Thursday, July 12, 2018

BELANDA JUGA MANUSIA

Review buku
Semua Untuk Hindia
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: KPG, 2018, Jakarta


Tidak ada kemewahan dalam berpolitik selain berhasil mempengaruhi masyarakat. Dan selama masyarakat masih berpikir dalam bahasa, selama itu pula masyarakat akan selalu lekat dengan sastra. Maka menguasai kesusastraan sama dengan menguasai masyarakat.

Dalam pengertian itu, sastra adalah kendaraan politik. Ia bisa dikendalikan untuk mencapai tujuan tertentu. Kompeni Belanda membuat lembaga sastra bernama Balai Pustaka. Tujuan etisnya adalah memperkenalkan sastra pada masyarakat pribumi terbelakang.


Namun dalam perspektif kritis, pendirian lembaga itu adalah untuk menyortir bacaan masyarakat pribumi. Kita boleh membayangkan bahwa apa yang dilakukan oleh kompeni itu seperti yang dilakukan oleh orang tua kita: ini buku yang boleh kau baca, ini yang tidak, sebab kau akan liar jika membaca buku yang tidak-tidak.

Kalau karya sastra adalah kendaraan politik, maka sastrawan adalah politisi dalam tanda kutip. Karya sastra dibuat untuk memperjuangkan kepentingan sastrawan, minimal nilai-nilai tertentu yang diyakininya.

Douwes Dekker dalam Max Havelaar menulis tentang penderitaan pribumi di bawah kekuasaan kompeni. Demikian juga dengan Semaoen memotret penderitaan pribumi dalam novelnya berjudul Hikajat Kadiroen. Kedua karya sastra itu bercerita tentang kompeni yang terkutuk dan pribumi yang menderita. Setiap orang yang membaca karya itu akan terbakar emosinya, marah terhadap kompeni.

Kalau masyarakat sudah terbakar begitu, maka kompeni harus bisa memadamkannya. Lewat buku-buku Balai Pustaka, kompeni menyebarkan karya sastra yang aman dibaca, dalam arti tidak membuat pembaca naik darah terhadap kekuasaan kompeni.

Kedua kubu sastra itu saling berperang. Yang satu mendukung republik, yang satu lagi mendukung status quo kolonialisme.

Kalau kemerdekaan Indonesia adalah karena jasa para pahlawan, maka sastrawan pendukung republik itu juga pahlawan dalam arti yang sesungguhnya. Sebab tangan mereka-lah yang membakar semangat perlawanan rakyat melawan kompeni Belanda.

Namun kemenangan itu bukan tanpa masalah.

Dalam menonton film, kita biasanya berpikir bias. Misal, ketika menonton film horor. Dalam film itu, sosok hantu biasanya mengganggu manusia. Betapa menyeramkan! Sehingga kita terdorong untuk memukul rata bahwa semua hantu itu adalah musuh manusia.

Begitu juga dalam membaca karya sastra. Dalam sastra perlawanan, pribumi digambarkan sebagai sosok tertindas oleh kolonial kompeni. Maka pembaca novel itu juga rawan berpikir bias sebagaimana penonton film hantu di atas. Mereka akan berpikir bahwa semua orang Belanda adalah penjajah bejat keparat.

Kalau kita berpikir kritis, tentu tidak semua hantu adalah musuh manusia. Dalam buku-buku religi disebutkan ada juga hantu yang tidak mengganggu manusia. Begitu juga dengan orang belanda. Tidak semua bejat. Untuk menuju pada kesadaran itu, kita butuh karya sastra alternatif.

Nah, kalau anda mencari karya sastra seperti itu, coba baca novel berjudul Semua Untuk Hindia (SUH). Karya sastra garapan Iksaka Banu ini berisi kumpulan cerpen yang menggambarkan orang Belanda dalam citra yang belum pernah kita duga sebelumnya.

Pada cerpen berjudul Selamat Tinggal Hindia, ada gadis Belanda bernama Geertje yang merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan negeri Belanda. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak negara nenek moyangku itu”, kata Geertje (Hal.10). Geertje justru merasakan adanya api nasionalisme Indonesia dalam jiwanya.

Lewat cerita ini kita diajak untuk tidak gampangan menilai semua orang Belanda sebagai penjajah. Sebab ternyata ada juga orang keturunan Belanda yang merasa asing dengan kebelandaannya dan justru ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kita juga bisa mendapatkan pengalaman unik ketika masuk pada bagian Stambul Dua Pedang (hal.13-24). Dalam cerita itu, dikisahkan seorang Nyai yang mengkhianati Tuan Belandanya.

Tentu saja cerita seperti itu tidak lazim bagi kita. Sebab dalam cerita pada umumnya, biasanya orang belanda-lah yang menjadi tokoh antagonis. Dalam cerita ini, semua dibalik. Nyai pribumi yang mengkhianati cinta tulus orang Belanda.

Dalam bagian lain, Banu mengajak kita untuk tidak memukul rata semua orang Belanda. Kenyataannya, komunitas orang Belanda itu terbagi dalam beberapa kelompok yang didasarkan kemurnian darah. Ada Belanda tulen, ada Belanda peranakan.

Dalam bagian Keringat dan Susu, Banu menulis kisah tentang kehidupan orang Belanda peranakan. Dalam kacamata kita, barangkali sulit membedakan antara Belanda tulen dengan Belanda peranakan. Kalaupun bisa membedakannya, kita cenderung memukul rata karakter dan kepribadiannya.

Namun bagi orang Belanda sendiri, status Belanda tulen atau peranakan ini bukan masalah sepele. Ini tercermin dalam salah satu percakapan: “di kalangan Belanda, kami tidak pernah diterima utuh. Sementara di lingkungan bumiputra menjadi bahan cemoohan” (hal.32). Lewat cerita ini Banu ingin menegaskan bahwa orang Belanda itu jenisnya banyak. Dan di antara mereka, ada juga yang dianggap sebagai “buangan”.

Secara umum, SUH merupakan novel sejarah yang cerita-ceritanya menyempal dari pakem. SUH mengisahkan kolonialisme bukan hanya tentang desing peluru, namun ada drama di dalamnya. Drama yang tidak selesai hanya dengan mengatakan bahwa Belanda itu jahat atau Indonesia itu baik.

No comments:

Post a Comment