Oleh: Zamzam Muhammad Fuad
Tulisan ini hendak mencari
tau dan menawarkan solusi, mengapa gerakan mahasiswa (GM), khususnya di
Purwokerto, belum dapat disebut sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan
oleh para pejabat pengampu kebijakan, masyarakat, dan kelompoknya sendiri.
Aksi turun jalan yang
membawa tuntutan kepada pemerintah dan legislator sering hanya berakhir di
depan gerbang pintu masuk gedung parlemen. Tuntutan mahasiswa diterima saja,
namun jarang sekali tuntutan itu terealisasikan. Ini menandakan bahwa GM belum
menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan. Selain itu, jarang sekali
masyarakat yang secara spontan mau ikut dalam “rally” demonstrasi, kecuali
sebelumnya memang ada kelompok masyarakat yang memang sudah bersepakat mau
ambil bagian. Ini mengindikasikan masih lemahnya kekuatan GM di depan
masyarakat, dan lemahnya GM dalam menyebarkan propaganda. Di lain sisi, GM juga
ternyata belum ditanggapi oleh masyarakat kampus sebagai kekuatan yang populer
sekaligus signifikan. Contoh paling nyata adalah semakin sulitnya organisasi GM
dalam menjaring anggota baru. Mengapa bisa demikian?
Berbagai analisa dan jawaban
sudah mengemuka. Harry Kusuma menuliskan bahwa semua ini adalah lantaran rezim
neoliberal sudah merangsek ke sektor pendidikan tinggi. Akibatnya, selain
pendidikan tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, komersialisasi
pendidikan juga mematikan nalar kritis mahasiswa.[2]
Selain itu, saya juga pernah menyoroti hal ini lewat beberapa tulisan. Beberapa
jawaban adalah lantaran kampus sedang diserang oleh rezim entrepreneur,[3] ; dan lantaran para aktifis gerakan
mahasiswa terjebak dalam politik praktis perebutan kursi empuk kekuasaan[4].
Bagus Irmawansyah juga memiliki pandangan hampir serupa. Ia sangat menyayangkan
eksistensi GM yang tercemar oleh kepentingan aktor politik praktis.[5]
Sekalipun sudah banyak disinggung, dalam tulisan ini saya akan membuka wacana
lain. Meskipun masih sama kepentingannya adalah untuk mencari jawaban atas
pertanyaan yang sama.
Telah disinggung, ada tanda
yang mengindikasikan GM kurang diperhitungkan. Bagi saya, ini bisa jadi
disebabkan lantaran faktor internal dan eksternal. Akan tetapi, dalam tulisan
ini saya hanya akan menyinggung pada faktor internal saja: kurangnya
imajinasi politik dalam
melakukan gerakan
perubahan. Atau dalam bahasa yang lebih ofensif saya mengritik
kecenderungan gerakan mahasiswa yang sudah puas ketika sudah melakukan
demonstrasi turun ke jalan, dan seolah-olah tidak ada cara lain dalam berjuang
selain dengan cara itu.
Mengapa bisa aksi turun ke
jalan menjadi ideal type GM sekarang –dan besar kemungkinan juga masih diimani oleh para aktivis pergerakan di Purwokerto?
Sebagaimana pernah ditulis oleh Masilliam Simanjuntak, kecenderungan GM yang identik dengan massa aksi lantas turun ke jalan
adalah warisan GM 1965. Kata Marsiliiam, meskipun gerakan ini adalah sangat
khas 65, namun genealoginya bisa dirunut sampai kegandrungan Soekarno pada machtvoorming.[6] Bahkan
menurut
Yudi Latif, kegandrungan gerakan pada aksi massa turun ke jalan bisa dilacak
sampai pada zaman Sarekat Islam yang gandrung melakukan “rally”.[7]
Kita boleh setuju, aksi turun ke jalan pernah berhasil
merubah struktur kekuasaan di Indonesia. Misalnya, gerakan massa yang berhasil membawa republik ini menuju pintu gerbang
kemerdekaan. Di tahun 65-66, aksi turun ke jalan yang dilakukan mahasiswa
berhasil meruntuhkan rezim Orde Lama. Demikian juga aksi-aksi mahasiswa tahun
1998 berhasil menyingkirkan Soeharto dari kursi kekuasaan formal.
Namun, merupakan sebuah
analisa yang nyentrik nan aneh jika kita mengatakan bahwa perubahan itu hanya
dilakukan lantaran aksi massa dari sebuah gerakan mahasiswa yang murni. Sebab,
ini menyingkirkan fakta bahwa gerakan massa sebelum kemerdekaan dimulai dengan
munculnya print capitalism yang sudah
dimulai sejak tahun 1920an. Aksi-aksi 65-66 juga bukan gerakan mahasiswa murni,
karena embrio kekuasaan Soeharto juga ikut andil dalam meruntuhkan rezim orde lama. Selain itu, aksi-aksi 1998 juga
dilandasi semangat intelektual menentang rezim soeharto yang sudah tergelar
sejak tahun 1980 lewat pengguliran wacana civil
society.
Yang hendak saya katakan di
sini adalah suatu hipotesa bahwa: Perubahan struktur politik indonesia tak
hanya dipengaruhi oleh aktivitas aksi massa, namun juga dipengaruhi oleh aktivitas gerakan intelektual yang
telah merentang sebelum melakukan aksi massa.
Lewat hipotesa tersebut,
kita akan sampai pada satu kesimpulan. Kurang diperhitungkannya GM lantaran
kurangnya gerakan intelektual dalam organisasi dan lintas organisasi. Hal ini
menyebabkan aksi-aksi yang dilakukan oleh GM hanya menunggu momentum,
mengulang-ulangi momentum, maksudnya kurang dipahami oleh masyarakat, gampang
dibabat polisi, dsb. Benarkah GM kini kurang dilandasi oleh semangat
intelektual?
Saya pernah melakukan riset
kecil-kecilan dengan bertanya pada beberapa aktivis GM di Purwokerto. Harry
Kusuma (FMN), misalnya, menyatakan bahwa GM semakin kering gagasan karena
dihantam oleh budaya popular yang mengepung kampus. Rakhman Kamali (IMM) menyatakan
semakin sulitnya mahasiswa untuk diajak berdiskusi. Widianto Satria Nugraha
(FMN) pernah curhat, GM di Purwokerto perlu membuat jaringan intelektual.
Syahid Muthahhari (HMI) mengatakan bahwa kerja-kerja kebudayaan perlu dilakukan
segera oleh aktivis mahasiswa di Purwokerto. Semua ini mengindikasikan bahwa
hampir seluruh aktivis mahasiswa mafhum bahwa ada bolong-bolong dalam GM: yaitu
kurang gregetnya gerakan intelektual di internal dan lintas GM.
Dari latar belakang itulah,
bisa dimengerti mengapa lahir
jurnal FamB yang dikelola oleh aliansi GM Banyumas; mengapa ada jurnal Hijaiyah
seperti yang sedang pembaca pegang ini. Dalam pengalaman saya menjadi mahasiswa
di Purwokerto, belum pernah ada muncul jurnal-jurnal semacam itu –kalaupun ada
barangkali hanya Jurnal Prophetika yang digawangi oleh Firdaus Putra. Demi memajukan gerakan mahasiswa agar
diperhitungkan, strategi gerakan intelektual perlu terus dikawal. Jangan sampai
hilang di tengah jalan. Munculnya jurnal-jurnal GM dewasa ini harus
dipertahankan.
Lalu, tantangan selanjutnya
adalah membangun rantai gagasan antar gerakan lewat tulisan. Kalau aksi massa
perlu beraliansi, maka aksi intelektual pun harus beraliansi. Biasanya,
disinilah akan muncul pergesekan. Organisasi GM tertentu tidak mau mengintrodusir
isu yang dibangun oleh GM lainnya.. Dan sebaliknya, dan seterusnya. Padahal,
seringkali pemikiran antar organisasi itu beririsan. Tidak bisa menyatunya
gagasan dan pemikiran praktis adalah lantaran egoisme antar organisasi. Kalau
hal ini dipertahankan, gerakan intelektual pun juga tak akan memiliki greget.
Maka, metode seperti apa
yang harus ditempuh agar pemikiran dari berbagai macam organisasi bisa
terkonsolidasi dengan rapi dalam sebuah kesatuan gerakan intelektual? Jawabnya
satu: dengan teknik “kutip-mengkutip”. Apa dan bagaimana maksud dari teknik
kutip-mengkutip?
Edward Said pernah
mengatakan bahwa kolonialisme tak akan bisa dilakukan tanpa orientalisme.
Sementara itu orientalisme adalah wacana yang dibangun oleh berbagai macam
intelektual dari dulu sampai sekarang. Mari kita buat semua itu dengan lebih sederhana.
Orientalisme adalah kumpulan gagasan yang mengatakan bahwa orang Timur itu
aneh, nyentrik dan terbelakang. Jadi kalau anda sekalian mengatakan bahwa orang
Indonesia itu terbelakang daripada orang Barat, maka anda sudah teracuni virus
orientalisme. Lantas, bagaimana kita tertulari virus orientalisme? Ya dari
bacaan-bacaan yang kita konsumsi sehari-hari. Bacaan-bacaan itu saling
mengkutip satu sama lain sehingga membentuk suatu totalitas pengetahuan tentang
Timur yang terbelakang. Pengetahuan tentang Timur yang terbelakang ini dikutip
oleh pelancong, oleh para sosiolog, antropolog, politikus, sastrawan, secara
berbarengan. Sedemikian sehingga orang-orang Timur menjadi terpenjara oleh
wacana tentang keterbelakangan timur.[8]
Bertolak dari gagasan Said itu,
kenapa tidak para aktivis pergerakan mahasiswa di Purwokerto melakukan mimicry terhadap metode kutip-mengkutip itu? Bagaimanapun, GM perlu
membariskan gagasan, lepas dari tendensi organisasi, jenis kelamin, alamat,
umur, tanggal lahir, suku,
agama, dan lain-lain. Dalam bahasa Gramsci, kita perlu membuat historical bloc. Ini adalah hal yang
besar namun bisa dimulai dengan langkah yang sederhana. Saling bertukarlah
gagasan antara satu sama lain. Jangan sungkan mengutip tulisan teman. Saya
sudah coba terapkan metode ini dalam tulisan ini. Bisa dilihat bagaimana saya
mengutip pendapat kawan Harry (FMN) dan Bagus (IMM). Tidak terlibatnya pendapat kawan lain
organisasi kecuali dua itu bukan lantaran ego saya, namun belum menemukan saja.
Bagaimanapun, para intelektual-aktivis harus saling membariskan diri dalam berbagai macam aksi, baik itu turun ke jalan, atau gerakan intelektual. Mengingat apa yang pernah dikatakan Mohammad Hatta, “para kolonialis itu melakukan dua hal saja: 1) menjauhkan pemimpin dari rakyatnya dan 2) menjauhkan pemimpin dari pemimpin lainnya.” Semoga kita bisa belajar dari imperatif Hatta yang kedua itu. Dengan cara membangun gagasan dan membariskan gagasan yang berserak, semoga saja, GM memiliki kekuatan lebih dalam melakukan agenda-agenda perubahan sosialnya.***
*(tulisan ini juga diterbitkan di Jurnal Hijaiyah HMI-MPO)
[5] Jurnal FamB edisi 1
[6] Marsilliam Simanjuntak, Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi?, PRISMA, no. 2, April 1978, hal 31-36.
[7] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2003.
[8] Zamzam Muhammad Fuad, Pemikiran Politik Edward Said tentang Peran Kaum Intelektual dalam
Diskurus Orientalisme, 2012, skripsi untuk memenuhi tugas akhir di Jurusan
Ilmu Politik Unsoed, naskah tidak diterbitkan.
No comments:
Post a Comment