Zamzam Muhammad Fuad
Gerakan mahasiswa sedang menerima banyak kritik, baik
itu internal ataupun eksternal. Yang paling santer adalah mempersoalkan lunturnya
energi perjuangan gerakan mahasiswa. Hal ini terlihat dari kurangnya produksi
wacana alternatif yang diproduksi mahasiswa, minimalnya pembaruan aksi gerakan,
sedikitnya jumlah anggota, dsb. Tulisan ini akan mencoba menganalisis
permasalahan tersebut lewat pendekatan sosiologi pengetahuan. Pendekatan ini
meyakini bahwa pengetahuan menjadi faktor determinan yang menentukan tindakan
sebuah kelompok. Selain itu, sebagai alat analisa, sosiologi pengetahuan
berusaha menganalisis pembentukan pengetahuan yang mengendap dalam benak
kelompok sosial itu. Dalam tulisan ini gerakan mahasiswa dibayangkan sebagai
kelompok sosial yang memiliki seperangkat sistem pengetahuan tertentu.
Berubahnya tindakan mahasiswa diyakini lantaran ada perubahan sistem pemikiran
dalam gerakan mahasiswa tersebut.
Alam berpikir gerakan mahasiswa hampir selalu ditandai
oleh keyakinan ini: “dunia menyimpan hubungan yang eksploitatif. Dan tugas
gerakan mahasiswa adalah melenyapkan hubungan yang eksploitatif itu”. Tanpa meyakini
itu, gerakan mahasiswa akan bergeser statusnya menjadi club bermain atau komunitas senang-senang belaka. Hampir seluruh organisasi
gerakan mahasiswa saya rasa tidak menolak posisi ontologis itu.
Lalu, siapa mengeksploitasi siapa? Jawabannya tergantung
pada aspek sosiologis anggota organisasi gerakan mahasiswa itu sendiri. Jika organisasi
gerakan mahasiswa itu didominasi oleh perempuan, misalnya, maka eksploitasi
dibayangkan terjadi dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika organisasi
itu didominasi oleh para pecinta alam, taruhlah begitu, maka eksploitasi
dibayangkan terjadi dalam hubungan antara manusia dan lingkungan alam. Ada juga
organisasi yang percaya bahwa ekploitasi terjadi dalam hubungan antara kelas
sosial, borjuis dan proletar; eksploitasi dalam hubungan antara pasar dan
negara; eksploitasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat; dan
sebagainya.
Yang jelas, keyakinan bahwa dunia ini ditandai dengan
eksploitasi inilah yang menjadi karakteristik gaya berpikir gerakan mahasiswa. Pembayangan
akan adanya eksploitasi di dunia inilah yang saya namakan sebagai “imagined exploitation”. Dengan
menggunakan istilah ini, saya tidak hendak mengatakan bahwa eksploitasi
hanyalah citraan yang tidak berpijak pada kenyataan. Istilah itu saya gunakan
untuk menekankan 1) seluruh organisasi gerakan mahasiswa berpijak pada
keyakaninan bahwa di dunia ini ada eksploitasi; 2) bahwa setiap organisasi itu menafsirkan
eksploitasi secara berbeda-beda.
Hampir semua organisasi gerakan, baik itu mahasiswa
atau bukan, terdiferensiasi karena perbedaan dalam mendefinisikan imagined exploitation. Jika bukan karena
itu, hampir pasti perbedaan ditentukan atas dasar perbedaan metoda penyelesaian
eksploitasi, atau hal rimih timih yang
lain seperti egoisme pimpinan atau perebutan sumber ekonomi. Akan tetapi,
sekalipun organisasi-organisasi memiliki imagined
exploitation sendiri-sendiri, ada garis persamaan yang bisa ditarik di
masing-masing periode sejarah.
I
Akhir abad 19 hingga paruh abad 20 merupakan era saat
nasionalisme indonesia mulai tumbuh kembang, khususnya di kalangan elit pribumi
nusantara. Terdapat 5 keyakinan dalam nasionalisme yang sedang merambat itu,
yaitu 1) keyakinan bahwa “kita” adalah satu bangsa. 2) keyakinan bahwa “kita”
berbeda dengan “mereka”; 3) keyakinan bahwa “mereka” adalah penjajah yang
menjadi sumber malapetaka bagi “kita”; 4) keyakinan bahwa “mereka” tidak berhak
menjajah “kita”; 5) keyakinan bahwa “kita” bisa hidup lebih bahagia jika “mereka”
menyingkir dari kehidupan kita. Virus nasionalisme tersebut mulai merambati
beberapa elite pribumi nusantara ketika melakukan perjalanan ke eropa[1]
atau timur tengah[2]
–entah kepentingannya untuk belajar atau melakukan ibadah haji– atau lewat membaca buku-buku, koran-koran tentang
nasionalisme yang beredar atau dalam bentuk stensilannya hasil dari print capitalism[3].
Nasionalisme Indonesia mengambil bentuk yang unik
sebab menerabas batas-batas pulau, bahasa dan kesukuan. Basis nasionalisme
indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno, adalah perasaan satu nasib
dijajah oleh bangsa kulit putih susu, Belanda. Dengan begitu semakin nasionalis
pribumi nusantara, semakin luntur perasaan chauvinistiknya, semakin pudar
perasaan sektarianismenya, namun semakin kuat kebenciannya pada Belanda. Namun
betapa kecewanya kaum pribumi nusantara ketika hanya mendapati Indonesia dalam
bentuk imaji, bukan dalam bentuk yang konkret. Sebab indonesia yang konkret
adalah Hindia Belanda (Indonesia di bawah kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda). Indonesia yang konkret penguasa tertingginya adalah orang belanda,
administrasi pemerintahannya, perkebunannya, pabrik-pabriknya, dimiliki oleh
orang belanda dan eropa. Di tengah suasana inilah mulai muncul organisasi
pergerakan kaum pribumi yang tujuannya adalah untuk menghancurkan negaranya
sendiri. Sebab dengan cara demikian itulah kemiskinan kaum pribumi akan lenyap,
sementara kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin akan muncul. Dengan begitu
kita boleh katakan bahwa pada tahun
1900-1945, imagined exploitation kaum
pergerakan indonesia adalah mempersoalkan hubungan antara negara dan bangsa
(antara Hindia Belanda dan Indonesia).
Setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjadi aktor
politik yang amat populis bahkan mampu mengendalikan arah politik indonesia.
Awalnya, soekarno terobsesi mendirikan partai tunggal dan juga membentuk partai
yang berisikan kumpulan golongan fungsional. Namun gagal. Setelah 1960 soekarno
mulai mengenalkan gagasan Nasakom dalam politik indonesia yang telah ia
pikirkan sejak tahun 1928. Soekarno memobilisir kaum pergerakan untuk menerima
haluan politik Nasionalis, Agama, Komunis. Satu hal yang paling perlu
digarisbawahi di sini adalah bahwa Soekarno berusaha memobilisir
kekuatan-kekuatan politik indonesia untuk melawan kekuatan imperialisme,
khususnya imperialisme AS. Di bawah nasakom, partai komunis sekalipun terpaksa
menanggalkan impiannya melakukan revolusi sosial[4]
dan beralih memperjuangkan revolusi nasional[5].
Pada
era kepemimpinan soekarno, kaum pergerakan berhasil dimobilisasi untuk
mengalihkan energi revolusionernya untuk menangkal kekuatan negara lain yang
masih mencoba untuk mengkoloni indonesia dengan cara apapun. Perlawanan
terhadap neo-kolonialisme dan neo-imperialisme adalah agenda utama kaum
pergerakan. Soekarno berhasil meyakinkan rakyat indonesia bahwa kesengsaraan
rakyat indonesia disebabkan lantaran negara imperial terus berupaya menjegal
kemerdekaan indonesia. Maka satu-satunya cara agar sejahtera adalah menghadang
dan menantang negara-negara imperial. Visi ini berhasil ditransformasikan
kepada hampir seluruh organisasi gerakan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
di bawah kepemimpinan Soekarno, imagined
exploitation kaum pergerakan fokus mempersoalkan hubungan antara negara dan
negara (indonesia dan negara imperial,
terutama AS).
Tidak seperti Era Soekarno yang penuh dengan sentimen
terhadap imperialis, Soeharto justru mengandalkan bantuan negara imperialis
dalam membangun rezimnya. Soeharto menjaminkan kestabilan politik bagi
investasi asing di Indonesia. Hal ini berarti Soeharto harus memikirkan cara
agar sentimen kaum pergerakan terhadap imperialis teralihkan. Lantaran
membutuhkan bantuan modal dari negara manapun yang mau membantu, maka haram
hukumnya menanamkan kebencian pada negara manapun. Akhirnya, Soeharto
membuatkan sekaligus memobilisasikan sasaran kebencian pergerakan kepada
“angin” atau barang tak kasat mata bernama ideologi komunis.
Pendidikan, media,
dan saluran-saluran komunikasi yang lain dikendalikan sedemikian rupa agar
komunisme dapat diyakini sebagai satu-satunya
aral yang menghambat cita-cita kemerdekaan. Perang ideologi untuk sementara
menandai imagined exploitation
organisasi gerakan. Namun hal ini tidak lama sebab perlahan namun pasti
organisasi gerakan tahu bahwa perang ideologi hanyalah kedok untuk menutupi
korupsi, investasi asing dan hutang luar negeri besar-besaran, perampasan tanah
adat, pengebirian kebebasan berpendapat. Tepat disinilah organisasi mahasiswa sadar
betul bahwa negara-lah yang menjadi biang kebobrokan republik. Aksi malari 1974
merupakan tiang pancang munculnya imagined
exploitation baru dalam benak mahasiswa, yakni keyakinan bahwa negara
merupakan aktor kesengsaraan masyarakat indonesia. Dengan kata lain, imagined exploitation kaum pergerakan
era orde baru terletak pada hubungan antara negara dan masyarakat.
II
Memasuki reformasi, persoalan di indonesia semakin
sulit diurai dan diretas ujung pangkalnya. Di era neoliberal ini, indonesia
digempur oleh korporatokrasi yang mampu mengendalikan pasar dan negara. Percampuran
neoliberal dan demokrasi ternyata hanya menghasilkan menguatnya rezim pasar,
membudayanya rezim konsumsi, namun menyebabkan banalitas intelektual. Kita
semakin sulit saja mencari pemimpin yang pemersatu seperti soekarno, yang
cerdasnya seperti hatta, yang berani seperti tan malaka, yang welas asih
seperti dachlan, yang patriotik seperti hasyim asyari, yang santun seperti agus
salim, yang sederhana seperti natsir. Yang muncul sekarang adalah pemimpin-pemimpin
yang pertama-tama tunduk pada nafsunya sendiri, tunduk pada senior, kemudian
tunduk pada istrinya, tunduk pada atasannya, dan akhirnya tunduk pada pasar dan
pemodal besar.
Kita akan, dan sudah menyaksikan betapa tidak
menariknya membeli banyak buku, membaca banyak buku, membuat banyak tulisan,
berdiskusi, dan datang ke forum-forum kajian. Ini sama artinya dengan
berpengetahuan sama sekali tidak ada gunanya. Inilah barangkali yang
dibayangkan Al farabi sebagai peradaban jahiliyah, al mudun al jahilliyah. Dalam peradaban jahil, kata al farabi,
menjadi manusia yang banyak tahu, sama sekali tidak berharga. Yang berharga
kini adalah menjadi manusia yang banyak uang.
Sekarang sudah saatnya anggota gerakan mahasiswa
menjadi intelektual yang sesungguhnya, bukan intelektual yang bohong-bohongan. Para
anggota gerakan mahasiswa harus sadar bahwa kerja mereka adalah kerja
intelektual, sebuah kerja yang concern pada pembangunan “kesadaran” (conscioussness). Menjadi akademisi yang
sesungguhnya berarti menegaskan dirinya masuk ke dalam speech community, komunitas yang gemar bergaul dengan permainan
bahasa, simbol-simbol, dan diskursus. Para intelektual gerakan mahasiswa harus
menjadi, mengutip Dhakidae, komunitas yang mempergunakan bahasa sebagai alat,
modal, medium, untuk mengolah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan pada umumnya.[6]
Hari ini kita dicekoki oleh dilema manipulatif yang
mempertentangkan antara teori dan praktik, antara diskusi dan aksi. Seolah-olah
diskusi adalah pilihan tersendiri, begitu juga aksi. Masing-masing harus
dipilih, sedangkan yang lain harus ditinggalkan. Sungguh itu adalah tipuan
paling jahat yang dibuat oleh anonim untuk melemahkan kaum pergerakan.
Kawan-kawan, pertentangan itu bohonglah adanya. Kemampuan ilmiah dan amaliyah 2
hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam hal ini, yang paling awal harus
dibangun adalah kemampuan ilmiah. Mari berkaca kepada para founding father,
sebagai orang yang tidak diragukan lagi “berpraktiknya” pada awalnya mereka
membuat studie club (Perhimpoenan
Indonesia; Studie club surabaya; studie club bandung dsb). Mahasiswa angkatan 1998 juga menikmati rumusan tersebut.
Dikunci di dalam kampus oleh rezim orde baru, justru menyuburkan kegiatan
diskusi internal kampus. Semua ini membenarkan perkataan Daoed Joesoef,
mahasiswa harus terlebih dahulu menjadi man
of analysis sebelum menjadi man of
public figure.
Kiat menjadi man of analysis sederhana saja, yaitu
menjadikan kegiatan diskusi, membaca dan menulis sebagai denyut utama kehidupan
mahasiswa. Sebab, di saat intelektualitas digugurkan, maka aktivisme pergerakan
menjadi kering, basi, katrok. Lihat saja, aksi-aksi solidaritas dan atau
pembelaan kaum lemah nampaknya hanya titipan politisi atau sekedar agar tak
dicemooh senior. Anggota organisasi kemahasiswaan hanya berani mengulangi apa
yang dilakukan oleh seniornya. Tidak berani kreatif keluar dari kotak. Yang
mereka lakukan hanyalah menjaga hati sang senior, agar tak diperlakuan buruk
oleh senior. Menyedihkan. Lantaran itulah pemikiran menjadi jumud, tidak
berkembang.
Cek saja dalam benak kita sendiri-sendiri. Bukankah
kita sudah seolah-olah tuntas kewajibannya ketika sudah melakukan demonstrasi?
Ada kelegaan di sana, bukan lantaran pembelaan terhadap rakyat kecil, namun
lantaran telah berhasil melakukan apa yang sejarah telah lakukan, yang senior
telah lakukan. Betul bahwa kita tidak boleh lupa sejarah, tapi gerakan kita
harus tetap refleksif. Membuka ruang-ruang pemikiran baru, aksi-aksi baru untuk
menyambut tantangan-tantangan baru. Disinilah tajdid diperlukan. Lalu apa
tawaran saya?
III
Memusuhi rezim neoliberal. Seperti sudah disampaikan, imagined exploitation merupakan penanda
utama organisasi gerakan mahasiswa. Di era menjingkraknya neoliberal,
korporasi-korporasi adalah pemain yang mampu mengendalikan arah pembangunan
politik, ekonomi dan budaya.[7]
Rezim neoliberal di bidang politik adalah menempatkan pemimpin-pemimpin titipan
di dalam pemerintahan. Ketika pemimpin tersebut sudah menduduki kursi-kursi
penting nan strategis, deregulasi akan diberlakukan. Ini seperti tesis Herry B.
Priyono bahwa neoliberalisme adalah menyerahkan seluruh sendi kehidupan
bernegara kepada pasar, namun prosesnya membutuhkan peran negara.[8]
Dengan kata lain, dalam proses menuju negara neoliberal, akan ada fase di mana
negara akan melumpuhkan dirinya sendiri.
Di ranah ekonomi, neoliberalisme akan ditandai dengan
adanya praktik kartel yang memonopoli pasar. Kartel adalah kumpulan
korporasi-korporasi asing yang saling bekerjasama untuk melawan demokrasi
ekonomi. Dalam konteks ini, korporasi-korporasi dengan segala cara akan
mensubordinasikan kekuatan ekonomi produktif masyarakat. Ekonomi akan digenjot
dalam jalur paradigma pertumbuhan ekonomi bukan paradigma pemerataan ekonomi.
Artinya, investasi dan konsumsi perkapita akan menjadi tolok ukur perekonomian
suatu negara. Dengan begitu, kita akan melihat serbuan investasi asing dan
kebanjiran produk asing dalam skala yang amat besar. Semakin benar saja
masyarakat indonesia hanya akan menjadi penonton melihat kompetisi ekonomi
bangsa lain. Dan dengan sendirinya akan menjadi kulinya bangsa-bangsa. Dalam
ekonomi neoliberal, masyarakat akan semakin tersudut oleh gempuran korporasi
raksasa. Tingkat produktifitasnya akan sangat lemah mengingat perbankan juga
lebih senang melayani para pebisnis besar yang jumlahnya sedikit, daripada
masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya lebih kecil. Di sisi lain, negara
tidak berfungsi sebagai pantia kesejahteraan lantaran sudah terbeli oleh
korporasi ketika pemilihan umum. Maka subsidi tidak dimaknai sebagai instrumen
menuju demokrasi ekonomi melainkan beban ekonomi negara yang harus dipangkas.
Di bidang pendidikan, neoliberalisme akan masuk
melalui reformasi kurikulum. Kurikulum dalam fakultas ekonomi semakin
didominasi oleh buku dan pengajar yang mengamini rezim pasar. Dalam telaah Sri
Edhi Swasono, hal ini dibuktikan dengan seringnya pengajar dan fakultas
memberikan materi pengantar ekonomi karya Samuelson. Padahal di buku tersebut,
tidak ada satupun istilah cooperativism,
yang ada hanyalah competitiveness. [9] Dengan
begitu tidak ada kewajiban bagi
perusahaan besar mengajak kerjasama masyarakat kecil untuk membangun
ekonomi bersama. Sebaliknya, yang ada hanyalah kewajiban perusahaan besar untuk
berkompetisi terhadap siapapun termasuk kepada masyarakatk ekonomi golongan
lemah. Sialnya, ilmu politik, ilmu yang fokus mempelajari hubungan kekuasaan, trend-nya justru mengarah menuju kajian
postmodernisme. Pembahasan ekonomi politik menjadi kurang laku. Dengan demikian
berarti ilmu politik sedang dan akan melakukan pembiaran terhadap eksploitasi
yang dilakukan oleh rezim pasar terhadap masyarakat indonesia.
Dari berbagai pertimbangan di atas, gerakan mahasiswa
perlu menjadikan rezim neoliberal sebagai musuh bersama. Permusuhan terhadap rezim neoliberal sudah
dilakukan oleh banyak gerakan mahasiwa. Akan tetapi, hal ini belum ditegaskan
dalam linisejarah masa kini. Lantaran belum dipertegas, maka pola gerakan dari
gerakan mahasiwa kesannya sporadis. Gerakan mahasiswa harus benar-benar
menyadari bahwa di tahun 2015 nanti, indonesia memasuki pasar bebas ASEAN. Ada
keniscayaan indonesia akan menjadi diserbu investasi, produk, tenaga kerja
asing. Menempatkan rezim pasar bebas dan neoliberalisme sebagai musuh bersama
bukan suatu hal yang usang. Kecuali jika memang identitas kebangsaan kita
benar-benar sudah luntur.
[2] Yudi Latif, Intelegensia
Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20,
Bandung: Mizan
[3] Benedict Anderson, Imagined
Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[9] Sri-edi Swasono, 2003, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi, Yogyakarta:
Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM.
No comments:
Post a Comment