Melahirkan itu meregang nyawa, maka jangan membenci
orang tua. Pesan ini lalu diterjemahkan dalam cerita. Kita ingat pada Malin yang
jadi batu setelah mengacuhkan ibunya. Kisah serupa juga mengalir di Maluku.
Alkisah ada anak yang sewenang-wenang pada ibunya. Tak tahan, ibunya lebih rela
ditelan batu daripada hidup dengan anak-anaknya.
Tapi orang tua juga tak selalu
can do no wrong. Kalau kita ingat
cerita tentang bawang merah bawang putih, akan timbul kesan bahwa ada juga
orang tua jahat pada anaknya. Apalagi jika kita buka-buka halaman koran, ada
ibu yang tega menjual, mengaborsi, dan memutilasi darah dagingnya. Di sini sang
anak berada dalam posisi antara. Ia diajak untuk mengerti bahwa tak akan
dirinya tanpa ada orang tua. Tapi disisi lain sang anak diajak untuk memahami
orang tua sebagai manusia pada umumnya, yang can do wrong.
Kolonialisme Belanda ibarat orang tua bagi Belanda
dan Indonesia. Karena kolonialisme Belanda, Amsterdam, Delft, Hoorn dan
Rotterdam terlahir menjadi kota dengan penuh kemegahan, kata Raffles. Sementara
itu, tanpa sentuhan kolonialisme Belanda, Indonesia barangkali tak seperti ini
bentuknya, tak seperti ini nasibnya, tak seperti ini masa depannya. Apapun itu,
sekarang kita hanya bisa menerima apa yang sudah ada. Kolonialisme Belanda telah
berhasil membentuk Belanda dan Indonesia menjadi seperti yang ada sekarang.
Disini, kolonialisme (orang tua) menuntut
masyarakat Indonesia dan Belanda (anak) untuk tetap memperingati jasa-jasanya. Tapi
lantaran anak berada dalam posisi antara, orang tua sulit menuntut anak agar
selalu menurut. Nah, andai kita memosisikan diri di luar hubungan orang
tua-anak itu, pasti muncul pertanyaan: bagaimana
kita bisa mengetahui perasaan cinta-benci masyarakat Belanda dan Indonesia (sang
anak) pada kolonialisme (sang orang
tua)? Apakah masyarakat Belanda dan Indonesia itu mencintai kolonialisme Belanda?
Ataukah sebaliknya? Bagaimana cara kita mengetahuinya? Ini pertanyaan yang
unik, asyik, menggelitik sekaligus mengundang tanda tanya. Lewat buku yang
disusun Johny A. Khusyairi berjudul “Monumen-monumen Coen, Daendels dan Van
Heutsz,” kita akan mendapat jawaban-jawaban itu.
Khusyairi punya kiat untuk menjawab pertanyaan
itu. Caranya adalah dengan cara mempelajari persepsi masyarakat Belanda dan Indonesia
terhadap keberadaan monument-patung-plakat J. P Coen, H. W. Daendels, dan J. B
Van Heutsz yang terletak di Belanda dan Indonesia. Dengan cara itulah,
pertanyaan tentang seberapa cinta (atau seberapa benci) masyarakat Belanda dan Indonesia
terhadap kolonialisme belanda dapat dijawab.
Masing-masing masyarakat punya cara tersendiri dalam memperlakukan monument-patung-plakat tokoh-tokoh tersebut. Di Belanda, keberadaan patung J. P Coen mendapat banyak pertentangan dan protes. Sebagai ungkapan protes, beberapa kelompok masyarakat di Belanda ada yang membalut patung Coen dengan tisu toilet. Selain itu, ada juga yang membuat karikatur Coen menggunakan pakaian compang-camping. Ini menandakan pemujaan terhadap sepak terjang Coen di hindia Belanda mulai sirna. Begitu juga dengan Van Heutz. Masyarakat belanda tidak bangga memiliki tokoh seperti Van Heutsz. Bahkan, salah satu anak Van Heutsz melayangkan surat pada walikota agar menghancurkan patung setengah badan sang ayah. Nasib Daendels tidak jauh berbeda. Nyaris nihil artefak special untuk mengenang Daendels di negeri Belanda.
Lalu, bagaimana masyarakat Indonesia memerlakukan
monumen- plakat- patung Coen, Daendels, dan Van Heutz? “Kalau di Belanda banyak
dikritik, Coen justru dapat beristirahat dengan tenang Indonesia”, kata
Khusyairi. Batu nisan Coen masih tersimpan di museum wayang Jakarta. Bahkan karakter
Coen yang terepresentasikan dalam wujud wayang golek disamakan dengan karakter Gatotkaca.
Tapi jangan salah sangka dulu, patung Coen di Jakarta juga pernah dihancurkan. Tapi
ada catatan bagi yang merasa senang atas penghancuran ini. Yang menyuruh menghancurkan adalah Jepang, dan
bukan inisiatif orang Indonesia.
Hampir sama nasibnya dengan patung Coen, monument
Van Heutz di Jakarta juga dihancurkan oleh para nasionalis. Namun, di Aceh plakat
perunggu Van Heutsz justru ada. Menariknya, ini adalah plakat yang dipesan
sendiri oleh Gubernur Aceh pada tahun 1993. Impor plakat ini bisa dimaknai sebagai
alat legitimasi bagi militer dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap
gerakan separatis di Aceh. Sementara itu, Daendels yang di masanya dijuluki “mas
galak” mendapat perhatian khusus di Indonesia. Di Jawa Barat, masyarakat membuat
patung Daendels yang sedang berjabat tangan dengan pangeran Kornel. Patung ini diyakini
sebagai representasi orang Sunda yang berani melawan Daendels –sekalipun pendapat
ini masih jadi topik perdebatan.
Lewat buku ini pembaca diajak untuk
mencari tau bagaimana perspesi masyarakat Indonesia dan Belanda terhadap
kolonialisme Belanda. Selain itu, penulis juga seolah-olah hendak menantang para
pembaca Indonesia untuk menentukan sikap terhadap kolonialisme Belanda. Ini
adalah pancingan yang cerdas. Kalau diringkas, ada pesan yang terbit lewat buku
ini: memahami manusia dalam alunan sejarah itu penting. Tapi yang tak kalah
penting adalah sadar sejarah, lalu menempatkan diri sendiri ke dalam sejarah.
Judul buku: “Monumen-monumen Coen, Daendels dan
Van Heutsz”
Pengarang: Johny M. Khusyairi
Penerbit: Elmatera Publishing
Terbit tahun 2013 (cetakan pertama)
mantap...
ReplyDeletecara cepat membaca 1 buku adalah melalui tulisan kang zam2,hahaha
bila kau ingin mengenal dunia maka bacalah, bila kau ingin dikenal dunia maka tulislah.
ReplyDeleteToop