Zamzam Muhammad
Sekali berarti, sudah itu mati
(Diponegoro, Chairil Anwar)
Bahwa
kesadaran sejarah bangsa ini berada dalam titik kronis merupakan hal sudah
banyak diketahui. Namun upaya mengatasi persoalan itu tak pernah mati. Pusat
Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP yang berkomitmen untuk menciptakan
pemimpin masa depan Indonesia telah berhasil mengadakan acara bertajuk “Melawan Keculasan Kolonial: Belajar
Dari Kekalahan Diponegoro” pada 14 Maret 2015 lalu. Prof. Dr. Peter Carey
diundang langsung untuk memberikan ceramah yang sangat menggugah tentang perjuangan
dan perjalanan hidup Diponegoro.
Dalam
ceramahnya Carey memberikan rambu-rambu yang menghentak historiografi Indonesia.
Selama ini, informasi sejarah yang datang pada kita perihal sebab perang Diponegoro
sangat bias kolonial, seperti tanah yang dipatok atau Diponegoro tidak mendapat
jatah kekuasaan kesultanan (jatuh pada adiknya). Carey berpendapat bahwa sejarah
seperti itu terlihat seperti menyederhanakan masalah. Sebab, ada problem sosial
politik dan ekonomi yang parah sedang dialami masyarakat Jawa –terkhusus bagian
selatan– saat itu.
Sejak
Daendels datang, stabilitas sosial politik dan ekonomi di Jawa terganggu.
Daendels secara sombong menurunkan derajat raja-raja lokal dengan undang-undang
sopan santun. Daendels mewajibkan para residen (orang Eropa) tidak perlu lagi
menunjukkan simbol-simbol penghormatan terhadap otoritas kekuasaan lokal.
Daendels juga meminta dengan paksa hak atas kepemilikan tanah di Jawa. Selain
itu dia juga memaksa masyarakat Jawa –utara khususnya– untuk bekerja membuat
jalan raya pos dari anyer-panarukan demi kepentingan kolonial. Ini merombak
total visi pembangunan di Jawa yang tadinya utara-selatan, menjadi barat-timur.
Tidak lama
berselang, kekuasaan Inggris datang ke Jawa. Raffles sebagai pemimpin kolonial Inggris di Jawa sempat berupaya untuk mengembalikan kewibawaan raja lokal.
Kebijakan-kebijakan ekonomi Raffles nampak lebih liberal daripada Daendels. Ia
memperbolehkan siapapun (orang Eropa terutama) untuk menyewa tanah-tanah di Jawa.
Hak atas pemanfaatan kayu hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan secara bebas
oleh masyarakat Jawa, diprivatisasi oleh orang-orang Eropa. Jadilah pribumi
lokal kehilangan banyak pekerjaan dan menjadi kuli upahan. Jadi, sekalipun
nampak liberal, kebijakan ekonomi Raffles sama saja: Kolonial! Sebab menjadikan
kekayaan nusantara sebagai lumbung yang mensejahterakan orang-orang asing dan
memiskinan kaum pribumi. Kekuasaan Raffles di Jawa tidak lama. Belanda datang
lagi mengibarkan bendera kerajaannya di tanah Jawa. Bukannya lebih baik,
kehidupan sosial politik ekonomi di Jawa lebih hancur lebur daripada yang
sudah-sudah.
Latar
belakang seperti itulah yang kemudian dilupakan dalam historiografi Indonesia. Diponegoro,
kata Carey, yang mendapatkan ramalan bahwa dialah satu-satunya Pangeran yang
mampu mengembalikan tata moral Jawa sebagaimana sebelum kolonialisme Eropa
mengalami pendalaman (pra-daendels) tampil ke muka. Isu yang dibawa oleh Diponegoro
sangat berbeda dengan perlawanan-perlawanan pribumi sebelumnya. Diponegoro
berhasil mengidentifikasi bahwa persoalan Jawa bersumbu pada datangnya pada
kolonialisme Eropa. Maka, ia menghendaki agar orang Eropa hengkang, atau paling
tidak, tidak menjadi penguasa utama di Jawa. Orang-orang Eropa dipersilakan
untuk hidup di Jawa asal statusnya tidak lebih dari sekedar pedagang. Diponegoro
juga membawa misi ingin membersihkan moralitas kesultanan yang dianggap sudah
menyimpang jauh dari moral islam.
Apa yang
bisa diambil dari riset Carey tentang Diponegoro yang menelan waktu hampir 40
tahun ini adalah bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah agenda utama jika
ingin mengembalikan kejayaan nusantara. Masyarakat Nusantara menjadi miskin
puluhan turunan karena posisinya secara sosial ekonomi politk ada dalam ketiak
kolonial. Riset Carey juga memberi pelajaran pada kita bahwa persoalan internal
masyarakat nusantara adalah perebutan kekuasaan dan elitisme. Perjuangan Diponegoro
rupanya kurang didukung oleh penguasa inti Jawa pada saat itu. Sebab para
penguasa hanya sibuk mencari aman dan kekayaan yang semu. Hal ini diperparah,
di akhir Perang Jawa Diponegoro kehilangan dukungan dari para
sahabat-sahabatnya.
Jika kita belajar dari sana, maka pekerjaan rumah bangsa
ini adalah “persatuan” dan “perlawanan melawan neokolonialisme”. Dua pelajaran
ini semakin penting mengingat elit-elit kita sekarang yang gemar
mempertontonkan saga (pertarungan) perebutan kekuasaan yang didanai dari
pengobralan tanah air kepada korporasi asing.
No comments:
Post a Comment