Sunday, December 4, 2016

CERITA PENERBIT BUKU

Zamzam Muhammad

Review buku: Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2004)
Penulis: Adhe
Penerbit: Octopus, Yogyakarta

Kukasih bocoran. Konon, dalam menulis sejudul buku, seorang penulis cuma dapat dua juta rupiah . Bahkan bisa kurang dari itu. Padahal, menulis satu judul buku membutuhkan tiga bulan. Jadi dalam waktu sebulan penulis cuma berpenghasilan 600 ribuan. Belum lagi keharusannya membeli buku penunjang untuk menulis. Bisa-bisa penghasilan bersih penulis buku cuma tiga ratus ribu perbulan. Gila. Salah siapa? Kata para penulis sih, salah penerbit. Betul demikian, penerbit?

Kabarnya, seorang penulis hanya mendapat bagi hasil royalti dari penerbit, maksimal, 10 persen dari total keuntungan penjualan buku. Itulah sebabnya penghasilan penulis sangat kecil. Sehingga tidak sedikit penulis yang anyel atau jengkel-jengkel gemes kepada penerbit. Namun, penerbit juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Penulis mendapat 10 persen royalti, bukan berarti penerbit mendapat 90 persen lainnya. Sebab penerbit juga harus menggaji karyawan/pegawai di penerbitan, membayar distributor yang tidak mau dibayar sedikit. Itu hanya sebagian kecil dinamika kehidupan penerbitan buku di Jogja yang ditulis dalam buku berjudul Declare: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007).

Adhe, penulis Declare, mengungkapkan bahwa sebuah buku yang sampai di tangan pembaca itu penuh dengan cerita, tidak hanya tentang cinta, namun juga darah dan air mata. Mulai dari penulis yang menerima sedikit royalti, menangguhkan makan anak keluarganya karena pembayaran royaltinya seret, penerbit yang mesti gerilya menerbitkan buku terjemahan, adanya penerjemah bodong yang terjemahannya tidak diawasi oleh editor, distributor yang nakal tidak transparan pada penerbit tentang hasil penjualan buku, toko buku yang gemar memalsukan laporan penjualan buku, adanya pembeli buku yang selalu lupa membayar, dan makin maraknya pembajakan buku. Semua cerita itu tercatat dalam Declare. Setelah membaca buku ini, saya yakin, anda akan memandangi buku-buku anda miliki sambil melepaskan nafas panjang sambil membayangkan kengerian dalam proses pembuatan buku anda.

Menurut Adhe, Penerbit Jogja berkontribusi besar dalam menyediakan sumber pemikiran alternatif bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat sekarang dapat memilih buku bertema kiri, kiri islam, pemikiran postmodern, sosio-seksual, yang sebelumnya jarang diterbitkan oleh penerbit besar. Hal ini karena amunisi Penerbit Jogja diisi oleh para aktifis mahasiswa yang bercita menyebarkan idenya sambil, syukur-syukur, bisa mengambil keuntungan dari kerja-kerja penerbitan buku. Namun di balik itu, Penerbit Jogja juga dikritik karena manajemen, permodalan, kualitas terjemahan yang buruk. Penerbit Jogja juga tidak sedikit yang nekad melanggar copyright.

Penerbit Jogja, kata Adhe, selalu dihadapakan dengan masalah klasik. Menerbitkan buku idealis tapi tidak laku, atau menerbitkan buku menurut selera pasar. Memilih salah satu kutub ekstrem sama berbahayanya. Jika idealis, kesulitan hidup. Jika menurut selera pasar, mendangkalkan kehidupan. Penerbit Jogja generasi awal (1998-2004) cenderung idealis sehingga banyak yang mati muda. Sementara itu penerbit generasi 2004-2007 cenderung pragmatis sehingga banyak dari mereka yang menerbitkan buku-buku selera pasar, seperti ketika banyak penerbit yang menerbitkan terjemahan puisi kahlil gibran secara bersama-sama. Atau beberapa penerbit yang membuat buku dengan menduplikasi buku-buku best seller dengan cara ATM (Amati, Teliti, Modifikasi) atau Spanyol (SePAro NYOLong), sehingga nampak sebagai buku baru, padahal isinya hampir sama dengan buku lain.

Kekuatan buku ini ada pada novelty. Belum pernah sebelumnya saya membaca buku utuh yang membahas tentang tema serupa Declare. Kekuatan lain Declare adalah deskripsi yang teliti terhadap tumbuh kembangnya Penerbit Jogja sebagai penerbit alternatif. Adhe juga dengan baik menuliskan kisah bagaimana lahirnya sebuah buku dan sampai ke tangan pembaca. Beberapa masalah yang cukup serius menerpa Penerbit Jogja tak luput dari perhatian Adhe, seperti masalah kualitas terjemahan buku terbitan Penerbit Jogja. Setelah mengambil hikmah dari Declare, pembaca yang budiman akan diingatkan dengan wejangan klasik: dont judge book by its cover. Ya, jangan beli buku karena judulnya, atau sampulnya yang menarik, bahkan jangan lihat penerbitnya. Pembaca harus benar-benar cerdas. Banyak sekali intrik yang digunakan oleh penerbit untuk menarik perhatian pembeli buku. Declare banyak menyediakan informasi tentang itu.

Akan tetapi banyak sekali pengulangan di dalam Declare. Seperti pengulangan tentang “ATM dan Spanyol”. Tentu saja hanya dua istilah itu tidak akan memakan halaman walaupun ditulis ribuan kali. Akan tetapi, untuk memunculkan tulisan itu dalam sebuah halaman memerlukan pemaparan panjang lebar yang kurang lebih sama pada setiap dua istilah itu muncul. Sehingga, sedikit terasa membosankan.

Ketika membaca judul buku itu saya membayangkan buku itu akan bercerita tentang adanya pertarungan wacana antar penerbit. Atau bagaimana sebuah operasi diskursif ideologi tertentu mempengaruhi penerbitan tertentu. Atau bagaimana penerbitan mendapatkan donor untuk menerbitkan buku-buku "pesanan". Maklum, sekarang banyak sekali kritik tentang pengetahuan dan kekuasaan. Lantaran Declare tidak membahas, menarik juga jika ada penulis yang menuliskan tentang itu.


★★★☆☆Rating:

No comments:

Post a Comment