Thursday, May 3, 2018

AGEN PERUBAHAN ADALAH AGEN STATUS QUO

Zamzam Muhammad Fuad

Ringkasan
Pemerintah sudah berupaya mereformasi birokrasi kita. Salah satunya melalui program Pembangunan Agen Perubahan. Namun, program ini memiliki kontradiksi dalam dirinya. Sehingga program ini kurang mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Lebih parah lagi, program pemerintah ini bukannya menciptakan agen perubahan, malah rawan menciptakan agen pelanggeng status quo. Tulisan saya ini ingin menjelaskan hal itu.

Pendahuluan
Birokrasi Indonesia memiliki citra cukup buruk. Ada yang menilai terlalu gemuk, korup, inefisien, lamban, feodal, mata duitan, dan masih banyak lagi jika mau dikuliti. Saya sebagai “orang dalam” pada tubuh birokrasi, bisa mengatakan bahwa tidak semua birokrat begitu. Tapi diakui juga, masih ada yang begitu. Birokrat siapa? Agar tidak dianggap memukul rata, mari kita anggap itu oknum. Yang jelas di mata publik penilaian itu masih bertahan. Publik siapa? Agar tidak dianggap terlalu menggeneralisir, mari kita anggap itu oknum publik.

Untuk memperbaiki birokrasi, banyak yang telah dilakukan. Misalnya, untuk mengejar performa kinerja, dilakukan pelatihan atau diklat. Untuk memperbaiki rapor akuntabilitas, dibuatlah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Untuk memperbaiki budaya kinerja, ada program Reformasi Birokrasi. Dan masih banyak lagi. Yang ingin saya katakan adalah bahwa semua program itu dijalankan untuk, meminjam istilah Agus Dwiyanto, menghasilkan kader-kader perubahan. Singkat kata, perbaikan birokrasi telah dimulai dengan pendekatan sistem. Dengan kata lain, sistem tertentu telah didesain untuk menghasilkan agen tertentu.

Dalam diskursus sosiologi, perdebatan mengenai “sistem menghasilkan agen” ini menjadi topik yang selalu hangat. Sebuah sistem diandaikan sebagai bangunan struktur-struktur yang diciptakan untuk menghasilkan agen-agen tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Konsekuensinya, struktur dianggap lebih penting daripada agen. Tapi muncul lagi pendapat bahwa sebuah struktur tidak akan tercipta tanpa adanya agen yang kreatif. Pandangan ini mengandaikan bahwa agen selalu mendahului struktur. Lalu mana yang lebih dahulu, agen dulu atau struktur dulu? Ini rumit seperti menjawab pertanyaan ayam dulu atau telur dulu? Teori strukturasi Anthony Giddens berusaha untuk menjembatani dilema itu. Saya pun tidak percaya struktur dan agen bisa dipisah-pisahkan begitu. Tapi untuk abstraksi permasalahan dalam tulisan ini, saya akan tetap mempertahankan kedua kutub ekstrim tersebut.

Struktur adalah kumpulan pola aktivitas dan aturan yang mempengaruhi individu (agen). Dengan intervensi struktur, individu diharapkan dapat mengontrol pikiran dan tindakannya. Struktur diciptakan agar terjadi individu-individu yang serupa. Dalam konteks ini, pelatihan/diklat, SAKIP, Program Reformasi Birokrasi, bisa dimakanai sebagai struktur-struktur yang didesain untuk mempengaruhi tindakan individu-individu atau menciptakan individu-individu yang relatif serupa.

Hampir seluruh peraturan yang dibuat pemerintah untuk memperbaiki birokrasi kita menggunakan pendekatan struktur. Tapi di antara peraturan itu, ada yang menyempal dari pakem, yaitu Permenpan RB No. 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah (Permenpan 27)Boleh dikatakan bahwa ini adalah satu-satunya program reformasi birokrasi dengan pendekatan keagenan. Hal ini bisa kita simak dalam konsideran Permenpan 27 tersebut: “bahwa untuk menggerakan birokrasi pemerintahan yang professional diperlukan agen perubahan birokrasi yang dapat mengubah pola pikir dan budaya kerja di lingkungan Instansi Pemerintah”. Tulisan ini bermaksud untuk memersoalkan Permenpan 27 ini.

Gagasan Permenpan 27
Permenpan 27 merupakan terobosan untuk memperbaiki birokrasi kita. Hal ini karena Permenpan ini adalah satu-satunya upaya perbaikan birokrasi berperspektif keagenan. Permenpan ini mengandaikan adanya agen tercerahkan yang mampu mengintervensi struktur, dalam hal ini pola pikir dan budaya kerja pada instansi pemerintahan.

Permenpan 27 memiliki sejumlah makna, maksud, dan gagasan, yang tersirat ataupun tersurat. Di antaranya, pertama, pemerintah menyadari bahwa sistem birokrasi saat ini  sedang sakit. Buktinya adalah keberadaan Permenpan ini sendiri. Kalau tidak sakit, buat apa pemerintah membuat peraturan ini. Sakit apa? Dalam paragraf pertama Bab I Lampiran, diagnosanya disebutkan secara implisit, yaitu tidak adaptif, tidak berintegritas, kental dengan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kedua, instansi yang sistemnya sedang sakit itu tidak cuma satu atau dua, namun banyak, sistemik dan menyebar luas. Buktinya, aturan tentang agen perubahan ini ditetapkan dalam Permenpan. Sebagaimana diketahui, Permenpan merupakan aturan yang berlaku secara nasional, tidak lokal atau parsial. Artinya, Permenpan 27 mengandaikan bahwa penyakit birokrasi ini terdapat di banyak instansi pemerintah di antero Indonesia.

Ketiga, pemerintah yakin bahwa di dalam sebuah sistem yang rusak ini masih ada agen yang sehat. Buktinya, ada dalam Pasal 1 ayat 1. Dikatakan di sana bahwa “peraturan ini memberikan acuan bagi Instansi Pemerintah dalam membangun Agen Perubahan di lingkungannya”. Saya sengaja menandai kata “lingkungannya”. Sebab, “nya” dalam kata tersebut menyiratkan makna bahwa agen perubahan bisa dicari di dalam instansi masing-masing.

Keempat, pemerintah mengandaikan bahwa agen perubahan ini harus dipilih oleh pimpinan dan tim khusus yang disebut dengan Tim Reformasi Birokrasi Internal (Tim RBI). Hal ini diatur dalam Bab II Lampiran. Disebutkan bahwa agen perubahan diusulkan oleh pimpinan unit kerja kepada Tim RBI. Kemudian, Tim RBI menyampaikan hasil seleksi kepada Pimpinan untuk ditetapkan.

Dari uraian di atas, izinkan saya mendefinisikan agen perubahan yang dimaksud dalam Permenpan 27 dalam dua tarikan nafas. Agen perubahan merupakan pegawai tercerahkan yang bertugas mengobati instansinya yang sedang sakit dan bertanggungjawab kepada pimpinan. Selanjutnya saya akan menunjukkan bahwa peraturan mengenai agen perubahan ini menyimpan kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya. Sebelum akhirnya saya akan mengatakan bahwa Permenpan 27 adalah upaya yang sia-sia belaka.

Berobat tanpa ke dokter
Sebelumnya sudah dipaparkan bahwa instansi pemerintah sedang mengalami sakit. Ironisnya, sakitnya pun tidak main-main, korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mendiskusikan penyakit ini terlebih dahulu.

Memahami korupsi di Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa memahami struktur sosial masyarakat Indonesia yang feodalistik dan paternalistik. Peter Carey mengatakan, “situasi begitu berbelit dan beku seperti Indonesia belum mengalami perubahan paradigm (paradigm shift) yang signifikan dari zaman tatanan lama alias era feodal”. Lalu bagaimana birokrasi feodal patrimonial sebagaimana dimaksud?

Saya akan mengutip pendapat Agus Dwiyanto secara agak panjang karena bobot pernyataannya penting dan menarik untuk disimak.
“budaya birokrasi yang berlaku dalam birokrasi pemerintah umumnya bersifat paternalistik, yang menempatkan pimpinan sebagai sentral kehidupan dan kegiatan birokrasi. Budaya paternalistik ini cenderung semakin menguat dalam birokrasi Weberian yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan birokrasi pemerintah. Birokrasi Weberian membangun konsep kekuasaan sebagai hak istimewa dari pimpinan. Hal ini ditunjukkan oleh hierarki yang panjang dan kewenangan mengambil keputusan ada di tangan pimpinan puncak. (garis bawah dari saya).

Artinya, dalam iklim birokrasi yang paternalistik, pimpinan sangat menentukan nasib hidup-mati instansinya. Dengan kata lain, sakit-sehat, bersih-kotor, KKN-tidak KKN, sebuah instansi pemerintah bergantung pada pimpinannya. Maka, perbaikan birokrasi sebaiknya juga bermula dari level pimpinan. Horizon pemikiran inilah yang absen dalam Permenpan 27.

Dalam Permenpan 27, agen perubahan yang seharusnya bebas, diringkus untuk patuh kembali pada pimpinan. Ini dibuktikan dalam lampiran Permenpan 27 mengenai sistem rekruitmen dan penetapan agen perubahan. Di sana tertulis jelas bahwa agen perubahan ialah agen yang dipilih oleh pimpinan, ditetapkan oleh pimpinan, dan bertanggungjawab kepada pimpinan di lingkungan instansinya.

Merujuk pada pendapat Carey dan Dwiyanto, kita sulit berharap pada agen perubahan yang dikelola seperti itu. Sebab, menurut Carey dan Dwiyanto, pimpinan merupakan sumber penyakit suatu instansi birokrasi. Lalu mengapa agen perubahan harus dipilih oleh pimpinannya sendiri dan bertanggungjawab pada pimpinannya sendiri. Dalam situasi ini, agen perubahan hanya menjadi obat penenang agar sakit sebuah birokrasi tidak terasa. Agen perubahan ibarat anestesi pereda sakit gigi yang sama sekali tidak dapat mengobati sakit gigi. Ini adalah kontradiksi pertama.

Kontradiksi kedua adalah terkait dengan eksistensi Tim RBI. Dalam peraturan dijelaskan bahwa agen perubahan dicalonkan oleh pimpinan, diseleksi atau disaring oleh Tim RBI, dan ditetapkan oleh pimpinan. Artinya, pimpinan dan Tim RBI sebenarnya adalah orang-orang yang diasumsikan memiliki kebijaksanaan. Tanpa asumsi tersebut, tidak mungkin pimpinan dan Tim RBI diberi kewenangan untuk memilih dan menetapkan agen perubahan.

Singkatnya, pimpinan dan Tim RBI itu sendiri adalah orang-orang terpilih yang dianggap sehat. Namun karena pimpinan dan Tim RBI adalah panitia pembentukan agen perubahan, maka mereka tidak dapat memilih dirinya sendiri. Padahal, yang namanya agen perubahan itu biasanya sedikit. Sebagaimana dijelaskan oleh Arnold Toynbee bahwa orang-orang pendobrak sejarah (Toynbee menyebutnya orang kreatif) biasanya berjumlah sedikit. Oleh karena itu Toynbee menyebut orang-orang kreatif ini sebagai minority creative. Demikian juga dalam instansi pemerintah. Agen tercerahkan juga berjumlah sedikit. Tapi orang yang sedikit ini sudah tersaring duluan menjadi Tim RBI. Akhirnya agen perubahan adalah nominasi gagal dalam pembentukan Tim RBI.

Kontradiksi ketiga adalah terkait dengan penjaringan orang dalam. Sudah disinggung di awal, Permenpan 27 masih bersikeras akan adanya agen internal instansi yang tidak tertulari sakit. Agen ini memiliki kekebalan atau imun sehingga separah-parah sakit instansinya, dia bisa tetap sehat sendirian. Agen perubahan yang dibayangkan Permenpan 27 seperti karakter Thomas dalam film Maze Runner The Death Cure. Thomas sejak lahir memiliki imun alami yang kebal terhadap Virus Flare, sementara yang lainnya tidak. Permenpan 27 percaya bahwa ada ikan pilihan yang tetap berasa tawar sekalipun hidup di air laut.

Hal ini bertolak belakang dengan gagasan Carey yang mengatakan bahwa KKN dalam instansi pemerintah adalah fenomena kelembagaan. Artinya, penyakit yang diderita suatu instansi sebenarnya sudah menjalar ke segala lini. Jika ini benar, kita seharusnya sulit berharap pada agen perubahan yang berasal dari orang dalam instansi.

Kontradiksi-kontradiksi inilah yang mendorong saya untuk mengatakan bahwa Permenpan 27 akan kesulitan mencapai tujuan-tujuannya. Permenpan 27 hanya menganjurkan bahwa birokrasi yang sakit dapat diobati dengan mencari imun dari dalam tubuh sendiri. Padahal, sakit yang diderita oleh birokrasi sudah cukup parah sehingga membutuhkan rujukan ke dokter atau rumah sakit. Minimal, faskes tingkat pertama-lah.

What have to be done?
Apa solusinya? Pertama, kebijakan tentang agen perubahan harus dalam perspektif elit. Kesalahan Permenpan 27 adalah menutup mata terhadap adanya budaya paternalistik dalam tubuh birokrasi. Sehingga, agen perubahan boleh diisi oleh pemimpin rendahan atau bahkan staf pegawai tanpa jabatan struktural. Dalam iklim paternalistik, agen perubahan tidak dapat merubah apa-apa. Ia hanya akan jadi obat anestesi. Bukan obat yang menyembuhkan.

Oleh karena itu, perumusan kebijakan tentang pembentukan agen perubahan harus berperspektif elit dan tetap mempertimbangkan budaya feodal masih bercokol di birokrasi kita. Perubahan yang menyangkut kebijakan tidak bisa dilakukan oleh selain pimpinan tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Dwiyanto di atas bahwa dalam kultur paternalistik plus Weberian, posisi pimpinan sangatlah menentukan. Dengan demikian, agen perubahan yang dicari bukan lagi pemimpin dengan jabatan struktural rendah atau staf biasa, melainkan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).

Kedua, lantaran sakit birokrasi sudah melembaga, mengandalkan sistem imun saja tidak cukup. Penyembuhannya harus lebih intensif dengan pergi ke dokter. Maksudnya, intervensi keagenan membutuhkan peran dari pihak luar. Saya membayangkan bahwa JPT tidak boleh berlama-lama dalam satu instansi. Kementerian yang membidangi masalah kepegawaian harus jeli merotasi para JPT agen perubahan secara reguler. Rotasinya tentu saja bukan di dalam instansinya sendiri, melainkan antar instansi. Jadi, orang luar yang didapuk sebagai agen perubahan di suatu instansi ini tetaplah seorang ASN, namun ASN yang dipilih dan dirotasi secara berkala di lintas kementerian/lembaga. Sehingga, sistem rekruitmen agen perubahan tidak dilakukan oleh Tim RBI, namun oleh kementerian/lembaga yang membidangi masalah kepegawaian.

Dengan menerapkan perspektif elit, agen perubahan tidak lagi dianggap sebagai isapan jempol, namun memiliki kapasitas untuk benar-benar merubah instansi pemerintah. Sistem rotasi JPT yang didapuk sebagai agen perubahan dapat menghasilkan agen perubahan yang tangguh, ibarat obat yang benar-benar mengobati, bukan hanya sekedar anestesi. Dengan sistem seperti ini, agen perubahan tidak lagi hanya dicap sebagai agen status quo. Ada komen?

No comments:

Post a Comment