Zamzam Muhammad Fuad
Bagaimana cara agar ‘rame-rame’ wacana pilkada langsung atau tidak bisa kita pahami kemunculannya?
Saya mengusulkan empat nalar yang menuntun penilaian komentator politik terhadap politik Indonesia saat ini. Empat nalar yang saya maksudkan yaitu nalar konstitusional, nalar sejarah, nalar rasionalitas tujuan, dan nalar pasar.
Nalar konstitusional berasal dari pemahaman bahwa seluruh kehidupan bernegara harus bertumpu pada konstitusi. Dalam konstitusi ada cita-cita bernegara sekaligus bagaimana mewujudkannya. Bagaimana sumber daya ekonomi harus disusun, dan bagaimana kekuasaan diselenggarakan harus mengacu pada konstitusi agar tepat sasaran dan tepat metode. Maka, sesuai dengan nalar ini, menjadi haram hukumnya jika manajemen kekuasaan tidak diilhami oleh konstitusi dan ideologi. Dalam konteks indonesia, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, UUD 1945, adalah hulu energi bagi para pengusung nalar konstitusi.
Nalar sejarah hadir karena kecenderungan manusia itu sendiri yang meyakini “kembali ke sumber” adalah jalan untuk mencapai masa depan yang gilang gemilang. Seperti judul dalam film laris era 90an, “Go Back To The Future”, yang mencampurkan antara “back” dan “future” sebagai essensi sebuah perjalanan/petualangan/pengembaraan. Jadi, kembali ke masa lalu bukanlah bentuk ketertaklukan terhadap tradisi atau orang-orang yang sudah mati, bukan juga persoalan karakter orang Barat atau Timur. Kembali ke sumber adalah fenomena yang lazim dialami manusia karena termotivasi untuk mengisi kembali, recharge, semangat yang lumer dan tercecer di sepanjang perjalanan ke masa depan. Dalam konteks indonesia, kembali ke masa-masa revolusi hampir seperti mencari sumber mata air murni karena sungai Orde Baru dan Reformasi sudah terlalu keruh dan tercemari.
Yang ketiga ialah nalar rasionalitas tujuan (Zweckrationalität). Nalar ini hadir untuk mencari mana gagasan yang paling mungkin diterapkan dan paling bisa mencapai tujuan berupa tuntutan sehari-hari. Dalam nalar ini, kebenaran hanya diakui benar sejauh mendatangkan manfaat. Lantaran orientasinya bukan nilai, maka cenderung tidak terlalu memusingkan teori, ideologi, bahkan konstitusi.
Nalar pasar eksis karena, pertama, sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang membenci kesepian. Kisah adam menginginkan adanya hawa merupakan purwarupa tentang kebencian manusia pada kesepian. Kedua, daripada menjadi abnormal, manusia lebih memilih menjadi normal. Sementara itu normalitas bukanlah sesuatu yang memiliki kebenaran di dalam dirinya. Yang normal adalah yang kebanyakan. Andai saja kita menemui orang berjalan dengan tangan, sekonyong-konyong mengatakan itu abnormal. Di situ abnormalitas muncul bukan berasal ketidakmasuk akalan atau ketidakbenaran penciptaan, melainkan dari perbandingan apa yang terjadi pada kebanyakan. “Yang banyak” menentukan normal atau abnormal. Kalau orang disuruh memilih, barangkali sedikit saja yang meniatkan diri menjadi abnormal. Membenci kesendirian dan abnormalitas mendorong manusia memosisikan diri pada yang kebanyakan. Pada titik tertentu dalam sejarah, “yang banyak” menjadi sebelas-duabelas dengan “yang benar” (demokrasi sebagian ada dalam logika seperti ini) Apalagi dalam masyarakat berkarakter kolektivis seperti Indonesia, berada di tengah-tengah orang banyak merupakan kenikmatan tanpa tanding.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa melalui keempat nalar ini polemik pilkada kemarin dipikirkan, dipertimbangkan, dan dicarikan jalan keputusannya.
Pembela nalar konstitusional akan menguji pilkada dengan Pancasila atau UUD 1945. Kalau dibaca lagi undang-undangnya, harus diakui aturan tentang pilkada memang berbeda dengan pileg atau pilpres. Sangat terbuka kemungkinan agar pilkada diserahkan saja pemilihannya pada DPRD. Namun ketika terjadi multitafsir terkait pasal maka batang tubuh konstitusi akan diperiksa melalui pembukaan konstitusi. Sampai di sini komentator sebenarnya mulai berada dalam nalar abu-abu: antara nalar konstitusi dan nalar sejarah. Sejarah dibuka lagi untuk mengetahui bagaimana sang perumus konstitusi (founding father) menafsirkan dan mengoperasionalisasikan konstitusi yang dibuatnya. Perumus konstitusi di sini ibarat pengarang, the knowing subject, yang dianggap memiliki otoritas dalam menafsirkan teks yang dibuatnya sendiri. Kasusnya sama seperti orang islam yang dianjurkan kembali pada rasul Muhammad saat terjadi silang pendapat penafsiran wahyu Al quran.
Ketika tafsir konsititusi dan sejarah masih bersilang sengketa, saatnya kaum yang gemas pada perdebatan teori untuk unjuk muka. Mereka inilah para pembela zweckrationalitat yang cenderung melihat hasil daripada proses. Mereka yakin, sepanjang pilkada langsung/tidak langsung mampu menghasilkan pemimpin yang bisa diandalkan, maka sistem itulah yang dipilih. Saya banyak menemukan masyarakat yang tidak paham secara mendalam sistem-sistem pilkada, tapi dia bisa memilih salah satunya. Bagi mereka ini, pokoknya, sistem yang baik adalah yang menghasilkan orang seperti Bu Risma, misalnya. Ini adalah buah pikir yang ada dalam rel nalar zweckrationalitat. Jadi, konstitusional atau tidak, jarang dipertimbangkan.
Sementara itu, pembela nalar pasar memilih mana yang banyak saja. Jika media atau tetangga banyak yang memilih, misalnya saja, pilkada tidak langsung, para pembela nalar pasar akan mendukungnya. Sanksi karena memilih yang sedikit dianggapnya terlalu berisiko. Ancaman yang datang terutama justru bukan berasal dari intimidasi sosial atau pembullyan seperti yang akhir-akhir terjadi, namun lebih karena takut menjadi bagian dari yang sedikit –sebuah syndrom yang kita kenal dengan “minder”, serapan dari bahasa Belanda yang dalam bahasa aslinya berarti “lebih sedikit dari”.
Kelihatannya tidak susah memasukkan pendapat para komentator ke dalam empat kategori nalar di atas. Terus mana yang benar? Santai saja, dalam politik tidak ada nalar yang benar.
Yang ada hanyalah nalar yang cocok dengan cuaca hari ini.
Yang ada hanyalah nalar yang cocok dengan cuaca hari ini.
The Gaming World in 2021: The Gaming World in 2021
ReplyDeleteGaming 천안 출장마사지 World 【The Gaming 당진 출장마사지 World】truest slots, roulette, slots, live casino, poker, blackjack, live dealer, video poker. The 안성 출장안마 Gaming 광명 출장마사지 World is the 부산광역 출장안마