan tersebut agar tidak disusupi oleh otoritas Negara lain. Atau bisa disimpulkan, Negara yang immobile adalah Negara yang sangat menekankan persoalan teritorialitas. Oleh karena itulah, Negara yang immobile cenderung membenci masyarakat nomaden. Masyarakat seperti itu dikhawatirkan hanya akan melakukan deteritorialisasi terus menerus, sehingga “perbatasan” tidak lagi bermakna, sebab secara de facto perbatasan selalu dilanggar oleh masyarakat nomaden tersebut.[6]
Namun Belanda tidak ambil pusing terhadap deteritorialisasi terus menerus yang dilakukan oleh masayarakat Kepri di kawasan tersebut. Mungkin karena logika mereguk pencapaian ekonomis masih terlalu kuat menjalari setiap kebijakan-kebijakan politik Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, barulah imbas dari praktik deteritorialisasi ini mulai terasa. Bukan karena batas wilayah NKRI yang diingkari secara de facto, namun karena munculnya identitas kebangsaan yang ambivalen pada masyarakat Kepri.
Identitas nasional yang ambivalen
Pasca kemerdekaan, hubungan etnis melayu di Kepri antara masyarakat Kepri, Singapura dan Malaysia perbatasan sudah sedemikian erat. Pemerintah soekarno, seperti halnya pemerintah colonial belanda, pada awalnya juga membiarkan kondisi tersebut. Bahkan, untuk pertamakali dalam sejarah Indonesia, Kepri adalah wilayah yang diizinkan untuk menggunakan mata uang selain rupiah, yaitu dollar Singapura/Malaysia, dalam melakukan aktivitas ekonomi. Masa-masa dimana Kepri menggunakan mata uang asig itu akrab disebut dengan “zaman dollar”[7]
Perlu ditekankan sekali lagi, sejak sebelum revolusi kemerdekaan hingga masa awal kepemimpinan melayu, Kepri merupakan zona bebas bagi kegiatan ekonomi antar Negara Singapura dan Malaysia.[8] Kenyataan bahwa mata uang dollar yang digunakan berdampak pada kesejahteraan masyarakat Kepri. Sebab, sampai era reformasi, belum ada dalam sejarah Indonesia mata uang rupiah lebih kuat daripada mata uang Malaysia dan Singapura.
Barangkali saat itu pemerintah Soekarno belum menyadari bahwa mobilitas yang demikian tinggi masyarakat Kepri di luar perbatasan indonesia dan penggunaan mata uang asing di Kepri akan berakibat pada munculnya identitas nasional yang ambivalen. Adanya deteritorialisasi dan penggunaan mata uang asing yang dilakukan oleh masyarakat Kepri menandakan ambivalensi kesadaran bernegara. Ambivalensi ini tidak akan menjadi masalah yang kelewat serius apabila kesadaran berbangsa masih kuat.
Di luar dugaan, deteritorialisasi dan penggunaan mata uang asing dengan sendirinya tidak hanya mengambivalenisasi kesadaran bernegara masyarakat Kepri, melainkan juga menimbulkan ambivalensi kesadaran berbangsa. Sebab, bangsa yang didefinisikan oleh pemerintah nasional cakupannya terlalu sempit bagi masyarakat Kepri yang memiliki banyak kerabat di Singapura dan Malaysia perbatasan.
Pertemuan antara ambivalensi kesadaran berbangsa dan bernegara ini menyebabkan masyarakat Kepri ini rawan bergolak bila pemerintah pusat melakukan tindakan yang mengecewakan. Hipotesa-hipotesa ini semakin diperkuat oleh munculnya Kongres Rakyat Riau (KRR) pada tahun 1956. Meskipun tujuan akhir KRR bukan kemerdekaan Riau, namun kenyataan ini bisa jadi melukiskan bahwa masyarakat Riau tengah mengalami sindrom “cinta benci” terhadap pemerintah indonesia. Sindrom ini bisa jadi muncul karena adanya identitas nasional masyarakat Kepri yang ambivalen. Sindrom ini pula bisa menjadi faktor yang menyebabkan PRRI mengalami pertumbuhan pesat di Riau. Bahkan, setelah Soeharto lengser, terjadi deklarasi Gerakan Riau Merdeka.
SIJORI: instrument nasionalisme yang tak disengaja?
Pada medio 80an, Pemerintah Orde Baru menerbitkan kebijakan SIJORI (Singapura-Johor-Riau), sebuah kebijakan ekonomi yang mengatur tentang hubungan ekonomi antara Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tujuan SIJORI adalah “mendekatkan kembali” hubungan ekonomi antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.[9] Dikatakan mendekatkan kembali karena hubungan ekonomi antara ketiga Negara ini sempat mengalami gangguan paska soekarno melakukan “konfrontasi” terhadap pendirian Negara Malaysia.
Uniknya, kebijakan untuk mendekatkan kembali tiga wilayah ini justru memupus ambivalensi identitas masyarakat Kepulauan Riau. Padahal, di era-era sebelumnya, rekatnya hubungan tiga wilayah itu menjadi sebab munculnya ambivalensi identitas masyarakat Kepulauan Riau. Pertanyaannya kemudian adalah, apa saja yang terjadi pada periode paska SIJORI diimplementasikan?
Pembukaan kembali hubungan antara tiga Negara menimbulkan sentimen antar etnis melayu di Malaysia, Kepulauan Riau dan Singapura. Meskipun masih sama-sama melayu, masyarakat Kepulauan Riau merasa telah didiskriminasikan oleh etnis melayu di Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan karena kebanyakan masyarakat Kepri di Negara tetangga yang menjadi pekerja di Singapura dan Malaysia banyak dicemooh oleh masyaraka Singapura dan Malaysia. Pada periode inilah istilah “indon” mulai terdengar umum. Indon sendiri adalah panggilan berkonotasi negative yang ditujukan kepada warganegara indonesia yang bekerja di Singapura atau Malaysia.[10]
Bagi pemerintah Orde Baru, SIJORI mungkin hanyalah kebijakan yang menyangkut soal perekonomian semata. Namun bila dicermati lebih dalam, lebih dari itu. Lantaran ada SIJORI, identitas kemelayuan masyarakat Kepri didiskriminasi. Tentu saja, perlakuan diskriminatif ini tidak disenangi oleh masyarakat Kepri. Akhirnya, di masa-masa inilah muncul garis tegas perbedaan antara “kita” (masyakat Kepri) dan “mereka” (masyarakat Singapura dan Malaysia). Sebagaimana yang ditulis oleh Carole Foulcher: “segitiga pertumbuhan itu memunculkan suatu hirarki transnasional baru ketika modal Singapura memimpin di tempat teratas dan Kepulauan Riau menduduki posisi paling bawah sebagai pemasok tenaga kerja murah.”
Peran Pendidikan
Selain dampak SIJORI yang tak disengaja, “integrative revolution” yang dialami masyarakat Kepri juga dipengaruhi oleh pendidikan dan tayangan-tayangan televisi nasional. Setidaknya terdapat 2 wacana pendidikan yang berkembang di Kepri. Pertama adalah wacana pendidikan local. Kedua adalah wacana pendidikan nasional. Yang disebut pertama adalah wacana pendidikan yang berkembang di madrasah-madrasah. Sedangkan yang disebut terakhir adalah wacana pendidikan yang berkembang di sekolah-sekolah yang materi-materi pelajarannya mengikuti kurikulum nasional.
Terkait dengan hal di atas, tidak ada pertentangan antara pendidikan local dan pendidikan nasional di Kepri sejak sekolah-sekolah formal memasukkan materi muatan local dalam kurikulum. System pendidikan nasional di Kepri yang telah terpraktikkan sejak lama berhasil merubah system kognisi masyarakat perbatasan ini terintegrasi sepenuhnya dengan indonesia.
Melalui pendidikan, masyarakat Kepri lebih akrab dengan bahasa indonesia, daripada bahasa-bahasa melayu Singapura atau Malaysia perbatasan. Di sini, perkataan Gellner menjadi relevan untuk dituliskan “school textbooks and the key role played by them helping to inculcate children that they belong to a specific nation.” [11] Pendidikan memang instrument yang utama dan paling efektif untuk menanamkan nasionalisme dan identitas nasional pada masyarakat.
Kesimpulan
Dari kasus Kepulauan Riau dapat dilihat bahwa identitas dan kesadaran nasional bukanlah “barang jadi”. Lebih dari itu, ia adalah proses “menjadi” yang berjalan sangat dinamis. Pada awalnya, kesadaran nasional masyarakat Kepri berada dalam ambivalensi. Pada sebuah titik sejarah, pernah perasaan kebangsaanya lebih kuat dari pada kesadaran bernegaranya. Deteritorialisasi dan penggunaan mata uang selain rupaiah pada masyarakat Kepri membuktikan hipotesa tersebut. Pada titik sejarah yang lain, pernah juga perasaan bernegaranya lebih kuat daripada kesadaran berbangsa. Yaitu ketika hukum menjadi penghalang mobilitas berkunjung ke sesame kerabat melayu di malaysia dan Singapura.
Sekarang, namun identitas masyarakat Kepri yang ambivalen itu telah berubah. Ada patahan sejarah (historical fracture) yang mendorong adanya integrative revolution pada identitas masyarakat Kepri. Patahan sejarah inilah yang kemudian menggoreskan garis tegas bahwa “kita” (masyarakat Kepri) berbeda dengan “mereka” (masyarakat Singapura dan Malaysia perbatasan). Perkataan salah satu sekretaris LSM di Kepri sangat tepat untuk dikutipkan di sini:
“Kami orang melayu dan harus senantiasa memperkuat dan memupuk hubungan ekonomi dan kulutral dengan orang-orang melayu di Malaysia dan Singapura. Meskipun begitu, juga penting dipahami bahwa kami mempunyai identitas kami sendiri. Kami perlu diplomatis, tetapi andaikata konfrontasi terjadi lagi, saya jelas akan memihak indonesia”[12]
Historical fracture yang terjadi pada sejarah masyarakat Kepri ditandai oleh kebijakan SIJORI dan massifikasi pendidikan nasional. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan berbangsa sekaligus bernegara masyarakat Kepri. Seperti halnya dicatat oleh Carole Foulcher bahwa sulit memperkirakan dampak sosial kultural apakah yang akan terjadi pada masyarakat Kepri apabila pendidikan dan media massa absen dalam penguatan identitas nasional masyarakat Kepri.[13]
ENDNOTES
[1] Hajar G. Pramudyasmoro. 2011. Decentralisation and National Integration in Indonesia: A Case Study of Post-New Order Riau. Saarbrucken: Lambert Academic Publishing, hal. 93
[2] Hajar G. Pramudyasmoro. 2011. Decentralisation and National Integration in Indonesia: A Case Study of Post-New Order Riau. Saarbrucken: Lambert Academic Publishing, hal.151
[3] Sri Sutjiatiningsih. Gatot Winoto. 1999. Kepulauan Riau Pada Masa Dollar. Jakarta: Depdikbud. Hal. 56
[4] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 583
[5] Hajar G. Pramudyasmoro. 2011. Decentralisation and National Integration in Indonesia: A Case Study of Post-New Order Riau. Saarbrucken: Lambert Academic Publishing, hal.155
[6] Dalam Simon Philpott. 2003. Meruntuhkan Indonesia; Politik Postkolonial dan Otoritarianisme. Diterjemahkan oleh Nuruddin Mhd. Ali dan Uzair Fauzan. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. 57-59
[7] Sri Sutjiatiningsih. Gatot Winoto. 1999. Kepulauan Riau Pada Masa Dollar. Jakarta: Depdikbud. Hal.55
[8] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 581
[9] Mubyarto. 1992. Perekonomian Riau Selayang Pandang. Dalam Riau Dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 3
[10] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 583
[11] dalam Rhys Jones dkk. An Introduction To Political Geography: Space, Place And Politics. London: Routledge, 2004.
[12] Dalam Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 584
[13] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 594
[2] Hajar G. Pramudyasmoro. 2011. Decentralisation and National Integration in Indonesia: A Case Study of Post-New Order Riau. Saarbrucken: Lambert Academic Publishing, hal.151
[3] Sri Sutjiatiningsih. Gatot Winoto. 1999. Kepulauan Riau Pada Masa Dollar. Jakarta: Depdikbud. Hal. 56
[4] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 583
[5] Hajar G. Pramudyasmoro. 2011. Decentralisation and National Integration in Indonesia: A Case Study of Post-New Order Riau. Saarbrucken: Lambert Academic Publishing, hal.155
[6] Dalam Simon Philpott. 2003. Meruntuhkan Indonesia; Politik Postkolonial dan Otoritarianisme. Diterjemahkan oleh Nuruddin Mhd. Ali dan Uzair Fauzan. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. 57-59
[7] Sri Sutjiatiningsih. Gatot Winoto. 1999. Kepulauan Riau Pada Masa Dollar. Jakarta: Depdikbud. Hal.55
[8] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 581
[9] Mubyarto. 1992. Perekonomian Riau Selayang Pandang. Dalam Riau Dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 3
[10] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 583
[11] dalam Rhys Jones dkk. An Introduction To Political Geography: Space, Place And Politics. London: Routledge, 2004.
[12] Dalam Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 584
[13] Carole Faucher. 2007. Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau. dalam Politik Lokal di Indonesia. Diedit oleh Nordholt, H.S., Klinken G.V, Jakarta: Obor, hal. 594
No comments:
Post a Comment