Zamzam Muhammad
Review Buku: Memimpin Perubahan di Birokrasi Pemerintah
Penulis: Agus Dwiyanto
Penerbit: Gadjah Mada University Press, 2016
Birokrasi sudah lama menjadi sasaran kritik karena dinilai kurang mampu
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukannya melayani, birokrasi justru
ingin dilayani bahkan beberapa ada yang terjebak dalam kubangan korupsi.
Perayaan HUT Korpri 29 November lalu harusnya bisa menjadi ajang refleksi, mau
kemana dan harus bagaimana birokrasi Indonesia ke depan.
Menurut Dwiyanto, birokrasi sedang terjangkit penyakit parah yaitu kecenderungannya
yang kuat pada status quo. Maksudnya, birokrasi sulit untuk diajak berubah.
Tak peduli orde baru atau reformasi, birokrasi selalu begitu. Mau undang-undang
lama atau baru, birokrasi tetap begitu. Presidennya sudah berganti-ganti,
birokrasi masih saja begitu. Ciri yang selalu melekat pada birokrasi dari dulu hingga sekarang adalah orientasinya
pada kekuasaan, korupsi, pengejar rente, malas, menunggu perintah,
paternalistik dan feodal.
Ada dua penyebab mengapa wajah birokrasi indonesia bisa seperti ini,
yaitu faktor sejarah dan salah teori. Dilihat dari sejarahnya, gen birokrasi
indonesia berasal dari pelayan raja di masa kerajaan terdahulu. Namanya juga
pelayan raja, yang dilayani adalah para raja, bukan masyarakatnya. Masyarakat
bukan sumber kekuasaan melainkan entitas yang berpotensi mengancam “tatanan”
sehingga harus diamankan atau ditertibkan oleh kepanjangan tangan raja alias
para pelayan raja. Kolonialisme eropa ternyata tidak menghapus karakter itu.
Lagian untuk apa melayani masyarakat kalau niatnya menjajah. Orientasi melayani
penguasa ini semakin diperkuat lagi pada masa orde baru dengan cara yang lebih sophisticated
yaitu dengan membangun sistem karier birokrasi yang berpedoman pada selera
atasan. tanpa patuh pada atasan, seorang pegawai rendahan tak akan bisa naik
pangkat.
Budaya organisasi yang serba atasan ini kian mengakar ketika teori
birokrasi resmi republik ini adalah birokrasi a la weberian plus
manajemen pegawai taylorism. Dalam model ini, birokrasi diandaikan sebagai
organisasi yang tersusun secara hirarkis, terspesialisasi, berdasarkan sop yang
kaku nan baku. Lantaran kaku dan baku, perubahan kreatif atau inovasi menjadi
sulit dilakukan. Dalam struktur organisasi yang hirarki itu, semakin ke atas
struktur, tugasnya semakin manajerial atau think. Sebaliknya semakin
rendah struktur, tugasnya semakin teknis. Hal ini mempersulit peluang adanya
inovasi. Sebab sebuah inovasi kecil sekalipun harus meminta persetujuan dari
atasan.
Teori yang bercampur dengan budaya organisasi yang feodal-kolonial inilah yang disebut dengan penyakit Weberian Plus. Penyakit Weberian Plus ini memiliki ciri utama: penguasa minded, hirarkis formalistik, rendah inovasi. Maka jangan heran jika hirarki organisasi tidak hanya urusan kedinasan melainkan selalu diikuti dengan embel-embel lainnya. Misalnya ketika mengisi daftar hadir acara. Urutan nomor kecil hanyalah milik atasan. Jadi sekalipun atasan telat, tandatangannya ya tetap di nomor satu; atasan mendapat parkiran tersendiri; berbicara dengan atasan jangan lupa mengucapkan mohon izin atau mohon arahan. Tentu saja webber tidak berpikir sejauh itu. Itu hanya modifikasi teori webber yang bercampur dengan budaya birokrasi feodal-kolonial.
Mengobati penyakit birokrasi yang sudah mendasawarsa ini butuh
kerja keras. Pertama, dibutuhkan agen perubahan. Kedua, dibutuhkan pemimpin
perubahan. Lalu apa instrumen atau alat yang dapat mengusahakan itu?
Dwiyanto melihat bahwa pendidikan adalah instrumen manipulasi karakter
yang paling efektif. Posisinya sebagai Kepala LAN benar-benar dimanfaatkan
untuk mereformasi kurikulum diklat PIM dan diklat Prajabatan. Jika sebelumnya
diklat PIM menekankan kemampuan kognisi peserta yang dibuktikan dengan paper
ilmiah, kini diklat PIM menuntut kemampuan peserta (umumnya pejabat) untuk
membuat inovasi. Demikian juga pada diklat Prajabatan. Yang tadinya peserta
hanya mendapat materi hak dan kewajiban pegawai, kini peserta dituntut untuk
merancang dan melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan nilai Akuntabilitas,
Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen Mutu dan Anti Korupsi.
Dibandingkan buku bertema birokrasi yang lain, buku
ini memiliki keunikan tersendiri. Buku ini terletak pada pemaparan pengalaman
pribadi penulis, yang berlatar belakang akademisi, dalam memimpin salah satu
lembaga pemerintahan, yaitu Lembaga Administrasi Negara (LAN). Sehingga buku
ini tidak hanya bercerita tentang teori administrasi atau seni kepemimpinan
belaka.
Agus Dwiyanto berada di tengah tegangan kutub dilematik itu. Sebab yang
jamak terjadi pemimpin terlalu textbook mengikuti teori. Lalai bahwa
teori selalu merucut ketika hendak menggenggam realitas dunia yang
bergerak sangat cepat dan dinamis, yang oleh Giddens disebut sebagai runaway
world. Di sisi lain banyak juga pemimpin yang mengabaikan teori sebagaimana
terangkum dalam ungkapan “tak peduli kucing hitam atau putih asal tujuan
tercapai. Ini bahaya karena kucing ada juga yang penyakitan sehingga
menyengsarakan pemilik dan lingkungannya. Agus Dwiyanto berhasil mengatasi
dilema ini dengan tidak terlalu teori atau praktek minded. Dalam buku
itu, teori menjadi aplikatif, praktik menjadi ideologis.
No comments:
Post a Comment