Zamzam Muhammad
Review Buku Tenggelam Dalam Neoliberalisme
Penulis: Bagus Aryo
Penerbit: Penerbit Kepik, Jakarta, 2012
Review Buku Tenggelam Dalam Neoliberalisme
Penulis: Bagus Aryo
Penerbit: Penerbit Kepik, Jakarta, 2012
Padi tumbuh tak berisik. Barangkali itulah ekspresi yang bisa
menggambarkan perkembangan neoliberalisme di Indonesia. Ia bergerak sangat
halus, tersembunyi, dan tidak disadari. Neoliberalisme hadir di Indonesia dalam
bentuk prinsip dan logika, bukan nama. Studi Bagus Aryo berhasil membuktikan
itu.
Tidak ada
istilah yang lebih kontroversial daripada neoliberalisme. Pada umumnya, sebagai
ideologi, neoliberalisme banyak ditentang masyarakat kita. Belum pernah
terdengar ada seorang intelektual atau pengampu kebijakan yang terang-terangan
mendaku dirinya neoliberal. Bahkan ketika Boediono disebut sebagai agen
neoliberal, dirinya mengatakan bahwa neoliberalisme itu tidak ada. Sekali lagi,
tidak ada orang yang memproklamirkan diri sebagai neoliberal. Barangkali kita
juga begitu. Akan tetapi, siapa yang tau bahwa ketika mulut menolak, tindakan
kita sedang dituntun oleh logika neoliberal?
Buku Bagus Aryo
merupakan karya yang baik untuk dibaca. Sebab, melalui bukunya berjudul Tenggelam Dalam Neoliberalisme kita disadarkan
bahwa neoliberalisme ternyata sedikit bicara namun banyak bekerja. Maksudnya,
sekalipun tidak ada orang yang mengaku neoliberal, namun pada praktiknya desain
ekonomi Indonesia sudah dan sedang berjalan pada jalur neoliberal. Jadi, orang
menolak bukan karena substansi neoliberal, namun hanya menolak penggunaan
istilahnya saja.
Semangat
neoliberalisme merupakan campuran dari filsafat liberalisme, ilmu ekonomi
kapitalisme, dan institusi serba pasar. Neoliberalisme, sebagai sebuah proyek
ideologis, ingin meyakinkan kita bahwa pasar merupakan agama terbaik bagi
hubungan sosial. Jadi, neoliberalisme bukan istilah ekonomi saja. Lebih dari
itu, neoliberalisme juga hendak masuk ke dalam hubungan sosial di ranah
politik, hukum, dan sosial budaya.
Etika
neoliberalisme adalah percaya bahwa individu mampu menciptakan
keputusan-keputusan terbaik jika tidak diintervensi oleh suatu otoritas,
termasuk negara. Hubungan antar manusia yang tanpa intervensi akan
mengalokasikan kebutuhan-kebutuhan secara tepat sasaran, sangkil dan mangkus.
Dengan kata lain, hubungan antar individu yang bebas pada gilirannya akan
menciptakan dunia ini lebih baik. Dilihat dari sini nampak bahwa neoliberalisme
mewarisi dasar filosofi kapitalisme. Namun sekali lagi, neoliberalisme tidak
hanya ingin dibatasi pada ranah ekonomi. Lebih dari itu, neoliberalisme terus
berusaha berjuang agar prinsip-prinsip pasar merembes hingga ranah hukum,
sosial, budaya dan politik.
Di Indonesianeoliberalisme
bukanlah gejala hilangnya negara. Melainkan negara digunakan (dan ia berguna
sejauh) sebagai alat untuk mempromosikan kebudayaan berbasis pasar. Negara
neoliberal bukannya tidak mempedulikan kemiskinan. Ia peduli namun penataan
masyarakat didasarkan pada logika pasar. Tepat di sini, kemiskinan dipandang
sebagai kekurangan uang. Oleh karena itu kredit perlu disalurkan langsung
kepada individu.
Buku Bagus Aryo
melengkapi khasanah buku-buku yang terkait dengan kritik neoliberal. Ambil
contoh. Jika Sri Edhie Swasono, dalam buku Ekspose
Ekonomika berhasil mengungkap penetrasi neoliberalisme di kampus, Bagus
Aryo berhasil mengungkap penetrasi neoliberalisme di tingkatan akar rumput.
Baginya, meluasnya logika neoliberalisme di akar rumput disebabkan oleh
meluasnya lembaga perkreditan mikro. Dalam hal ini, pemerintah punya andil yang
cukup besar.
Neoliberalisme
bukanlah gejala undurnya negara. Akan tetapi negara hanya bertransformasi ke
dalam bentuk lain dalam menyebarkan ideologi pasar kepada masyarakat. Dalam
konteks perkreditan mikro, Departemen Sosial (Depsos) adalah corongnya.
Ideologi neoliberal masuk Depsos lewat para stakeholder
yang telah mengenyam pendidikan pascasarjana. Dari situ program Depsos mulai
didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat merupakan aktor yang paling
bertanggungjawab atas kesejahteraan dirinya. Keyakinan itu meratakan jalan bagi
kredit mikro, lewat BMT, untuk masuk ke dalam masyarakat. Dari situ masyarakat
mulai dikenalkan dengan ekonomi uang seperti fasilitas kredit, tabungan dan
investasi. Praktik “governmentality” tersebut dibantu oleh insititusi agama
yang menyebarkan keyakinan bahwa manusia adalah agen yang bertanggungjawab atas
dirinya sendiri.
Kalau mau
konsisten dengan prinsip neoliberal, maka penerima kredit diberikan kebebasan
mengelola kreditnya. Namun dalam konteks Indonesiatidak demikian. Negara masih
intervensi dengan mengajak LSM untuk memberikan intermediasi sosial. Masyarakat
penerima kredit mikro dikumpulkan dalam suatu forum untuk saling menularkan
cerita sukses dan mencari jalan keluar kalau ada masalah dalam wirausaha. Dalam
terminologi Foucault, sistem ini disebut juga sistem Panoptik. Karena dalam
forum itu masyarakat akan terus menerus “diawasi” untuk menjadi agen neoliberal
sejati, sekalipun tidak ada negara dalam arti fisik.
Aryo secara
tersirat menyatakan, agenda neoliberal adalah meyakinkan masyarakat bahwa
neoliberalisme bukanlah ideologi, melainkan sifat dasar manusia. Neoliberal
tidak perlu dipelajari, melainkan ia sudah mengendap dalam rasionalitas
manusia. Menghalangi neoliberalisme berarti menghalangi rasionalitas yang pada
gilirannya hanya akan melahirkan masalah sosial. Studi Aryo membisiki pada
kita, tidak ada lagi yang tersisa selain neoliberal. Jika semua sudah
neoliberal, lalu apa yang bukan neoliberal? Tepat di sinilah persoalannya.
Tenggelam Dalam Neoliberalisme memiliki pesan bahwa neoliberalisme sudah mencengkram
seluruh sendi sosial masyarakat secara total, sehingga tidak ada yang tersisa
selain neoliberalisme. Pokok persoalnnya adalah pada konseptualisasi yang
dilakukan oleh Aryo. Bagi Aryo, “sisi-sisi sosial” dalam masyarakat, misalnya
membantu sesama dalam bentuk zakat, dianggap sebagai strategi menjinakkan
neoliberalisme namun tetap ada dalam jalur neoliberal. Bersekutu membuat usaha
bersama juga dianggap neoliberal. Jantung persoalannya terletak pada hilangnya
batasan-batasan dalam konsep neoliberalisme itu sendiri. Jadi, dalam studi Aryo
belum jelas mana batas neoliberal, mana yang bukan neoliberal. Negara berwatak
sosial dianggap neoliberal. Masyarakat berwatak sosial juga dianggap
neoliberal. Saya khawatir jika studi ini bukan menjadi kritik terhadap
neoliberalisme, namun justru malah menjadi promotor neoliberalisme itu sendiri.
Terlepas dari itu semua, jika kita menyetujui bahwa neoliberalisme adalah
ideologi yang menuntut masyarakat menjadi serba pasar, maka buku ini sangat
pantas untuk dibaca. Sebab kita bisa tau penetrasi neoliberalisme yang tumbuh
secara sembunyi dan sangat terselubung.
No comments:
Post a Comment