Operasi Orientalisme
dan Orientasi Gerakan Islam: Sebuah Tinjauan Kritis
Ringkasan
Belakangan ini negara
berpenduduk muslim sedang menjadi sorotan banyak media di dunia. Bukan lantaran
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Tapi justru malah karena dinamika
politik internal negara yang tak kunjung stabil. Sementara itu, hampir dalam
benak setiap pribadi muslim meyakini bahwa Islam akan berjaya sekali lagi. Akan
tetapi, kejayaan yang seperti apa, masih ada dalam tanda tanya besar. Terkait
dengan itu, tulisan ini hendak mencandra bagaimana sebenarnya “kejayaan” itu
dimaknai dan dikonstruksi. Pemaknaan terhadap “kejayaan” ini penting karena
mempengaruhi orientasi perjuangan gerakan Islam. Dari tinjauan singkat ini,
beberapa kesimpulan muncul. 1) Makna kejayaan lebih condong mengarah pada
membangun kembali imperium besar yang kuat dan luas. 2) Oleh karena itu,
orientasi gerakan muslim adalah gerakan politik yang state oriented. 3) Dus, gerakan kultural dan gerakan ilmu nampaknya
menjadi kurang diminati. 4) Dampaknya, ketidakstabilan politik di negara-negara
berpenduduk muslim lebih menonjol daripada kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Ada satu yang lazim dari gerakan Islam
masa kini, yakni keyakinan bahwa Islam akan berjaya sekali lagi. Keyakinan ini didukung
oleh kenyataan sosio-historis bahwa Islam memang pernah memimpin peradaban
manusia. Pada periode tahun 750-1258 M, sumbangan ilmu pengetahuan dari umat
muslim tidak terhitung banyaknya. Islam menyumbang ilmuwan di bidang
kedokteran, matematika, fisika, sosiologi, sejarah, dan filsafat. Sejajar
dengan itu, luas kekuasaan Islam juga tak terkira luasnya, hampir mencakup
seluruh lingkaran Mediterania, Afrika, Asia, hingga Indonesia.
Pada 1453, pusat
kekuasaan Romawi Timur di Konstantinopel resmi menjadi daerah kekuasaan Islam
setelah Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil mengusir kekuasaan Konstantin.
Dilihat dari sudut pandang politik, penaklukkan Konstantinopel ini menandai
kuatnya kekuatan Islam di dunia. Namun, harus juga diakui dari sudut pandang
politico-history, penaklukkan Konstantinopel ini adalah awal dari kemunduran Islam
sebagai imperium, dan kemunculan benih-benih imperium Eropa yang bakal
menguasai hampir lebih dari 85 permukaan bumi.
Perubahan politik di Konstantinopel
memaksa para pedagang Eropa untuk mencari jalur baru bagi perdangangan. Latar
belakang inilah yang menyebabkan Diaz dan Colombus berlayar mengarungi samudra
untuk menemukan jalur baru perdagangan menuju India, China, dan Asia Tenggara.
Dan dalam proses pelayaran itulah, Diaz sampai di Tanjung Harapan Afrika dan
Colombus sampai ke Benua Amerika. Penemuan daratan dan jalur baru inilah yang
kemudian menghadirkan kesadaran baru bagi orang Eropa bahwa emas dan perak tak
perlu dicari lewat jalur sutra.
Inilah tempo di mana
orang-orang Eropa merampas kekayaan alam Amerika, hingga akhirnya mendatangkan
aliran modal yang cukup deras. Inilah waktu di mana bangsa-bangsa Eropa mengangkut
keuntungan dari Asia. Dan, aliran modal yang cukup deras menuju Eropa inilah
yang menyebabkan ekonomi Eropa melesat sehingga bisa membiayai tumbuhnya embrio
peradaban baru menandingi imperium Islam.
Meluasnya kekuasaan Eropa
yang berujung pada globalisasi, mengundang berbagai reaksi dari kelompok Islam.
Hampir semua kelompok Islam mengritik (tepat di sini berarti ia telah menjadi
gerakan Islam) bangunan peradaban Eropa yang tidak bersandar pada tuntunan
wahyu Al-Quran. Sebab bagi mereka wahyu ditempatkan sebagai urusan pribadi
tidak sebagai dasar menangani urusan-urusan publik (baca: sekularisasi). Oleh
karena itu, kemiskinan merajalela, ketidakadilan global mencuat, konflik
dimana-mana.
Gerakan Islam yang
menentang hegemoni Eropa ini kemudian terbagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang mengkritik
kekuasaan negara tidak berdasarkan syariah. Dari sudut pandang kelompok ini,
kekuasaan Eropa dianggap telah mempromosikan sistem pemerintahan yang berdasar
pada rasionalitas publik (demokrasi). Gerakan
politik menjadi ciri khas pembela pendapat ini. Kedua, mereka yang mengritik
sistem dan tata nilai kehidupan yang tidak berlandaskan pada nilai dan semangat
wahyu. Dari sudut pandang ini, kebudayaan warisan eropa yang sekuler itu
(pengetahuan termasuk di dalamnya) menjadi objek utama yang harus diperiksa,
kalau perlu dirubah. Gerakan kebudayaan
menjadi ciri khas pembela pendapat ini.
Bahan bakar dan
semangat gerakan Islam dapat ditemukan dalam wahyu Al-Quran,
dan pengalaman historis (Islam pernah memimpin peradaban). Dalam Al-Quran,
umat Islam adalah umat terbaik yang datang untuk manusia. Alquran juga tidak
menghendaki umat Islam hanya diam saja melihat kemungkaran. Lebih dari itu,
umat Islam harus membentuk barisan yang kokoh dan teratur untuk menyerukan kebenaran dan kebaikan. Semangat gerakan Islam tidak
hanya datang dari wahyu, namun juga
pengalaman sejarah di masa lalu. Secara historis Islam
pernah mengalami zaman keemasan. Dengan dua sumber
inilah, imperatif bahwa Islam akan jaya sekali lagi menjadi bernyawa.
Persoalannya adalah, kejayaan seperti apa yang hendak dicapai umat muslim
sekarang? Kadang-kadang untuk menjawab tantangan masa depan, kita sering menggunakan masa lalu
sebagai referensi.
Bagaimana masa lalu dicitrakan dan diwariskan?
Bagaimana masa lalu
itu hadir sedikit banyak akan menentukan orientasi perjuangan-perjuangan
kelompok Islam. Namun, karena orientalisme, dan barangkali memang warisan
sejarah lainnya, informasi yang datang justru banyak bercerita tentang kejayaan
Islam dalam hal luas imperiumnya, luas kekuasaannya, dalam hal rebut-rebutan
kekuasaannya, dalam hal penaklukkannya. Bukan dalam hal warisan ilmu
pengetahuannya. Hal ini bukan berarti sumber-sumber bacaan yang berkaitan
dengan peninggalan ilmu pengetahuan Islam itu tidak
ada. Namun semua ini lantaran umat Islam dibatasi pengetahuannya oleh berbagai
macam kerangkeng diskursif yang datang beriringan dengan kekuasaan Barat. Tulisan ini akan membahas soal ini
perlahan-lahan.
Soekarno butuh cerita
kejayaan majapahit untuk yakin bahwa Indonesia punya keniscayaan sejarah untuk
merdeka. Soeharto butuh merekonstruksi wacana 30 september sebagai landasan
bangunan rezimnya. Di sini informasi sejarah menjadi cerita yang tidak hanya
hadir di masa lalu dan untuk masa lalu. Lebih dari itu, informasi sejarah bisa
dibuat hari ini untuk kepentingan hari ini dan masa depan. Tepat disinilah
sejarah bisa dijadikan instrument kekuasaan yang berkepentingan melanggengkan
kekuasaan.
Begitu juga umat
muslim kebanyakan. Kejayaan masa lalu
bisa jadi semangat dan citra untuk menentukan orientasi perjuangan.
Ironisnya, informasi yang datang tentang sejarah Islam kebanyakan bercerita tentang
perebutan kekuasaan antar dinasti Islam, penaklukan dinasti Islam terhadap
teritori lain, kekecawaan satu dinasti terhadap lainnya, dst. Sebaliknya, sangat sulit sekali mencari
informasi tentang genealogi dan warisan pemikiran ilmuwan Islam di masa lalu. Dengan
kata lain, sejarah politik lebih banyak hadir daripada sejarah
kebudayaan dan pengetahuan. Terkait hal ini, mari lihat pendapat Azyumardi Azra
ketika mengkomentari buku Ira M. Lapidus:
Walau
Lapidus memandang perkembangan historis distingtif masyarakat-masyarakat muslim
seperti itu, ia tidak tergelincir dalam penekanan yang berlebihan pada politik.
sekali lagi, ia terhindar dari penyajian karyanya ini sebagai sebuah sejarah
politik (history of politics), seperti
lazim pada banyak buku sejarah Islam yang lain. Seperti diketahui, selama ini
apa yang disebut sebagai sejarah Islam atau sejarah umat Islam adalah sejarah
politik, sejarah tentang bangkit dan runtuhnya dinasti-dinasti muslim. Dari
sudut ini, karya lapidus merupakan suatu bentuk “sejarah baru” (new history) yang juga sangat
memertimbangkan perkembangan nonpolitik umat Islam atau tegasnya yang disebut
sebagai perkembangan kultural distingtif tadi.
Dari kutipan panjang
di atas, Azra melihat bahwa historiografi Islam ternyata lebih menekankan pada
sejarah politik Islam, yakni jatuh dan bangkitnya dinasti-dinasti muslim.
Padahal, Azra melanjutkan, sejarah peradaban tentu saja tidak hanya mengenai
sejarah politik, namun juga sejarah kultural, intelektual dan keagamaan.
Penekanan pada sejarah politik ini bukan tanpa dampak. Sebab historiografi yang
seperti ini pada gilirannya akan berpengaruh pada orientasi gerakan Islam. Dus,
gerakan politik akan lebih kental nuansanya daripada gerakan kebudayaan dan
atau gerakan pengetahuan (dalam bahasa kita sering disebut dengan gerakan
ilmu).
Untuk menguji
hipotesa ini, saya berinisiatif memeriksa salah satu buku yang menulis tentang
sejarah Islam. Sampelnya, saya pilih secara acak. Saya putuskan untuk memeriksa
sebuah buku berjudul Islamic History, yang
diedit oleh Laura Etheredge, terbitan Britannica
tahun 2010. Dari judulnya, pembaca pasti memprediksi, buku itu
tidak akan hanya bercerita tentang sejarah politik umat muslim terdahulu. Tapi
jika dibuka lembar demi lembar, proporsi antara sejarah politik
dan sejarah warisan pengetahuan peradaban Islam jelas tidak
berimbang. Citra Islam yang dihadirkan dalam buku tersebut
kebanyakan adalah mengenai pergantian-pergantian kekhalifahan; mengapa satu
kelompok Islam membangkang terhadap dinasti penguasa; pergantian-pergantian
dinasti. Sebaliknya, tidak diterangkan peran peradaban Islam yang berjasa
melindungi dan mengembangkan warisan pengetahuan peradaban Romawi, Yunani, Cina,
Persia –yang pada saat itu empat imperium tersebut
sedang dalam masa kemunduran.
Tujuan Islamic History seolah-olah hendak
menjelaskan pada pembaca, mengapa dunia Islam saat ini masih berkecamuk perang
saudara, mengapa negara berpenduduk muslim justru malah banyak memproduksi
teroris, mengapa negara berpenduduk muslim sulit melakukan demokratisasi. Dengan
caranya, buku tersebut seolah menjawab: “begitulah, sejarahpun mengatakan bahwa
mereka (peradaban Islam) lebih suka perang, suka berebut kekuasaan, suka
berselisih paham.” Dengan tidak mengecilkan hasil kerja keras para penulis buku tersebut,
saya harus mengatakan bahwa ideologi orientalisme terlihat masih sangat mencengkram kuat.
Edward Said, pahlawan
teori paskakolonial berkata bahwa dalam humaniora Barat, Timur
hampir selalu selalu dilukiskan
dalam citraan-citraan negative. Citraan-citraan itu antara lain adalah masyakat
timur yang bodoh, bar-bar, mengumbar nafsu binatang, suka perang, suka
perempuan, dsb. Terkait dengan itu, kajian sejarah mengenai Islam
–sebagaimana saya kutipkan di atas– cenderung mengetengahkan tema-tema politik
perebutan kekuasaan antar dinasti, kekecewaan kelompok Islam satu dengan
lainnya. Tema-tema ini hanya menyambung citraan-citraan Barat mengenai Timur yang
sudah ada bahkan sebelum abad pertengahan eropa.
Sebagai perbandingan,
mari kita cermati pandangan Ernest Renan mengenai Islam. Dalam salah satu
ceramahnya di Universitas Sorbonne 2 abad silam, Renan pernah mengatakan bahwa
ciri khas agama Islam adalah 1) selalu bertentangan dengan ilmu pengetahuan, 2)
tidak cocok bagi berkembangnya semangat ilmu pengetahuan metafisika dan
filsafat. Maksud dibalik pernyataan Renan itu jelas menandaskan bahwa Islam
hanya peduli pada hal-hal yang sifatnya kekerasan, peperangan, politik
perebutan kekuasaan, namun melupakan aktivitas intelektual. Terlihat jelas, ada
kesinambungan antara gagasan Renan 2 abad silam dengan gagasan yang ada dalam
buku Islamic History
yang
terbit di tahun 2010 itu.
Historiografi Islam
seperti ini menimbulkan dampak yang berbeda bagi peradaban Timur dan peradaban Barat.
Bagi peradaban Timur, dunia Islam khususnya,
mereka akan menyadari diri mereka ada di dalam pusaran kekecewaan dan
dendam yang diwariskan oleh nenek moyang. Sebaliknya, bagi peradaban Barat
Eropa, mereka akan mempertahankan citra bahwa peradaban islam
adalah bagian dari peradaban yang memang dari sononya suka perang dan rebutan kekuasaan. Kecenderungan
historiografi tentang Islam yang banyak menceritakan tentang sejarah politik,
berdampak sampai sekarang.
Lantaran terpenjara
oleh historiografi orientalisme, orientasi gerakan Islam menjadi gerakan
politik yang negara sentris. Ini karena,
kejayaan Islam yang dihadirkan oleh sejarah adalah Islam sebagai imperium yang
memiliki teritori kekuasaan sangat luas dan besar.
Bukan Islam yang mewarisi ilmu pengetahuan bagi peradaban dunia. Makanya dalam
praktik lapangan, usaha untuk kembali kepada kejayaan Islam diejawantahkan
menjadi usaha-usaha politik –usaha-usaha merebut kekuasaan negara, usaha-usaha
khas kaum imperialis– . Sementara itu, gerakan kebudayaan atau gerakan intelektual menjadi kurang
menonjol. Inilah mengapa gerakan politik
“negara sentris” menjadi cenderung menonjol dalam gerakan Islam daripada
gerakan ilmu. Hal ini tidak lain karena historiografi peradaban Islam condong mengkonstruksi sejarah politik Islam. Di titik ini, berlaku sebuah hukum: wacana menggiring realitas,
bukan realitas
yang menggiring wacana. Seperti yang dikatakan oleh M. Syafii Anwar:
Problemnya
terletak pada fakta bahwa di luar problem-problem sosio-politik yang
didiskusikan oleh para sarjana itu terdapat problem-problem menyangkut cara
muslim menghayati pemikiran politik Islam normative. Sungguh pemikiran politik Islam
bukan saja terikat terhadap pendekatan-pendekatan normative mengenai Islam dan
negara, melainkan juga memengaruhi cara muslim bereaksi terhadap politik
negara. Pandangan mengenai pemikiran politik Islam telah menciptakan perdebatan
dan perbedaan-perbedaan opini di kalangan para sarjana muslim. Perdebatan ini
tidak selamanya bersifat intelektual, tapi juga kerap direalisasikan dalam ke
dalam praktik-praktik politik, terkadang bahkan mengarah pada kekacauan dan
kekerasan.
Selain distorsi pengetahuan
sejarah, ada lagi yang membuat gerakan Islam menjadi condong menjadi gerakan
politik yang negara sentris. Yaitu pengalaman kolonialisme Eropa. Sejak Konstantinopel
ditaklukkan, pedagang Eropa mulai tertantang untuk mencari jalur perdagangan
baru. Pasifik yang tadinya masih gelap gulita, dijelajahi oleh para pedagang cum pengelana Eropa. Ditemukanlah jalur
menuju Amerika, dan Asia via
Samudra Pasifik. Ini artinya, orang Eropa tak perlu lagi
melintasi dunia Islam jika mau ke China, India, atau Asia Tenggara. Tapi cukup
mengambil jalan pintas lewat Samudra Pasifik. Lebih jelasnya, lihat gambar
berikut ini.
Gambar 2. Jalur perdagangan
dunia sebelum Konstantinopel dikuasai Islam
Gambar 3. Jalur
perdagangan dunia setelah konstantinopel dikuasai Islam
Penemuan benua Amerika
dan jalur baru menuju India, China dan Asia Tenggara ini perlahan-lahan
menyurutkan kekuatan ekonomi dunia Islam. Di Amerika orang-orang Eropa menemukan
emas dan perak yang melimpah. Limpahan logam mulia ini kemudian di angkut ke Eropa.
Dampaknya, menyebabkan harga perak dunia menjadi relative turun. Kenyataan ini
merugikan belahan dunia Islam yang saat itu menyimpan banyak perak. Praktis,
kekuatan ekonomi dunia Islam relative mengalami penurunan.
Jalur perdagangan
menjadi sedikit berubah. Beramai-ramai orang Eropa datang mengeksploitasi Amerika.
Pada saat yang sama, di Amerika terjadi wabah penyakit. Kejadian itu meratakan
jalan bagi para pendatang Eropa untuk mengeksploitasi amerika.[1]
Seiring dengan itu, emas, perak dan bahan-bahan pokok dari Amerika mengalir ke Eropa
yang pada gilirannya menciptakan kekayaan bagi bangsa-bangsa Eropa. Kejadian
ini menimbulkan dampak psikologis bagi bangsa Eropa. Dampak psikologis itu
adalah munculnya gairah untuk mengkoloni wilayah lain, atau dalam terminologi
Said disebut dengan “ideologi impresif”. Tumbuh kembangnya ideologi impresif di
benak bangsa-bangsa Eropa inilah yang mendorong Belanda mengkoloni nusantara; Inggris
mengkoloni India; Prancis mencari tanah jajahan di Afrika; Portugis dan Spanyol
semakin kukuh di Amerika dan bercokol di Maluku dan Filipina. Praktik kolonialisme ini mengalirkan limpahan kekayaan ke Eropa. Hal ini pada
gilirannya mendorong kemajuan iptek Eropa, yang sering kita
sebut sebagai revolusi industri.
Semakin besarnya
kekuatan Eropa di bidang ekonomi dan iptek ini memiliki efek langsung terhadap
peradaban Islam yang berada di lingkaran Mediterania, Afrika, Timur Tengah, Asia
Selatan, dan Asia Tenggara. Dengan cepat sekali bangsa-bangsa Eropa mulai
mengukuhkan kekuasaannya di negara-negara berpenduduk Muslim. Spanyol dan Portugis
berbagi tanah jajahan di Maluku dan Filipina;
Belanda di
Jawa; Inggris di India;
Prancis di
Algeria. Secara bergiliran Tunisia, Mesir, Sudan, Libya
dan Moroko dikuasai oleh Prancis, Inggris, dan Italia. Setelah Perang
Dunia I Inggris dan Prancis menjadikan Suriah, Lebanon, Palestina, Iraq dan
Transjordan di bawah kekuasaannya. Sementara itu,
teritori
umat muslim di tanah Balkan, Russia, dan Asia Tengah jadi jatah
kekuasaan Uni Soviet.
Dapat dipahami,
mengapa umat muslim merasa tertekan oleh adanya kekuasaan politik baru yang datang dari Eropa. Masuk akal jika kemudian gerakan
politik menentang kekuatan politik Eropa menjadi bersemi di dunia Islam.
Kebutuhan menangkal kekuatan politik Eropa ini juga menjadi lahan yang subur
bagi munculnya pemikiran politik Islam.
Di Asia Tenggara,
umat muslim menentang Belanda; tariqah Sanusi melawan Italia;
gerakan Mahdi di Sudan; tariqah Salihi di
Somalia; dll. Selain itu muncul juga pemikiran-pemikiran politik
yang memimpikan kembali persatuan arab di bawah bendera Islam. Munculnya pemikiran Pan-Arab merefleksikan romantisme kejayaan Islam
sebagai imperium besar. Artinya, pengalaman dikoloni oleh Eropa memiliki andil yang
besar dalam mengarahkan gerakan Islam menjadi gerakan politik yang cendrung
negara sentris.
Di sinilah, “kembali
pada kejayaan Islam” lebih condong bermakna upaya untuk menegakkan Islam
sebagai kekuatan politik daripada kekuatan intelektual. Barangkali karena
kecenderungan inilah, pendapat M. Abduh menjadi signifikan maknanya. Baginya, membangun
kembali tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam akan lebih bermakna. Sebab, dalam
pandangannya, kejayaan Islam masa lalu dicapai lebih karena masyarakat muslim
secara kreatif menginterpretasikan Al-Quran dan Hadist
untuk menjawab
persoalan-persoalan di masanya.
Mengingat kembali warisan intelektual peradaban Islam
Pengetahuan tidak
dapat diklaim oleh peradaban tertentu bahkan oleh agama tertentu. Logikanya
sederhana. Pengetahuan datang lewat medium bahasa. Sementara itu, adakah satu
peradaban yang boleh mengklaim telah menciptakan bahasa? Tentu tidak. Dalam
terminologi alquran, bahasa, demikian juga pengetahuan,
diajarkan oleh tuhan kepada Adam. Akan tetapi, tidak semua pengetahuan yang
dimiliki manusia itu bisa menimbulkan efek baik bagi lingkungannya dan bagi
manusia itu sendiri. Ini bukan lantaran tuhan telah mengajarkan kesesatan.
Namun lebih karena manusia tidak mau mengoptimalkan inderanya,
akalnya, hatinya, untuk melihat tanda-tanda kekuasaan tuhan. Oleh karena itu,
manusia perlu untuk terus menerus memeriksa pengetahuannya, atau dalam bahasa Al-Quran,
ia mesti terus menerus meminta kepada tuhannya supaya ilmunya ditambahkan. Dalam
kaitannya dengan hal ini, Al-Quran adalah wahyu
yang menuntun manusia menuju kesempurnaan budi dan pikiran.
Dari sini dapat kita
lihat spirit dalam ajaran Islam tidak mengajarkan manusia untuk berhenti
berfikir. Maka akan sangat aneh jika peradaban Islam yang besar tidak memiliki tradisi intelektual yang kuat. Sebelum Islam datang dibawa rasulullah,
perempuan disubordinasi dari laki-laki. Akan tetapi, setelah rasulullah datang,
perempuan diwajibkan untuk menuntut ilmu. Dalam masa kejayaan Islam, madrasah adalah lembaga pendidikan yang
ada hampir diseluruh belahan dunia Islam. Bahkan di Turki
sudah
mengenal sistem ijazah –sebuah tanda
bahwa seseorang sudah menempuh pendidikan yang cukup. Dalam dunia Islam abad
13, misalnya, ada kewajiban dalam undang-undang saat itu yang mewajibkan
masyarakat untuk menuntut ilmu. Di masa kekhalifahan Al-Ma’mun, pendidikan
diselenggarakan dalam suatu lembaga bernama Bayt al-Hikma. Model madrasah seperti ini jamak ditemukan di
Khurasan, Suriah, dan propinsi-propinsi dinasti Ottoman seperti
Anatolia, Balkan dan Kairo. Dalam lembaga-lembaga ini, pengetahuan warisan dari
Yunani, Persia, Cina, India, diadopsi dan dikembangkan. Misalnya, Al Ma’mun
memerintahkan para intelektualnya menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani.
Penerjemahan ini juga dapat ditemukan pada saat masa kekhalifahan Al-Hakim,
dinasti Fatimiyah.
Dari peradaban muslim
ini juga muncul pemikir seperti Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Nadim, Ibnu
Sina, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd. Di bidang astronomi, Al-Battani membuat
katalog tentang bintang-bintang pada tahun
880 M. Karya-karyanya berhasil mendorong kemajuan ilmu
astronomi dengan teknik dan akurasi yang mencengangkan. Bahkan sampai abad 16,
universitas di Eropa masih menggunakan karya-karyanya sebagai referensi utama.
Di bidang astronomi pula para pemikir muslim menentang pendapat Aristoteles yang
menggagas adanya gerak epicycle
planet. Gagasan ini ditentang Ibnu Bajja dan Ibnu Rusyd. Penentangan terhadap epicycle ini kemudian menjadi bahan
kajian bagi ilmuwan astronomi selanjutnya. Pada abad 13, ilmuwan Islam di
Maragha memaparkan bahwa alam langit adalah kombinasi dari lingkaran-lingkaran
yang seragam. Beberapa abad kemudian Copernicus mengadopsi gagasan tersebut. Di
bidang matematika, Al-farabi menggagas pembagian antara matematika praktis dan
teoritis. Matematika praktis fokus pada angka-angka yang digunakan untuk
menghitung benada-benda. Sementara itu matematika teoritis fokus pada
angka-angka abstrak. Penerjemahan buku karangan filsuf kenamaan Yunani bernama Nichomaus ke dalam
bahasa arab berjasa dalam mengembangkan ilmu matematika, geometri,
astronomi. Ibnu Sina mengarang buku di bidang kedokteran berjudul Qanun fi’l – Tibb yang menjadi buku teks
standar di Eropa selama lima ratus tahun. Sebetulnya masih banyak lagi ilmuwan Islam
dan sumbangannya bagi peradaban dunia jika mau ditulis satu persatu. Tapi ini
bukan tempatnya.
Kesimpulan
Yang perlu ditekankan
disini adalah bahwa kejayaan peradaban Islam terbukti tidak hanya ditandai dengan keberhasilannya
membuat imperium yang luas. Jadi, kembali kepada kejayaan bukan hanya dapat dicapai
melalui gerakan politik semata. Namun bisa juga melalui gerakan ilmu.
Kenyataannya, negara-negara berpenduduk muslim sekarang tergolong negeri yang
pendidikan dan kualitas pendidikan manusianya rendah (ihat
dalam Gambar 4).
Gerakan ilmu harus
diarusutamakan di negara-negara berpenduduk muslim. Sungguh, ilmu
pengetahuanlah yang menjadi tulang punggung peradaban umat muslim.
Hal ini terpantul dari kalimat indah dari Ibnu Al-Hajj, seorang hakim di Kairo yang
hidup pada masa abad 14: Kala seorang intelektual
meninggal dunia, seluruh makhluk ciptaan tuhan akan mengungkapkan dukacitanya,
termasuk burung-burung di udara, dan ikan-ikan di lautan.
Gambar 4. Human
Development Index 2012
Referensi
Anwar, M. Syafi’I, Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana Dan
Politik Pasca Orde Baru, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A. F (ed.), Menjadi
Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam Di Bumi Nusantara, (Bandung: Mizan,
2006), 751-814
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial,
Sejarah Total, Dan Sejarah Pinggir, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.
F (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam Di Bumi Nusantara,
(Bandung: Mizan, 2006), 3-29
Blaut, J. M., The Colonizer’s Model Of The World:
Geographical Diffusionism and Eurocentric History, (New York: The Guilford Press, 1993),
Etheredge, Laura S., Islamic history, (Newyork: Britannica,
2010)
Frank, Andre Gunder, World Accumulation
1492-1789, (New York: Algora Publishing, 1978)
Martin, Richard C., Encyclopedia Of Islam And The Muslim World,
(Newyork: Macmillan, 2003)
Said, Edward. Orientalism. London: Penguin, 2003
Sumber gambar:
[1] Persentuhan orang eropa dengan orang amerika
menyebabkan wabah penyakit cacar dan pes menjangkiti amerika. Tentu saja, orang
amerika yang belum memiliki pengalaman penyakit yang sama, tidak memiliki
sistem imun sebagaimana orang eropa. Seiring dengan tragedy penyakit yang
melanda orang-orang amerika, orang-orang eropa semakin mudah menguasai,
menaklukkan dan menduduki amerika.
No comments:
Post a Comment