Review buku
Semua Untuk Hindia
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: KPG, 2018, Jakarta
Tidak ada kemewahan
dalam berpolitik selain berhasil mempengaruhi masyarakat. Dan selama masyarakat
masih berpikir dalam bahasa, selama itu pula masyarakat akan selalu lekat
dengan sastra. Maka menguasai kesusastraan sama dengan menguasai masyarakat.
Dalam pengertian
itu, sastra adalah kendaraan politik. Ia bisa dikendalikan untuk mencapai
tujuan tertentu. Kompeni Belanda membuat lembaga sastra bernama Balai Pustaka.
Tujuan etisnya adalah memperkenalkan sastra pada masyarakat pribumi terbelakang.
Namun dalam perspektif kritis, pendirian lembaga itu adalah untuk menyortir bacaan masyarakat pribumi. Kita boleh membayangkan bahwa apa yang dilakukan oleh kompeni itu seperti yang dilakukan oleh orang tua kita: ini buku yang boleh kau baca, ini yang tidak, sebab kau akan liar jika membaca buku yang tidak-tidak.
Namun dalam perspektif kritis, pendirian lembaga itu adalah untuk menyortir bacaan masyarakat pribumi. Kita boleh membayangkan bahwa apa yang dilakukan oleh kompeni itu seperti yang dilakukan oleh orang tua kita: ini buku yang boleh kau baca, ini yang tidak, sebab kau akan liar jika membaca buku yang tidak-tidak.
Kalau karya sastra
adalah kendaraan politik, maka sastrawan adalah politisi dalam tanda kutip. Karya
sastra dibuat untuk memperjuangkan kepentingan sastrawan, minimal nilai-nilai
tertentu yang diyakininya.
Douwes Dekker dalam
Max Havelaar menulis tentang penderitaan pribumi di bawah kekuasaan kompeni. Demikian
juga dengan Semaoen memotret penderitaan pribumi dalam novelnya berjudul
Hikajat Kadiroen. Kedua karya sastra itu bercerita tentang kompeni yang
terkutuk dan pribumi yang menderita. Setiap orang yang membaca karya itu akan
terbakar emosinya, marah terhadap kompeni.
Kalau masyarakat
sudah terbakar begitu, maka kompeni harus bisa memadamkannya. Lewat buku-buku
Balai Pustaka, kompeni menyebarkan karya sastra yang aman dibaca, dalam arti tidak
membuat pembaca naik darah terhadap kekuasaan kompeni.
Kedua kubu sastra
itu saling berperang. Yang satu mendukung republik, yang satu lagi mendukung status quo kolonialisme.
Kalau kemerdekaan Indonesia
adalah karena jasa para pahlawan, maka sastrawan pendukung republik itu juga
pahlawan dalam arti yang sesungguhnya. Sebab tangan mereka-lah yang membakar semangat
perlawanan rakyat melawan kompeni Belanda.
Namun kemenangan
itu bukan tanpa masalah.
Dalam menonton film,
kita biasanya berpikir bias. Misal, ketika menonton film horor. Dalam film itu,
sosok hantu biasanya mengganggu manusia. Betapa menyeramkan! Sehingga kita
terdorong untuk memukul rata bahwa semua hantu itu adalah musuh manusia.
Begitu juga dalam
membaca karya sastra. Dalam sastra perlawanan, pribumi digambarkan sebagai
sosok tertindas oleh kolonial kompeni. Maka pembaca novel itu juga rawan berpikir
bias sebagaimana penonton film hantu di atas. Mereka akan berpikir bahwa semua
orang Belanda adalah penjajah bejat keparat.
Kalau kita berpikir
kritis, tentu tidak semua hantu adalah musuh manusia. Dalam buku-buku religi
disebutkan ada juga hantu yang tidak mengganggu manusia. Begitu juga dengan
orang belanda. Tidak semua bejat. Untuk menuju pada kesadaran itu, kita butuh
karya sastra alternatif.
Nah, kalau anda
mencari karya sastra seperti itu, coba baca novel berjudul Semua Untuk Hindia
(SUH). Karya sastra garapan Iksaka Banu ini berisi kumpulan cerpen yang menggambarkan
orang Belanda dalam citra yang belum pernah kita duga sebelumnya.
Pada
cerpen berjudul Selamat Tinggal Hindia, ada gadis Belanda bernama Geertje yang merasa tidak memiliki
ikatan emosional dengan negeri Belanda. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak
negara nenek moyangku itu”, kata Geertje (Hal.10). Geertje justru merasakan
adanya api nasionalisme Indonesia dalam jiwanya.
Lewat cerita ini
kita diajak untuk tidak gampangan menilai semua
orang Belanda sebagai penjajah. Sebab ternyata ada juga orang keturunan Belanda
yang merasa asing dengan kebelandaannya dan justru ikut memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Kita juga bisa
mendapatkan pengalaman unik ketika masuk pada bagian Stambul Dua Pedang (hal.13-24). Dalam cerita itu, dikisahkan
seorang Nyai yang mengkhianati Tuan Belandanya.
Tentu saja cerita
seperti itu tidak lazim bagi kita. Sebab dalam cerita pada umumnya, biasanya
orang belanda-lah yang menjadi tokoh antagonis. Dalam cerita ini, semua
dibalik. Nyai pribumi yang mengkhianati cinta tulus orang Belanda.
Dalam bagian lain,
Banu mengajak kita untuk tidak memukul rata semua orang Belanda. Kenyataannya,
komunitas orang Belanda itu terbagi dalam beberapa kelompok yang didasarkan
kemurnian darah. Ada Belanda tulen, ada Belanda peranakan.
Dalam bagian Keringat dan Susu, Banu
menulis kisah tentang kehidupan orang Belanda peranakan. Dalam kacamata
kita, barangkali sulit membedakan antara Belanda tulen dengan Belanda
peranakan. Kalaupun bisa membedakannya, kita cenderung memukul rata karakter
dan kepribadiannya.
Namun bagi orang Belanda sendiri, status Belanda tulen atau peranakan
ini bukan masalah sepele. Ini tercermin dalam salah satu
percakapan: “di
kalangan Belanda, kami tidak pernah diterima utuh. Sementara di lingkungan
bumiputra menjadi bahan cemoohan” (hal.32). Lewat cerita ini
Banu ingin menegaskan bahwa orang Belanda itu jenisnya banyak. Dan di antara
mereka, ada juga yang dianggap sebagai “buangan”.
Secara umum, SUH
merupakan novel sejarah yang cerita-ceritanya menyempal dari pakem. SUH mengisahkan
kolonialisme bukan hanya tentang desing peluru, namun ada drama di dalamnya.
Drama yang tidak selesai hanya dengan mengatakan bahwa Belanda
itu jahat atau Indonesia itu
baik.
No comments:
Post a Comment