Zamzam Muhammad
Review buku:
Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2004)
Penulis: Adhe
Penerbit: Octopus,
Yogyakarta
Kukasih
bocoran. Konon, dalam menulis sejudul buku, seorang penulis cuma dapat dua juta
rupiah . Bahkan bisa kurang dari itu. Padahal, menulis satu judul buku
membutuhkan tiga bulan. Jadi dalam waktu sebulan penulis cuma berpenghasilan
600 ribuan. Belum lagi keharusannya membeli buku penunjang untuk menulis.
Bisa-bisa penghasilan bersih penulis buku cuma tiga ratus ribu perbulan. Gila.
Salah siapa? Kata para penulis sih, salah penerbit. Betul demikian, penerbit?
Kabarnya,
seorang penulis hanya mendapat bagi hasil royalti dari penerbit, maksimal, 10
persen dari total keuntungan penjualan buku. Itulah sebabnya penghasilan
penulis sangat kecil. Sehingga tidak sedikit penulis yang anyel atau
jengkel-jengkel gemes kepada penerbit. Namun, penerbit juga tidak bisa disalahkan
sepenuhnya. Penulis mendapat 10 persen royalti, bukan berarti penerbit mendapat
90 persen lainnya. Sebab penerbit juga harus menggaji karyawan/pegawai di
penerbitan, membayar distributor yang tidak mau dibayar sedikit. Itu hanya
sebagian kecil dinamika kehidupan penerbitan buku di Jogja yang ditulis dalam
buku berjudul Declare: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007).
Adhe,
penulis Declare, mengungkapkan bahwa sebuah buku yang sampai di tangan
pembaca itu penuh dengan cerita, tidak hanya tentang cinta, namun juga darah
dan air mata. Mulai dari penulis yang menerima sedikit royalti, menangguhkan
makan anak keluarganya karena pembayaran royaltinya seret, penerbit yang mesti
gerilya menerbitkan buku terjemahan, adanya penerjemah bodong yang
terjemahannya tidak diawasi oleh editor, distributor yang nakal tidak
transparan pada penerbit tentang hasil penjualan buku, toko buku yang gemar
memalsukan laporan penjualan buku, adanya pembeli buku yang selalu lupa
membayar, dan makin maraknya pembajakan buku. Semua cerita itu tercatat dalam Declare.
Setelah membaca buku ini, saya yakin, anda akan memandangi buku-buku anda
miliki sambil melepaskan nafas panjang sambil membayangkan kengerian dalam
proses pembuatan buku anda.
Menurut
Adhe, Penerbit Jogja berkontribusi besar dalam menyediakan sumber pemikiran
alternatif bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat sekarang dapat memilih buku
bertema kiri, kiri islam, pemikiran postmodern, sosio-seksual, yang sebelumnya
jarang diterbitkan oleh penerbit besar. Hal ini karena amunisi Penerbit Jogja
diisi oleh para aktifis mahasiswa yang bercita menyebarkan idenya sambil, syukur-syukur,
bisa mengambil keuntungan dari kerja-kerja penerbitan buku. Namun di balik itu,
Penerbit Jogja juga dikritik karena manajemen, permodalan, kualitas terjemahan
yang buruk. Penerbit Jogja juga tidak sedikit yang nekad melanggar copyright.
Penerbit
Jogja, kata Adhe, selalu dihadapakan dengan masalah klasik. Menerbitkan buku
idealis tapi tidak laku, atau menerbitkan buku menurut selera pasar. Memilih
salah satu kutub ekstrem sama berbahayanya. Jika idealis, kesulitan hidup. Jika
menurut selera pasar, mendangkalkan kehidupan. Penerbit Jogja generasi awal
(1998-2004) cenderung idealis sehingga banyak yang mati muda. Sementara itu penerbit
generasi 2004-2007 cenderung pragmatis sehingga banyak dari mereka yang
menerbitkan buku-buku selera pasar, seperti ketika banyak penerbit yang
menerbitkan terjemahan puisi kahlil gibran secara bersama-sama. Atau beberapa
penerbit yang membuat buku dengan menduplikasi buku-buku best seller dengan
cara ATM (Amati, Teliti, Modifikasi) atau Spanyol (SePAro NYOLong), sehingga
nampak sebagai buku baru, padahal isinya hampir sama dengan buku lain.
Kekuatan
buku ini ada pada novelty. Belum pernah sebelumnya saya membaca buku utuh yang
membahas tentang tema serupa Declare. Kekuatan lain Declare adalah
deskripsi yang teliti terhadap tumbuh kembangnya Penerbit Jogja sebagai
penerbit alternatif. Adhe juga dengan baik menuliskan kisah bagaimana lahirnya
sebuah buku dan sampai ke tangan pembaca. Beberapa masalah yang cukup serius
menerpa Penerbit Jogja tak luput dari perhatian Adhe, seperti masalah kualitas
terjemahan buku terbitan Penerbit Jogja. Setelah mengambil hikmah dari Declare,
pembaca yang budiman akan diingatkan dengan wejangan klasik: dont judge book by
its cover. Ya, jangan beli buku karena judulnya, atau sampulnya yang menarik,
bahkan jangan lihat penerbitnya. Pembaca harus benar-benar cerdas. Banyak
sekali intrik yang digunakan oleh penerbit untuk menarik perhatian pembeli
buku. Declare banyak menyediakan informasi tentang itu.
Akan
tetapi banyak sekali pengulangan di dalam Declare. Seperti pengulangan
tentang “ATM dan Spanyol”. Tentu saja hanya dua istilah itu tidak akan memakan
halaman walaupun ditulis ribuan kali. Akan tetapi, untuk memunculkan tulisan
itu dalam sebuah halaman memerlukan pemaparan panjang lebar yang kurang lebih
sama pada setiap dua istilah itu muncul. Sehingga, sedikit terasa membosankan.
Ketika
membaca judul buku itu saya membayangkan buku itu akan bercerita tentang adanya
pertarungan wacana antar penerbit. Atau bagaimana sebuah operasi diskursif
ideologi tertentu mempengaruhi penerbitan tertentu. Atau bagaimana penerbitan
mendapatkan donor untuk menerbitkan buku-buku "pesanan". Maklum, sekarang banyak
sekali kritik tentang pengetahuan dan kekuasaan. Lantaran Declare tidak
membahas, menarik juga jika ada penulis yang menuliskan tentang itu.
★★★☆☆Rating:
No comments:
Post a Comment