Zamzam Muhammad
April dan Juli nanti kita akan menyambut ritual demokrasi 5 tahunan. Sebuah ritual yang sudah kita alami selama 10 kali namun nasib bangsa ini masih gini-gini saja. Pemimpin selalu berganti. Tapi hanya kulitnya. Old wine in the new bottle. Dalamnya tetap saja korup, ahli obral SDA, tidak punya visi kemandirian dan kedaulatan.
Oleh karena itu kita perlu benar-benar memanfaatkan momentum pemilu ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai 5 tahun ke depan bangsa ini dipimpin oleh sosok yang tidak berkompeten, tidak bisa diandalkan dan tidak bertanggungjawab. Sebelum menentukan pilihan pada pemilu April dan Juli nanti, ada baiknya kalau kita mempertimbangkan beberapa fenomena objektif berikut ini. Harapannya tentu bukan untuk mengajak kita skeptis, namun lebih pada agar kita bisa lebih kritis dan serius menghadapi pemilu 2014.
Pertama, Deputi
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis UGM meriset, sejak 2001 hingga 2012, terdapat korupsi pejabat
sebanyak 168 T. Angka ini setara dengan pembangungan 1.244.000 ruang kelas
sekolah, menyekolahkan gratis 272 juta anak, menyediakan 18,4 miliar liter
beras gratis dan membuat 1.572.000 rumah sederhana. Sebagai catatan, kebocoran
itu baru dihitung dari kasus korupsi yang sudah diungkap dan diputuskan. Belum
lagi kasus-kasus korupsi yang belum terungkap dan diputuskan.
Kedua, dalam pemilu kali ini, 90 persen anggota DPR sekarang
akan mencalonkan diri lagi. Artinya, parlemen kita akan diisi oleh golongan 4L:
loe lagi loe lagi. Dan ironisnya 90
persen dari mereka terindikasi kuat tersangkut masalah korupsi. Dengan demikian
selama 5 tahun ke depan masalah korupsi masih potensial. Mengingat, biasanya calon
petahana hampir selalu menang.
Ketiga, setelah reformasi, pemenang pemilu selalu saja orang-orang
yang memiliki modal besar. Sebab pemilu di Indonesia termasuk dalam hitungan high cost election. Uang besar
dibutuhkan para caleg untuk membiayai partai, tim sukses, alat kampanye, bahkan
membeli suara. Semakin banyak uang dikeluarkan, semakin banyak uang yang harus
dikembalikan setelah mendapat kursi. Banyak cara untuk mengembalikan uang
sebanyak itu. Termasuk korupsi.
Keempat, pemilu kali ini
berlangsung di tengah tren “masyarakat pagelaran”. Mengikuti Zainuddin Maliki (2006)
masyarakat pagelaran merupakan proses sosial yang mengedepankan performance sebagai elemen utama dalam
negosiasi kekuasaan dan kewenangan. Dengan demikian politik dan tawar-menawar
menjadi persoalan kapasitas mengatur dress
code, tampilan wajah, pilihan kosakata, dan bahasa verbal ataupun
nonverbal. Apalagi di tengah perkembangan teknologi seperti sekarang, fenomena
masyarakat pagelaran semakin menjadi-jadi.
Kelima, banyak dari calon pemimpin kita tidak memiliki gagasan
yang bisa dipegang dan tawaran program kerja yang sesuai gagasannya itu.
Sehingga, program kerja yang dibuat tidak bisa mencerminkan suatu perjuangan
ideologi, melainkan hanya menjalankan program-program yang sudah ada dan
disediakan. Misalnya, dalam salah satu wawancara di televisi, beberapa caleg
berjanji akan menyediakan uang bagi masyarakatnya untuk digunakan sesuai dengan
kemauan masyarakatnya. Ini mencerminkan bahwa sang caleg tidak memiliki program
kerja yang jelas sesuai dengan visi dan ideologi perjuangannya.
Kasus ini banyak terjadi. Sehingga jangan heran kalau,
meminjam bahasa Sritua Arief (2006), republik ini diisi oleh pemimpin yang
hanya bisa menjalankan program (administrative
state), bukan pemimpin yang bisa menyusun program atas dasar visi politik
jangka panjang berdasarkan ideologi nasional (developmental state).
Lima poin di atas ialah latar (landscape) dari pemilu 2014 ini. Sekali lagi ini bukan merupakan
ajakan agar skeptis terhadap pemilu, melainkan agar kita lebih serius
menghadapi pemilu mendatang.
Ironi demokrasi kita
Demokrasi merupakan sistem politik yang hanya cocok
ditempatkan dalam masyarakat yang memiliki kesadaran dan pendidikan politik
yang tinggi. Tanpa pendidikan, pengetahuan dan kesadaran politik yang tinggi,
tidak akan ada aspirasi dan partisipasi. Lantaran tidak ada aspirasi dan
partisipasi, maka tidak akan ada semangat “dari rakyat dan oleh rakyat”.
Lantaran tidak ada semangat itu, maka demokrasi juga tak akan ada. Kalaupun ada, ia adalah pseudo democracy.
Oleh karena itu, pendidikan politik masyarakat menjadi
agenda penting setelah kemerdekaan diproklamirkan. Hatta mengeluarkan Maklumat
Wakil Presiden No. X tentang pendirian partai politik. Dengan maklumat ini Hatta
menghendaki partai-partai politik yang ada dapat segera menubuh dengan masyaratkat
sekaligus melakukan agenda pendidikan politik seperti pengenalan ideologi,
penyusunan agenda politik bersama, dll. Saking pentingnya pendidikan politik,
setiap pemimpin partai produktif menulis buku menyebarkan gagasan-gagasannya,
setiap partai punya surat kabar, punya organisasi sayap mulai dari yang
berbasis ibu-ibu, petani, mahasiswa, sastrawan dan budayawan. Hebatnya, setiap
organisasi-organisasi sayap itu aktif, tidak seperti sekarang yang hidup ketika
menjelang pemilu saja. Atmosfer politik seperti ini bertahan hingga 1965.
Setelah itu, fungsi pendidikan politik mulai dilemahkan oleh rezim Soeharto.
Cara paling keji yang dilakukan rezim Soeharto untuk
melemahkan pendidikan politik masyarakat adalah melalui kebijakan massa
mengambang. Gara-gara kebijakan tersebut, partai politik tidak boleh melakukan
kegiatan politik apapun bersama masyarakat kecuali dalam masa-masa kampanye
pemilu. Orde baru menganggap bahwa masyarakat akar rumput hendaknya dijauhkan
dari politik. Pertama, karena
masyarakat dianggap belum siap berpolitik. Sehingga kalau bersentuhan dengan
politik justru akan menimbulkan konflik dan mengganggu stabilitas. Kedua, politik adalah urusan teknokrat.
Terlihat di sana, rezim Soeharto telah melakukan upaya
sistematis untuk membonsai aspirasi dan partisipasi politik masyarakat menjadi
hanya sekedar mengikuti pemilu saja. Dengan demikian rezim Soeharto berhasil
mewariskan 2 tradisi yang sampai sekarang masih bertahan. Pertama, tradisi politik partai politik yang hanya sibuk mengurusi tetek bengek elektoral. Kedua, berhasil mewariskan kultur
masyarakat yang tidak sadar politik.
Dalam dua tradisi inilah pemilu demi pemilu telah kita
lalui. Sehingga wajar demokrasi kita kali ini mengandung ironi. Di satu sisi
memiliki prosedur-prosedur canggih demokrasi seperti pemilu. Tapi di sisi lain
partai politik kehilangan tradisi memberikan pendidikan politik pada masyarakat. Jeffrey Winters (2014) memotret
fenomena ini sebagai berikut: “Indonesia’s
political parties are not bottom-up institution. They are move like a conical
lamp over a billiard table: intense and bright at the narrow top, faint and dim
towards the bottom.” Ketika partai politik absen dalam memberikan
pendidikan politik, maka inisiatif voluntaristik-lah yang paling bisa
diharapkan. Kita dipaksa untuk otodidak dalam belajar politik. Kecanggihan
teknologi informasi memudahkan kita untuk melakukan itu.
Apa yang bisa kita lakukan
Di tengah banalitas politik kepartaian dan
meningkatnya ketidakpuasan terhadap kehidupan politik nasional, memilih untuk
tidak memilih (baca: golput) menjadi daya tarik yang amat kuat. Apalagi melihat
tren golput yang semakin meningkat dari pemilu ke pemilu. Sebagai catatan,
angka golput 2009 lalu mencapai 30%.
Menjadi pertanyaan, apakah benar golput merupakan
pilihan yang tepat agar republik ini menjadi lebih baik? Saya yakin pertanyaan
itu sedang menggelayut dan menjadi bahan diskusi yang hangat. Akan tetapi
menurut saya, pertanyaan itu salah, dan ironisnya kita sudah terjebak ke dalam
pertanyaan itu. Sebab menurut saya, pertanyaan yang tepat adalah, apakah kita
sudah siap dalam berdemokrasi?
Pertanyaan itu penting dimunculkan agar kita punya
kesadaran berdemokrasi. Sebagai pemilih berarti kita dituntut untuk
berpartisipasi dalam memberikan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap yang
para wakil rakyat. Tidak hanya pada saat pemilu, namun juga setelah pemilu.
Tanpa kesadaran seperti ini, saya yakin demokrasi akan menjelma menjadi,
meminjam Franz Magnis, (2014) “demokrasi 5 menit” atau demokrasi yang hanya
selesai di bilik suara. Sebaliknya, sebagai wakil rakyat juga perlu dituntut
kesadaran untuk memimpin dan melayani rakyat seluruhnya, tidak parsial hanya
pada yang terindikasi memilihnya saja.
Kesadaran berdemokrasi dilandasi dengan kesadaran civic, bukan etnik atau golongan apalagi
pribadi dan kekeluargaan. Sebab demokrasi menuntut akuntabilitas publik. Jadi,
ketika hendak memilih, pertimbangaan yang harus dikedepankan adalah: “apakah
calon pemimpin ini baik buat kita semua”. Berdasarkan observasi singkat saya,
kebanyakan orang menentukan pilihan berdasarkan kesamaan agama, kesamaan
organisasi, kesamaan keluarga, kesamaan kecamatan, kesamaan RT, kesamaan etnis,
dan kesamaan lain yang sifatnya segmentatif primordialistik. Ini berbahaya,
baik itu bagi yang memilih dan juga bagi wakil rakyat yang terpilih.
Bagi pemilih, kesadaran segmentatif primordialistik
menghalangi kecerdasan berpolitik. Sistem pemilu proporsional terbuka membuka
kesempatan bagi pemilih untuk mempelajari para calon wakil rakyat. Apalagi
teknologi informasi seperti internet sangat menunjang untuk itu. Jika yang
digunakan adalah kesadaran segmentatif primordialistik, maka tidak ada lagi
dorongan untuk mempelajari latar belakang, track
record, kemampuan, sang calon wakil rakyat. Sebaliknya, bagi wakil rakyat
juga sama. Kesadaran segmentatif primordialistik tidak boleh dikedepankan.
Karena ini akan merusak sendi-sendi kewargaan, mengundang favoritisme, rawan
menciptakan oligarki, menghindarkan kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.
Lima menit untuk lima tahun. Persis ibarat pelajar SMP
yang akan menghadapi Ujian Nasional. Nasibnya ditentukan hanya dalam beberapa
menit saja. Inilah kenyataan yang kita hadapi dalam pemilu. Terkesan tidak
masuk akal, tapi sulit juga untuk menghindar. Dalam sistem seperti ini, tentu
ada saja ekses negatifnya. Akan tetapi semua itu bisa diminamalisir, bahkan
membuahkan hasil yang positif jika kita punya kesadaran 1) bahwa politik tak
hanya habis di bilik suara dan 2) menjadi pemilih yang cerdas berbekal pada
kesadaran civic, bukan segmentatif
primordialistik. Dus, Pemilu 2014 harus disikapi dengan serius disertai dengan
kecerdasan politik.
No comments:
Post a Comment