Zamzam Muhammad
Review buku:
Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa
Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa
Penulis: Susanto Zuhdi
Penerbit: KPG, Jakarta
Apa yang tergambar ketika nama Cilacap disebut? Teluk penyu.
Benteng Pendem. Nusakambangan. Panas. Gersang. Pacaran. Masih bisa dideret
lebih panjang lagi jika mau. Tapi Cilacap sebagai “pelabuhan”, nyaris tidak
terbayangkan.
Siapa mengira pelabuhan Cilacap pernah menjadi primadona di
Jawa? Kalau kita tengok sekarang, di sana hanya ada tanker milik Pertamina (daridulu
posisinya sama) dan kapal nelayan yang bisa membawa wisatawan ke Nusakambangan.
Tidak pernah terpikir Cilacap pernah memiliki pelabuhan dagang terbesar di Jawa
setelah Semarang.
Buku Susanto Zuhdi membuka mata kita, bahwa Cilacap pernah
menjadi salah satu pusat perdagangan di Jawa. Ini memang agak mengejutkan. Sebab
dalam buku pelajaran biasa, pusat perdagangan selalu ada di pantai utara Jawa. Musababnya
adalah ombak di pantai selatan Jawa yang terlalu besar. Sehingga kapal tidak memungkinkan
berlabuh di sana.
Harus diakui bahwa Cilacap tidak memiliki sejarah panjang
pernah menjadi pelabuhan ramai. Dalam sejarah Jawa pra-kolonisasi Eropa,
pelabuhan dagang yang memiliki pamor internasional tentu saja pelabuhan pantai
utara, seperti Banten, Demak, Semarang, dsb. Pamor Cilacap menjadi pelabuhan
perdagangan ekspor-impor baru dimulai ketika akhir abad 19. Pertanyaannya, ada
apa di sana? Inilah yang mengusik Susanto Zuhdi untuk melakukan riset dan
dibubukan dengan judul “Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu
Pelabuhan di Jawa”.
Awal mula cerita adalah tanam paksa. Pada tahun 1830, uang
kas kompeni jebol karena digunakan untuk membiayai Perang Diponegoro
(1825-1830). Kompeni mencari cara, bagaimana agar neraca keuangannya membaik. Sementara
itu rakyat pribumi tidak punya banyak uang untuk dipajaki. Situasi dilematis
ini yang memunculkan gagasan tanam paksa. Rakyat tidak perlu membayar pajak
dalam bentuk uang, namun harus membayarnya dalam bentuk hasil bumi tanaman
ekspor (kopi, tebu, atau nila). Kebijakan tanam paksa diterapkan di seluruh
Jawa, tak terkecuali di wilayah Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, Banjarnegara,
Kebumen, Purworejo, Sumedang, Garut, Ciamis (jawa bagian tengah-selatan). Lalu bagaimana
cara hasil bumi tanaman itu diekspor?
Saat itu, alat transportasi murah perdagangan lintas negara,
ya, kapal laut. Untuk hasil bumi dari
daerah Jawa bagian tengah-selatan, maka pilihannya tinggal lewat Pelabuhan Semarang
atau Pelabuhan Cirebon. Tapi menurut hitung-hitungan kompeni, mengirim hasil
bumi ke dua pelabuhan itu kurang efisien, alias boros, karena jarak yang
terlalu jauh. Oleh karena itu kompeni berinisiatif membangun Pelabuhan Cilacap
sebagai pelabuhan alternatif ekspor-impor. Kebijakan ini relatif berhasil.
Pelabuhan Cilacap menjadi pelabuhan nomor 2 (setelah Semarang) dalam hal
pengiriman tanaman ekspor.
Ada beberapa faktor yang membuat reputasi Pelabuhan Cilacap
melejit. Di antaranya adalah pembangunan jaringan rel kereta yang menghubungkan
daerah Jawa bagian tengah-selatan dengan Pelabuhan Cilacap. Selain itu juga
adanya sungai besar yang dapat mengantarkan hasil bumi ke Pelabuhan Cilacap.
Namun pamor Pelabuhan Cilacap segera meredup. Paling tidak
ada tiga faktor utama. Infrastruktur, ekonomi internasional, ekologi, dan
politik.
Dari segi infrastruktur, banyak sarana menuju Pelabuhan Cilacap.
Akan tetapi hampir semuanya tidak terawat. Jalan darat menuju Pelabuhan Cilacap
sangat rusak. Pemerintah kompeni juga kurang tanggap terhadap pendangkalan
sungai. Pelabuhan Cilacap meredup juga karena adanya depresi ekonomi Eropa pada
1929. Negara Eropa kehilangan daya beli. Aktivitas perdagangan ekspor di Pelabuhan
Cilacap terganggu. Dari segi ekologi, daerah sekitaran Pelabuhan Cilacap juga menjadi
wilayah endemik malaria. Jurus terakhir yang menghabisi reputasi Pelabuhan Cilacap
adalah menyerahnya Belanda kepada Jepang.
Di sini kita bisa memetik pelajaran. Sumber malapetaka bagi
Pelabuhan Cilacap adalah kebergantungan pada kebijakan pemerintah kompeni. Dari
awal sudah diketahui bahwa sebelum kompeni, hampir tidak ada aktivitas
perdangan di pantai Cilacap. Artinya, Pelabuhan Cilacap benar-benar proyek kreasi
kompeni Belanda. Tujuannya adalah untuk mengangkut hasil bumi tanam paksa. Ketika
tidak ada lagi tanam paksa, Pelabuhan Cilacap sulit mencari alasan, untuk apa
terus ada.
Dimana sejarah Kaki Samidi?
ReplyDelete