Wednesday, November 30, 2016

APA LAGI SELAIN NEOLIBERALISME?

Zamzam Muhammad

Review Buku Tenggelam Dalam Neoliberalisme

Penulis: Bagus Aryo
Penerbit: Penerbit Kepik, Jakarta, 2012 


Padi tumbuh tak berisik. Barangkali itulah ekspresi yang bisa menggambarkan perkembangan neoliberalisme di Indonesia. Ia bergerak sangat halus, tersembunyi, dan tidak disadari. Neoliberalisme hadir di Indonesia dalam bentuk prinsip dan logika, bukan nama. Studi Bagus Aryo berhasil membuktikan itu.

Tidak ada istilah yang lebih kontroversial daripada neoliberalisme. Pada umumnya, sebagai ideologi, neoliberalisme banyak ditentang masyarakat kita. Belum pernah terdengar ada seorang intelektual atau pengampu kebijakan yang terang-terangan mendaku dirinya neoliberal. Bahkan ketika Boediono disebut sebagai agen neoliberal, dirinya mengatakan bahwa neoliberalisme itu tidak ada. Sekali lagi, tidak ada orang yang memproklamirkan diri sebagai neoliberal. Barangkali kita juga begitu. Akan tetapi, siapa yang tau bahwa ketika mulut menolak, tindakan kita sedang dituntun oleh logika neoliberal?

Buku Bagus Aryo merupakan karya yang baik untuk dibaca. Sebab, melalui bukunya berjudul Tenggelam Dalam Neoliberalisme kita disadarkan bahwa neoliberalisme ternyata sedikit bicara namun banyak bekerja. Maksudnya, sekalipun tidak ada orang yang mengaku neoliberal, namun pada praktiknya desain ekonomi Indonesia sudah dan sedang berjalan pada jalur neoliberal. Jadi, orang menolak bukan karena substansi neoliberal, namun hanya menolak penggunaan istilahnya saja.

Semangat neoliberalisme merupakan campuran dari filsafat liberalisme, ilmu ekonomi kapitalisme, dan institusi serba pasar. Neoliberalisme, sebagai sebuah proyek ideologis, ingin meyakinkan kita bahwa pasar merupakan agama terbaik bagi hubungan sosial. Jadi, neoliberalisme bukan istilah ekonomi saja. Lebih dari itu, neoliberalisme juga hendak masuk ke dalam hubungan sosial di ranah politik, hukum, dan sosial budaya.

Etika neoliberalisme adalah percaya bahwa individu mampu menciptakan keputusan-keputusan terbaik jika tidak diintervensi oleh suatu otoritas, termasuk negara. Hubungan antar manusia yang tanpa intervensi akan mengalokasikan kebutuhan-kebutuhan secara tepat sasaran, sangkil dan mangkus. Dengan kata lain, hubungan antar individu yang bebas pada gilirannya akan menciptakan dunia ini lebih baik. Dilihat dari sini nampak bahwa neoliberalisme mewarisi dasar filosofi kapitalisme. Namun sekali lagi, neoliberalisme tidak hanya ingin dibatasi pada ranah ekonomi. Lebih dari itu, neoliberalisme terus berusaha berjuang agar prinsip-prinsip pasar merembes hingga ranah hukum, sosial, budaya dan politik.

Di Indonesianeoliberalisme bukanlah gejala hilangnya negara. Melainkan negara digunakan (dan ia berguna sejauh) sebagai alat untuk mempromosikan kebudayaan berbasis pasar. Negara neoliberal bukannya tidak mempedulikan kemiskinan. Ia peduli namun penataan masyarakat didasarkan pada logika pasar. Tepat di sini, kemiskinan dipandang sebagai kekurangan uang. Oleh karena itu kredit perlu disalurkan langsung kepada individu.

Buku Bagus Aryo melengkapi khasanah buku-buku yang terkait dengan kritik neoliberal. Ambil contoh. Jika Sri Edhie Swasono, dalam buku Ekspose Ekonomika berhasil mengungkap penetrasi neoliberalisme di kampus, Bagus Aryo berhasil mengungkap penetrasi neoliberalisme di tingkatan akar rumput. Baginya, meluasnya logika neoliberalisme di akar rumput disebabkan oleh meluasnya lembaga perkreditan mikro. Dalam hal ini, pemerintah punya andil yang cukup besar.

Neoliberalisme bukanlah gejala undurnya negara. Akan tetapi negara hanya bertransformasi ke dalam bentuk lain dalam menyebarkan ideologi pasar kepada masyarakat. Dalam konteks perkreditan mikro, Departemen Sosial (Depsos) adalah corongnya. Ideologi neoliberal masuk Depsos lewat para stakeholder yang telah mengenyam pendidikan pascasarjana. Dari situ program Depsos mulai didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat merupakan aktor yang paling bertanggungjawab atas kesejahteraan dirinya. Keyakinan itu meratakan jalan bagi kredit mikro, lewat BMT, untuk masuk ke dalam masyarakat. Dari situ masyarakat mulai dikenalkan dengan ekonomi uang seperti fasilitas kredit, tabungan dan investasi. Praktik “governmentality” tersebut dibantu oleh insititusi agama yang menyebarkan keyakinan bahwa manusia adalah agen yang bertanggungjawab atas dirinya sendiri.

Kalau mau konsisten dengan prinsip neoliberal, maka penerima kredit diberikan kebebasan mengelola kreditnya. Namun dalam konteks Indonesiatidak demikian. Negara masih intervensi dengan mengajak LSM untuk memberikan intermediasi sosial. Masyarakat penerima kredit mikro dikumpulkan dalam suatu forum untuk saling menularkan cerita sukses dan mencari jalan keluar kalau ada masalah dalam wirausaha. Dalam terminologi Foucault, sistem ini disebut juga sistem Panoptik. Karena dalam forum itu masyarakat akan terus menerus “diawasi” untuk menjadi agen neoliberal sejati, sekalipun tidak ada negara dalam arti fisik.

Aryo secara tersirat menyatakan, agenda neoliberal adalah meyakinkan masyarakat bahwa neoliberalisme bukanlah ideologi, melainkan sifat dasar manusia. Neoliberal tidak perlu dipelajari, melainkan ia sudah mengendap dalam rasionalitas manusia. Menghalangi neoliberalisme berarti menghalangi rasionalitas yang pada gilirannya hanya akan melahirkan masalah sosial. Studi Aryo membisiki pada kita, tidak ada lagi yang tersisa selain neoliberal. Jika semua sudah neoliberal, lalu apa yang bukan neoliberal? Tepat di sinilah persoalannya.

Tenggelam Dalam Neoliberalisme memiliki pesan bahwa neoliberalisme sudah mencengkram seluruh sendi sosial masyarakat secara total, sehingga tidak ada yang tersisa selain neoliberalisme. Pokok persoalnnya adalah pada konseptualisasi yang dilakukan oleh Aryo. Bagi Aryo, “sisi-sisi sosial” dalam masyarakat, misalnya membantu sesama dalam bentuk zakat, dianggap sebagai strategi menjinakkan neoliberalisme namun tetap ada dalam jalur neoliberal. Bersekutu membuat usaha bersama juga dianggap neoliberal. Jantung persoalannya terletak pada hilangnya batasan-batasan dalam konsep neoliberalisme itu sendiri. Jadi, dalam studi Aryo belum jelas mana batas neoliberal, mana yang bukan neoliberal. Negara berwatak sosial dianggap neoliberal. Masyarakat berwatak sosial juga dianggap neoliberal. Saya khawatir jika studi ini bukan menjadi kritik terhadap neoliberalisme, namun justru malah menjadi promotor neoliberalisme itu sendiri. Terlepas dari itu semua, jika kita menyetujui bahwa neoliberalisme adalah ideologi yang menuntut masyarakat menjadi serba pasar, maka buku ini sangat pantas untuk dibaca. Sebab kita bisa tau penetrasi neoliberalisme yang tumbuh secara sembunyi dan sangat terselubung.

No comments:

Post a Comment