Zamzam Muhammad
Review Buku: Mematahkan Pewarisan Ingatan
Penulis: Budiawan
Penerbit: Elsam
Senja september 65 merupakan fajar kekuasaan orde baru. Karena dianggap sebagai tiang pancang kekuasaan, maka september 65 dimitoskan dan disakralkan oleh orde baru. Oleh orde baru, september 65 benar-benar dijaga, dirumat, diruwat oleh orde baru. Jika demikian ihwalnya, maka, akan muncul 2 skenario: pertama, jika sakralitas september 65 runtuh, itu merupakan terompet sangkakala bagi orde baru. Sebaliknya, kedua, keruntuhan orde baru akan berimplikasi pada runtuhnya mitos september 65. Namun dalam praktiknya sekarang, kedua skenario tersebut meleset. Faktanya, tumbangnya orde baru tidak diawali atau diikuti dengan runtuhnya wacana september 65 yang telah ditata sedemikian rupa oleh orde baru. Mengapa?
Dalam pentas politik Indonesia, september 65 merupakan
sebuah scene yang menceritakan tentang bagaimana semua aktor politik dan
ideologi di Indonesia saling mengkontestasikan kekuatan politiknya. Jika
diibaratkan sebagai pementasan, september 65 merupakan lakon drama yang
memperbolehkan siapapun menjadi aktor, sutradara menjadi aktor. Jangankan
sutradara, penonton pun menjadi aktor. Praktis, jika saat ini insiden berdarah
september 65 ingin ditelusuri kembali jejaknya, semuanya kebingungan. Siapa
yang salah, siapa yang benar, siapa korban, siapa pelaku. Semuanya telah menjadi simpul-simpul yang
sangat sulit untuk diburai. Selanjutnya, agenda rekonsiliasi pun agaknya masih
sulit direalisasikan.
Harus diakui, oleh mayoritas masyarakat indonesia sekarang, communist dan communism, adalah pihak yang dianggap bersalah terkait dengan
pecahnya tragedi g30s. Hal ini karena
PKI dianggap membunuh 7 orang jendral di lubang buaya. Oleh mayoritas masyarakat, tindakan ini
dianggap sebagai upaya untuk menggantikan ideologi pancasila dengan ideologi
komunisme. Pertanyaannya kemudian
adalah, mengapa masyarakat indonesia sangat membenci komunisme? Pertanyaan ini
penting untuk dijawab karena kebencian masyarakat indonesia terhadap komunisme menjadi
penghalang utama pengulitan mitos sejarah 65 dan agenda rekonsiliasi nasional. Dalam bertujuan untuk menjawab pertanyaan
inilah buku yang ditulis oleh Budiawan ini berbicara.
Dalam paparannya, Budiawan menyebutkan bahwa kebencian
mayoritas masyarakat Indonesia kepada komunisme disebabkan karena ideologi
komunisme erat diasosiasikan dengan paham ateisme. Di indonesia, ateisme adalah paham yang
dianggap salah, karena hal tersebut dianggap menyalahi sila 1 Pancasila. Ateisme
juga dianggap salah karena secara sosio kultural, masyarakat indonesia
merupakan masyarakat yang religius.
Artinya, di indonesia, menjadi ateis dianggap menyalahi konstitusi dan
dianggap tidak bermoral. Anggapan ini
bertahan hingga sekarang.
Namun yang menjadi menarik dalam buku ini adalah sang
pengarang tidak hanya berhenti di situ.
Buku ini lebih berupaya untuk menjelaskan mengapa masyarakat indonesia
mempersepsikan bahwa komunisme adalah juga ateisme.
Sebelum melangkah lebih jauh, menurut budiawan,
komunisme=ateisme merupakan wacana yang muncul secara masif paska g30s. Sebelum g30s, pelektatan komunisme=ateisme
mungkin sudah ada, namun belumlah masif seperti pasca g30s. Bisa jadi,
pembuatan mitos tentang penyiksaan (penyayatan, pencungkilan mata, pemotongan, maaf, alat kelamin) 7 jenderal turut
menguatkan wacana komunisme=ateisme.
Meminjam bahasa Geertz, wacana bahwa komunisme=ateisme merupakan fakta
setelah fakta (after the fact).
Merujuk pada hal di atas, ada sebuah pelajaran yang penting
untuk dipetik yaitu bahwa ‘makna’ terhadap peristiwa, gerakan, ideologi, bahasa
dan lain-lain, selalu berubah-ubah dalam sejarah. Dengan kata lain, kehadiran makna di dalam
dunia pun dapat ditelusuri penyebabnya.
Begitu juga makna ateisme yang muncul bersama komunisme juga merupakan
proses historis, yang dapat ditelusuri mengapa makna tersebut bisa muncul.
Dalam bukunya, budiawan menyebutkan bahwa penyamaan
komunisme dengan atheisme terbentuk dalam 2 fase sejarah. Pertama,
fase sejarah pra g30s dan. Kedua, fase
sejarah paska g30s.
Dalam fase sejarah pra g30s, makna ateisme belumlah
sepenuhnya melekat erat dengan komunisme.
Tidak dapat dipungkiri, memang, kompetisi antara PKI dengan
partai-partai/ormas-ormas islam tidak dapat dihindari. Namun yang harus dipahami adalah bahwa logika
materialisme yang digunakan oleh PKI seringkali diartikan sebagai logika
berpikir yang memungkiri keberadaan tuhan.
Konon, kata Budiawan, pemahaman umat islam/masyarakat non-PKI yang
seperti itu disebabkan karena terpengaruh oleh pemikiran jamaludin al afghani,
yang menganggap bahwa logika materialisme adalah logika berpikir yang
menyangkal akan keberadaan tuhan. Jadi, dalam
pemahaman mayoritas masyarakat non-PKI saat itu, komunisme dikerdilkan menjadi
materialisme per se. Sementara itu,
materialisme dianggap sebagai paham yang menolak keberadaan tuhan. Hasilnya, komunisme dianggap atheis.
Terhadap pandangan –untuk tidak mengatakan tuduhan– yang
demikian itu, anggota/simpatisan PKI masih memiliki ruang untuk menyampaikan argumentasi
tandingannya. Misal, HM Misbach. Beliau
adalah anggota PKI yang sangat religius.
Menurutnya, menjadi komunis adalah sebuah pilihan yang tepat bagi
seorang muslim yang mengaku islam tulen.
Tentu saja, hal itu disampaikan dengan bermacam-macam dalil
penguatnya. Bukan hanya Misbach, seorang anggota PKI yang lain, Hasan Raid juga
memiliki pandangan yang sama. Dengan
merujuk pada surat Al Anfal, Hasan Raid percaya bahwa komunisme, dan oleh karna
itu PKI, merupakan pilihan gerakan yang tepat bagi orang yang mengaku
islam. Tapi apa lacur, meskipun ada
argumentasi tandingan dari anggota-anggota PKI, pengasosiasian ateisme dengan
komunisme tidak dapat diredam. Dan tentu
saja, umat islam politik tidak mau mengalah. Bagaimanapun, mengasosiasikan
ateisme dengan komunisme telah menjadi bahasa politik sekaligus strategi
politik untuk menjangkar kekuatan politik PKI yang semakin besar.
Untuk memahami itu semua, sebenarnya ada satu lagi hal
penting yang untuk diketahui agar dapat memahami mengapa pertentangan itu bisa
terjadi. Dalam lanskap sosio kultural
masyarakat indonesia, umat islam merupakan mayoritas. Sehingga, merebut simpatik dari umat islam merupakan kunci
kemenangan partai politik. Wajar
kiranya, jika partai sekular, apalagi islam berusaha untuk menggunakan
terminologi islam sebagai bahasa politik.
Tentu saja, karena tidak ingin kehilangan ‘pasar’, partai-partai islam
berupaya mati-matian untuk menjustifikasi bahwa islamnya partai islam merupakan
yang paling benar. Di luar itu, abangan
atau, bahkan, salah. Jadi, pengateisan komunis juga mesti dipahami dalam
lanskap kompetisi politik antar partai.
Menjelang september 65, BTI melakukan aksi sepihak. Hal ini
semakin membuat panas situasi politik.
Dan tidak terkecuali pemaknaan ateisme komunis semakin menjadi-jadi. Yang tadinya hanya perang wacana, paska aksi
sepihak, mulai riskan dapat berubah menjadi perang fisik. Dan, benar, hal ini
terbukti ketika g30s meletus. Wacana
ateisme=komunisme dijadikan dalih untuk melakukan pembantaian terhadap
orang-orang komunis.
Budiawan melanjutkan, wacana ateisme=komunisme semakin kuat
paska g30s. Cerita-cerita seperti
penyayatan, pencungkilan mata, pemotongan, maaf,
alat kelamin, menjadi penguat bagi kelompok non-komunis dalam menganggap bahwa
komunisme=atheisme. Selain itu,
cerita-cerita seperti guru PKI yang mengajari muridnya untuk tidak percaya
tentang keberadaan tuhan muncul dimana-mana dan direproduksi dari zaman ke
zaman. Selain apa yang dipaparkan
tersebut, saya juga pernah mendapati cerita tentang pembakaran alquran oleh
‘orang-orang’ PKI. Cerita-cerita
tersebut sangat kuat meneguhkan bahwa komunis=atheis. Saking kuatnya, orang non-pki menjadi lupa
akan adanya seorang komunis yang alim dalam beribadah. Pokoknya,
PKI=komunisme=materialisme=atheis=tidak bertuhan=tidak bermoral=tidak
pancasilais.
Secara umum, budiawan dengan sangat apik dapat menggambarkan
bagaimana proses kemunculan ateisme sebagai sinonim dari komunisme. Dengan
membaca buku ini, kita dapat mengerti bahwa ateisme yang melekat pada komunisme
hanyalah bentukan wacana dari para lawan politik PKI yang dapat dilacak secara
historis. Budiawan jelas sekali ingin
membuka ruang pemaknaan baru bagi pembaca, bahwa komunisme bukanlah paham yang
bisa dengan mudah disamakan dengan atheisme.
Komunisme adalah sebuah ideologi yang bergerak dalam aras ekonomi dan
mempersoalkan hubungan produksi antar manusia sebagai poros kritiknya.
Mantab Pula Kang..semakin Yakin Saja Aku..
ReplyDelete