Zamzam Muhammad
Review buku:
Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari dan Jantera Bianglala
Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari dan Jantera Bianglala
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Jika kau rindu orang, pergilah ke kota. Jika kau mau menemui
manusia, kembalilah ke desa. Tidak ada sisi kehidupan yang komplit, selengkap
di desa. Di sana ada interaksi manusia dengan manusia, baik yang masih hidup, atau
yang sudah mati dan jadi leluhur. Ada interaksi manusia dengan pohon,
burung-burung, telaga, ayam, dan tahi sapi. Semilir angin menjadikan desa tidak
pernah sepi. Karena akan selalu ada kemresek dedaunan.
Desa adalah tempat tinggal manusia, bukan orang. Maka di
sana ada kemanusiaan. Di sana ada laku memaafkan bagi kesalahan yang sebenarnya
tak termaafkan. Pertolongan pada sesuatu yang sebenarnya sudah tak tertolong. Hanya
di desa, derita tidak muncul dalam bahasa.
Namun ada kota di seberang desa. Kota yang memiliki hukumnya
sendiri. Dengan uang sebagai bahasa ibunya. Maka hanya dengan uang mereka
saling bicara. Mereka yang tanpa uang, tiada pilihan lain kecuali bungkam. Di
kota, manusia disulap menjadi orang. Kemanusiaannya hilang.
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus
Dinihari, dan Jantera Bianglala memotret dinamika kehidupan masyarakat di desa.
Sebuah desa bernama Dukuh Paruk menjadi latar utama cerita. Dengan tokoh
Srintil sebagai pusatnya. Trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk mengisahkan bagaimana desa terpuruk dan tersuruk oleh penetrasi
kota.
Dukuh Paruk merupakan pedukuhan terpencil di sebuah desa.
Hampir seluruh masyarakat desa tahu, Dukuh Paruk identik dengan kemiskinan dan
kebodohan. Namun ada satu yang membuat Dukuh Paruk dihormati, yaitu kesenian
ronggeng.
Tidak semua perempuan Dukuh Paruk bisa menjadi ronggeng.
Hanya yang terpilih, yang dirasuki roh ronggeng, yang bisa. Srintil sejak umur
sebelas tahun menunjukkan ciri-ciri sebagai ronggeng. Kecantikannya,
kecentilannya, suaranya, lemparan pinggulnya, membuat sesepuh Dukuh Paruk sulit
menolak: Srintil telah kesurupan roh ronggeng.
Dukuh Paruk menjadi saksi kehidupan sebuah desa yang jujur,
polos, dan selaras. Memang, tidak banyak yang bisa makan nasi. Tapi itu tidak
terlalu penting. Sebab Dukuh Paruk punya kehormatan. Karena di sana ada
Ronggeng, dan Srintil.
Namun Dukuh Paruk perlahan mati kehilangan kehormatannya.
Keperkasaan ronggeng dan Srintil mengalami pasang surut. Ini bermula ketika
Rasus, kekasih Srintil, memutuskan pergi untuk menjadi tentara. Tidak mudah
sebenarnya bagi Rasus untuk menginggalkan Dukuh Paruk. Di sana ada Neneknya dan
juga Srintil. Tapi mau bagaimana, nenek sudah tua. Rasus harus bekerja, dan
Srintil telah menjadi ronggeng, sehingga tidak mungkin dimiliki sendiri.
Ronggeng adalah milik umum. Sejak Rasus pergi, Srintil hancur. Sebab hanya
dengan mencintai Rasus, ia merasa menjadi perempuan dan manusia. Kini ia hanya
seonggok daging, yang mencari uang dengan meronggeng.
Karena mengejar uang itulah, Srintil jadi bersentuhan dengan
dunia politik. 1960an adalah tahun politik, yang ditandai dengan rapat-rapat politik
akbar. Atensi, semangat, dan uang
terkonsentrasi pada rapat-rapat politik itu. Lantaran uang ada di sana, dan
Srintil mengejarnya, maka persetubuhan ronggeng dengan politik sulit
terhindarkan.
Pada pangkalan sejarah ini, nama kesenian ronggeng berubah
menjadi “Kesenian Rakyat”. Pada 1966, penguasa menjatuhkan vonis bahwa partai
komunis harus dihabisi hingga akar-akarnya. Tidak peduli Ronggeng Srintil
adalah bunga, daun, batang, atau akarnya partai komunis, bagaimanapun ia sering
menjadi hiburan rapat akbar partai komunis. Srintil bersalah dalam kacamata
penguasa saat itu. Srintil ditahan. Ronggeng dibubarkan.
Keluar dari tahanan, Srintil tidak lagi meronggeng. Ia sadar,
bahwa takdir perempuan adalah menjadi ibu, yang mengasuh anak dan memberikan
ketentraman pada keluarga. Bukan menjadi ronggeng yang kerjaannya membakar
libido kelaki-lakian. Selain itu,
Ronggeng juga telah dilarang. Srintil tidak tahu banyak mengapa demikian,
kecuali dalam pengetian ronggeng = komunis = penjara.
Dalam kehidupannya yang baru, mandor perkebunan masih
tergila-gila pada Srintil. Dipaksanya Srintil melayani nafsu bejat
kelaki-lakiannya. Walau Srintil berhasil melawan, namun Srintil tetap terluka. Hatinya
sakit. Betapa laki-laki telah mengoyak kehidupannya. Srintil kapok pada
laki-laki.
Hingga pada suatu saat Srintil bertemu dengan mandor proyek
bendungan dari Jakarta. Bajus, tidak seperti laki-laki lainnya, ia ngemong.
Srintil percaya padanya. Bahkan siap dipinang olehnya. Tapi siapa sangka
Srintil justru dijual oleh Bajus kepada bosnya, dengan harapan mendapat jatah
proyek pembangunan infrastruktur. Srintil hancur, tersungkur.
Bersamaan dengan itu, Dukuh Paruk yang tadinya
selaras, teduh, jujur dan polos, kini telah berubah. Dukuh Paruk telah dicabuli oleh simbol-simbol
modernisasi: uang, politik, perkebunan, bendungan, tentara, dan Jakarta. Dan
semua instrumen itu menyerbu Srintil
tanpa ampun. Sampai membuat Srintil gila, merana, ambruk, terpuruk. Maka demikian juga dengan Dukuh
Paruk.
No comments:
Post a Comment