Zamzam Muhammad Fuad
Ringkasan
Pemerintah
sudah berupaya mereformasi birokrasi kita. Salah satunya melalui program Pembangunan
Agen Perubahan. Namun, program ini memiliki kontradiksi dalam dirinya. Sehingga
program ini kurang mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Lebih parah lagi,
program pemerintah ini bukannya menciptakan agen perubahan, malah rawan
menciptakan agen pelanggeng status quo.
Tulisan saya ini ingin menjelaskan hal itu.
Pendahuluan
Birokrasi
Indonesia memiliki citra cukup buruk. Ada yang menilai terlalu gemuk,
korup,
inefisien,
lamban,
feodal,
mata
duitan, dan masih banyak lagi jika mau dikuliti. Saya sebagai “orang dalam”
pada tubuh birokrasi, bisa mengatakan bahwa tidak semua birokrat begitu. Tapi
diakui juga, masih ada yang begitu. Birokrat siapa? Agar tidak dianggap memukul
rata, mari kita anggap itu oknum. Yang jelas di mata publik penilaian itu masih
bertahan. Publik siapa? Agar tidak dianggap terlalu menggeneralisir, mari kita
anggap itu oknum publik.
Untuk
memperbaiki birokrasi, banyak yang telah dilakukan. Misalnya, untuk mengejar
performa kinerja, dilakukan pelatihan atau diklat. Untuk memperbaiki rapor
akuntabilitas, dibuatlah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP). Untuk memperbaiki budaya kinerja, ada program Reformasi Birokrasi. Dan
masih banyak lagi. Yang ingin saya katakan adalah bahwa semua program itu
dijalankan untuk, meminjam istilah Agus
Dwiyanto, menghasilkan kader-kader perubahan. Singkat kata, perbaikan
birokrasi telah dimulai dengan pendekatan sistem. Dengan kata lain, sistem
tertentu telah didesain untuk menghasilkan agen tertentu.
Dalam diskursus
sosiologi, perdebatan mengenai “sistem menghasilkan agen” ini menjadi topik
yang selalu hangat. Sebuah sistem diandaikan sebagai bangunan struktur-struktur
yang diciptakan untuk menghasilkan agen-agen tertentu untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Konsekuensinya, struktur dianggap lebih penting
daripada agen. Tapi muncul lagi pendapat bahwa sebuah struktur tidak akan
tercipta tanpa adanya agen yang kreatif. Pandangan ini mengandaikan bahwa agen
selalu mendahului struktur. Lalu mana yang lebih dahulu, agen dulu atau
struktur dulu? Ini rumit seperti menjawab pertanyaan ayam dulu atau telur dulu?
Teori strukturasi Anthony
Giddens berusaha untuk menjembatani dilema itu. Saya pun tidak percaya
struktur dan agen bisa dipisah-pisahkan begitu. Tapi untuk abstraksi permasalahan
dalam tulisan ini, saya akan tetap mempertahankan kedua kutub ekstrim tersebut.
Struktur adalah
kumpulan pola aktivitas dan aturan yang mempengaruhi individu (agen). Dengan
intervensi struktur, individu diharapkan dapat mengontrol pikiran dan tindakannya.
Struktur diciptakan agar terjadi individu-individu yang serupa. Dalam konteks
ini, pelatihan/diklat, SAKIP, Program Reformasi Birokrasi, bisa dimakanai
sebagai struktur-struktur yang didesain untuk mempengaruhi tindakan
individu-individu atau menciptakan individu-individu yang relatif serupa.
Hampir seluruh
peraturan yang dibuat pemerintah untuk memperbaiki birokrasi kita menggunakan
pendekatan struktur. Tapi di antara peraturan itu, ada yang menyempal dari pakem, yaitu Permenpan
RB No. 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi
Pemerintah (Permenpan 27). Boleh dikatakan bahwa ini adalah satu-satunya program
reformasi birokrasi dengan
pendekatan keagenan.
Hal ini bisa kita simak dalam konsideran Permenpan 27 tersebut: “bahwa untuk
menggerakan birokrasi pemerintahan yang professional diperlukan agen perubahan
birokrasi yang dapat mengubah pola pikir dan budaya kerja di lingkungan
Instansi Pemerintah”. Tulisan ini bermaksud untuk memersoalkan Permenpan 27
ini.
Gagasan Permenpan 27
Permenpan 27
merupakan terobosan untuk memperbaiki birokrasi kita. Hal ini karena Permenpan
ini adalah satu-satunya upaya perbaikan birokrasi berperspektif keagenan. Permenpan ini
mengandaikan adanya agen tercerahkan yang mampu mengintervensi struktur, dalam
hal ini pola pikir dan budaya kerja pada instansi pemerintahan.
Permenpan 27
memiliki sejumlah makna, maksud, dan gagasan,
yang tersirat ataupun tersurat. Di antaranya, pertama, pemerintah menyadari bahwa sistem birokrasi saat ini sedang sakit. Buktinya adalah keberadaan
Permenpan ini sendiri. Kalau tidak sakit, buat
apa pemerintah membuat peraturan ini. Sakit apa? Dalam
paragraf pertama Bab I Lampiran, diagnosanya disebutkan secara implisit, yaitu
tidak adaptif, tidak berintegritas, kental dengan perilaku korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Kedua, instansi yang
sistemnya sedang sakit itu tidak cuma satu atau dua, namun banyak, sistemik dan menyebar
luas. Buktinya, aturan tentang agen perubahan ini ditetapkan dalam Permenpan. Sebagaimana
diketahui, Permenpan merupakan aturan yang berlaku secara nasional, tidak lokal
atau parsial. Artinya, Permenpan 27 mengandaikan bahwa penyakit birokrasi ini terdapat
di banyak instansi pemerintah di antero Indonesia.
Ketiga, pemerintah yakin
bahwa di dalam sebuah sistem yang rusak ini
masih
ada agen yang sehat. Buktinya, ada dalam Pasal 1 ayat 1. Dikatakan di sana
bahwa “peraturan ini memberikan acuan bagi Instansi Pemerintah dalam membangun
Agen Perubahan di lingkungannya”.
Saya sengaja menandai kata “lingkungannya”. Sebab, “nya” dalam kata
tersebut menyiratkan makna bahwa agen perubahan bisa dicari di dalam instansi
masing-masing.
Keempat, pemerintah mengandaikan
bahwa agen perubahan ini harus dipilih oleh pimpinan dan tim khusus yang
disebut dengan Tim Reformasi Birokrasi Internal (Tim RBI). Hal ini diatur dalam
Bab II Lampiran. Disebutkan bahwa agen perubahan diusulkan oleh pimpinan unit
kerja kepada Tim RBI. Kemudian, Tim RBI menyampaikan hasil seleksi kepada
Pimpinan untuk ditetapkan.
Dari uraian di
atas, izinkan saya mendefinisikan agen perubahan yang dimaksud dalam
Permenpan 27 dalam dua tarikan nafas. Agen perubahan
merupakan pegawai tercerahkan yang bertugas mengobati instansinya yang sedang
sakit dan bertanggungjawab kepada pimpinan. Selanjutnya saya akan menunjukkan
bahwa peraturan mengenai agen perubahan ini menyimpan kontradiksi-kontradiksi di
dalam dirinya. Sebelum akhirnya saya akan mengatakan bahwa Permenpan 27 adalah upaya
yang sia-sia belaka.
Berobat tanpa ke dokter
Sebelumnya sudah
dipaparkan bahwa instansi pemerintah sedang mengalami sakit. Ironisnya,
sakitnya pun tidak main-main, korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu,
sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mendiskusikan penyakit ini terlebih
dahulu.
Memahami korupsi
di Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa memahami struktur sosial masyarakat
Indonesia yang feodalistik dan paternalistik. Peter
Carey mengatakan, “situasi begitu berbelit dan beku seperti Indonesia belum
mengalami perubahan paradigm (paradigm
shift) yang signifikan dari zaman tatanan lama alias era feodal”. Lalu
bagaimana birokrasi feodal patrimonial sebagaimana dimaksud?
Saya akan
mengutip pendapat Agus
Dwiyanto secara agak panjang karena bobot pernyataannya penting dan menarik
untuk disimak.
“budaya
birokrasi yang berlaku dalam birokrasi pemerintah umumnya bersifat
paternalistik, yang menempatkan pimpinan sebagai sentral kehidupan dan
kegiatan birokrasi. Budaya paternalistik ini cenderung semakin menguat
dalam birokrasi Weberian yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan
birokrasi pemerintah. Birokrasi Weberian membangun konsep kekuasaan sebagai hak
istimewa dari pimpinan. Hal ini ditunjukkan oleh hierarki yang panjang dan kewenangan
mengambil keputusan ada di tangan pimpinan puncak”. (garis bawah dari
saya).
Artinya, dalam iklim birokrasi yang paternalistik,
pimpinan sangat
menentukan nasib hidup-mati instansinya. Dengan kata lain, sakit-sehat,
bersih-kotor, KKN-tidak KKN, sebuah instansi pemerintah bergantung pada
pimpinannya. Maka, perbaikan birokrasi
sebaiknya juga bermula dari level pimpinan. Horizon pemikiran inilah
yang absen dalam Permenpan 27.
Dalam Permenpan
27, agen perubahan yang seharusnya
bebas,
diringkus untuk patuh kembali pada pimpinan. Ini
dibuktikan dalam lampiran Permenpan 27 mengenai sistem rekruitmen dan penetapan
agen perubahan. Di sana tertulis jelas bahwa agen perubahan ialah agen
yang dipilih oleh pimpinan,
ditetapkan oleh pimpinan, dan bertanggungjawab
kepada pimpinan di lingkungan instansinya.
Merujuk pada
pendapat Carey dan Dwiyanto, kita sulit berharap pada agen perubahan yang dikelola seperti itu. Sebab,
menurut Carey dan Dwiyanto, pimpinan merupakan sumber penyakit suatu instansi birokrasi.
Lalu mengapa agen perubahan harus dipilih oleh pimpinannya sendiri dan
bertanggungjawab pada pimpinannya sendiri. Dalam situasi ini, agen perubahan
hanya menjadi obat penenang agar sakit sebuah birokrasi tidak terasa. Agen
perubahan ibarat anestesi pereda sakit gigi yang sama sekali tidak dapat
mengobati sakit gigi. Ini adalah kontradiksi pertama.
Kontradiksi
kedua adalah terkait dengan eksistensi Tim RBI. Dalam peraturan dijelaskan
bahwa agen perubahan dicalonkan oleh pimpinan, diseleksi atau disaring oleh Tim
RBI, dan ditetapkan oleh pimpinan. Artinya, pimpinan dan Tim RBI sebenarnya
adalah orang-orang yang diasumsikan memiliki kebijaksanaan. Tanpa asumsi
tersebut, tidak mungkin pimpinan dan Tim RBI diberi kewenangan untuk memilih dan menetapkan agen perubahan.
Singkatnya,
pimpinan dan Tim RBI itu sendiri adalah orang-orang terpilih yang dianggap
sehat. Namun karena pimpinan dan Tim RBI adalah panitia pembentukan agen
perubahan, maka mereka tidak dapat memilih dirinya sendiri. Padahal, yang
namanya agen perubahan itu biasanya sedikit. Sebagaimana dijelaskan oleh Arnold
Toynbee bahwa orang-orang pendobrak sejarah (Toynbee menyebutnya orang
kreatif) biasanya berjumlah sedikit. Oleh karena itu Toynbee menyebut
orang-orang kreatif ini sebagai minority
creative. Demikian juga dalam instansi pemerintah. Agen tercerahkan juga
berjumlah sedikit. Tapi orang yang sedikit ini sudah tersaring duluan menjadi
Tim RBI. Akhirnya agen perubahan adalah nominasi gagal dalam pembentukan Tim
RBI.
Kontradiksi
ketiga adalah terkait dengan penjaringan “orang
dalam”. Sudah disinggung di awal,
Permenpan 27 masih bersikeras akan adanya agen internal instansi yang tidak
tertulari sakit. Agen ini memiliki kekebalan atau imun sehingga separah-parah
sakit instansinya, dia bisa tetap sehat sendirian. Agen perubahan yang
dibayangkan Permenpan 27 seperti
karakter Thomas dalam film Maze
Runner The Death Cure. Thomas
sejak lahir memiliki imun alami yang kebal terhadap
Virus Flare, sementara yang lainnya tidak. Permenpan 27 percaya bahwa ada ikan
pilihan yang tetap berasa tawar sekalipun hidup di air laut.
Hal ini bertolak
belakang dengan gagasan Carey yang mengatakan bahwa KKN dalam instansi
pemerintah adalah fenomena kelembagaan. Artinya, penyakit yang diderita suatu
instansi sebenarnya sudah menjalar ke segala lini. Jika ini benar, kita
seharusnya sulit berharap pada agen perubahan yang berasal dari orang dalam
instansi.
Kontradiksi-kontradiksi
inilah yang mendorong saya untuk mengatakan bahwa Permenpan 27 akan kesulitan mencapai
tujuan-tujuannya. Permenpan 27 hanya menganjurkan bahwa birokrasi yang sakit
dapat diobati dengan mencari imun dari dalam tubuh sendiri. Padahal, sakit yang
diderita oleh birokrasi sudah cukup parah sehingga membutuhkan rujukan ke
dokter atau rumah sakit. Minimal,
faskes tingkat pertama-lah.
What have to be done?
Apa solusinya?
Pertama, kebijakan tentang agen perubahan harus dalam perspektif elit.
Kesalahan Permenpan 27 adalah menutup
mata terhadap adanya budaya paternalistik dalam tubuh
birokrasi. Sehingga, agen perubahan boleh diisi oleh pemimpin rendahan atau
bahkan staf pegawai tanpa jabatan struktural. Dalam iklim paternalistik, agen
perubahan tidak dapat merubah apa-apa. Ia hanya akan jadi obat anestesi. Bukan
obat yang menyembuhkan.
Oleh karena itu,
perumusan kebijakan tentang pembentukan agen perubahan harus berperspektif elit
dan tetap mempertimbangkan budaya feodal masih bercokol di birokrasi kita. Perubahan
yang menyangkut kebijakan tidak bisa dilakukan oleh selain pimpinan tinggi.
Sebagaimana dikatakan oleh Dwiyanto di atas bahwa dalam kultur paternalistik plus Weberian, posisi
pimpinan sangatlah menentukan.
Dengan
demikian, agen perubahan yang dicari bukan lagi pemimpin dengan jabatan
struktural rendah atau staf biasa, melainkan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).
Kedua, lantaran
sakit birokrasi sudah melembaga, mengandalkan sistem imun saja tidak cukup.
Penyembuhannya harus lebih intensif dengan pergi ke dokter. Maksudnya,
intervensi keagenan membutuhkan peran dari pihak luar. Saya membayangkan bahwa
JPT tidak boleh berlama-lama dalam satu instansi. Kementerian yang membidangi
masalah kepegawaian harus jeli merotasi para JPT agen perubahan secara reguler. Rotasinya tentu saja bukan di dalam instansinya
sendiri, melainkan antar instansi. Jadi, orang luar yang
didapuk sebagai agen perubahan di suatu
instansi ini tetaplah seorang ASN, namun ASN yang
dipilih dan dirotasi secara
berkala di lintas kementerian/lembaga. Sehingga, sistem rekruitmen agen
perubahan tidak dilakukan oleh Tim RBI, namun oleh kementerian/lembaga yang membidangi
masalah kepegawaian.
Dengan menerapkan perspektif elit, agen perubahan tidak lagi dianggap sebagai isapan jempol, namun memiliki kapasitas untuk benar-benar merubah instansi pemerintah. Sistem rotasi JPT yang didapuk sebagai agen perubahan dapat menghasilkan agen perubahan yang tangguh, ibarat obat yang benar-benar mengobati, bukan hanya sekedar anestesi. Dengan sistem seperti ini, agen perubahan tidak lagi hanya dicap sebagai agen status quo. Ada komen?
No comments:
Post a Comment