Zamzam Muhammad
“Sungguh
aneh kalau bangsa indonesia lebih menyukai tokoh sejarah lain, daripada tokoh
sejarahnya sendiri.” Itulah pesan yang disampaikan oleh Peter Carey pada acara
Kuliah Umum di UMP, 14 Maret 2015, lalu. Jauh-jauh hari Peter Carey juga
menyelipkan pesan senada dalam bukunya bahwa sia-sia saja Indonesia diprediksi
menjadi kekuatan ekonomi dunia jika masyarakatnya tidak tau dan peka sejarah.
Sebab karena hal itulah, sehebat apapun kemajuan kita, tetap saja berjalannya
tanpa arah. Mudah sekali terombang-ambing, hingga tinggal menunggu waktu untuk
pecah.
Sejarah
merupakan kurikulum yang dilupakan orang. Fakultas atau jurusannya semakin
tidak diminati. Padahal, tidak mungkin bangsa ini maju jika sindrom lupa
sejarah mewabah. Bayangkan jika kamu tidak tau siapa ayahmu dan siapa ibumu?
Kamu akan merasa hidupmu itu tak punya alasan mengada. Akhirnya kamu bebas
menjalani hidup tanpa tuntutan, tuntunan dan tentu saja, tanpa teladan.
Apa itu
sejarah sebagai tuntutan? Menempatkan sejarah sebagai tuntutan berarti menyadari
bahwa setiap lini masa dalam sejarah ini diciptakan untuk mencapai tujuan
tertentu. Dan tujuan tertentu itu hanya mampu dipahami jika seseorang
mempelajari sejarah sebelumnya. Sekarang, bayangkan jika kamu menjadi orang
tua. Kamu pasti menaruh harapan pada anak-anakmu, bukan? Demi siapa harapan itu
kamu tanamkan pada anakmu? Demi dirimu, anakmu, bangsamu, agamamu, dan seluruh
semesta ini, bukan? Bayangkan jika anakmu tidak mau belajar sejarah. Ia tidak
mau tau apa yang sebenarnya kamu kehendaki pada anakmu. Ia akhirnya mengalami
disorientasi. Hidup semaunya sendiri. Ikut air mengalir, tak peduli air itu
mengarah ke laut, atau ke comberan.
Jika sudah
tau bahwa hidup ini ada tuntutan, maka dengan sendirinya seseorang akan
mengidentifikasi dirinya sebagai “the historical men”. Bagi manusia sejarah,
tuntutan sejarah mengandaikan tujuan sejarah. Sementara untuk mencapai tujuan
sejarah diperlukan alat-alat untuk mencapainya. Bagi manusia sejarah, alat-alat
itu disebut juga dengan falsafah atau world view, pemikiran dan berbagai macam
penemuan yang sifatnya teknis. Menjadi manusia sejarah berarti menyadari bahwa
hidup ini bergenerasi, beregenerasi, berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam
mencapai tujuan yang satu, bisa jadi dibutuhkan berbagai macam langkah yang
harus digotong secara royong oleh setiap generasi dalam lini masa sejarah.
Sehingga, untuk melangkah demi tujuan yang satu, manusia tidak perlu memulai
dari nol. Ia cukup mempelajari kegagalan atau keberhasilan generasi sebelumnya.
Menyambung apa yang sudah dilakukan, memperbaiki kegagalan apa yang dialami
oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan sejarah sebagai tuntunan.
Terakhir,
sejarah sebagai teladan. Untuk memahami ini baiknya kita membaca kata bijak
ini: Tidak ada manusia yang tidak bercermin. Teoretisi psikoanalisa postmodern,
Jaques Lacan, menyebut bahwa salah satu fase perkembangan kepribadian manusia
adalah “fase cermin” (mirror stage). Itu
merupakan fase saat manusia mengidentifikasikan dirinya dengan yang lain. Dalam
fase ini tanpa disadarinya, manusia akan meniru sifat dan perilaku orang lain.
Di titik bersamaan, ia juga menolak beberapa sifat dan perilaku yang dilakukan
oleh orang lain. Oleh karena itu proses kedewasaan manusia adalah proses saling
mengidentifikasi, saling memberi contoh antara manusia satu dengan yang lain.
Fase saling melihat antara satu dengan yang lain ini adalah proses yang tidak
akan pernah lekang. Ia akan terus menerus terjadi kendatipun manusia mengatakan
bahwa “dirinya adalah dirinya yang otentik”. Di sinilah teladan menjadi
penting. Dalam proses identifikasi yang terjadi disepanjang kehidupannya,
manusia diharapkan dapat mencontoh dari pendahulunya yang baik dan berkualitas.
Namun ini tidak akan pernah terjadi pada manusia yang tidak kesadaran sejarahnya
redup. Sebab yang ia tau hanyalah dirinya seorang. Dirinya yang dilahirkan
tanpa membutuhkan bantuan orang lain, dan memusatkan kehdiupannya akhirnya pada
dirinya seorang. Tanpa sadar bahwa manusia itu mengidentifkasi dari yang lain,
maka tidak ada untungnya mencari teladan orang baik.
Tiadanya
tuntutan, tuntunan dan teladan inilah yang menyebabkan bangsa ini jalan
terseok-seok. Semua ini pangkalnya satu: kesadaran sejarah yang lemah.
No comments:
Post a Comment