Zamzam Muhammad Fuad
Pegawai
mengoreksi atasan merupakan kejadian sangat langka dalam kehidupan birokrasi
kita. Birokrasi kita adalah warisan Orde Baru, yang ditandai dengan sikap
hormat, patuh, dan tunduk sebagai bahasa sehari-harinya. Jika ada yang tidak
patuh, maka bawahan ada dalam posisi terancam. Bisa dipindah, bisa juga dilepaskan
dari jabatan alias dipecat (Agus Dwiyanto, 2016).
Namun
yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memang di luar
kebiasaan. Ada seorang pegawai MK yang “mengetuk hati nurani” Ketua MK untuk meletakkan
jabatannya. Menurut pegawai tersebut, Ketua MK telah melanggar kode etik. Belakangan
diketahui bahwa pegawai itu merupakan seorang pejabat fungsional peneliti.
Kejadian ini menuai kontroversi. Sebagian menentang dengan menyatakan bahwa peneliti itu sudah kebablasan, sebagian lagi membela peneliti itu. Bagi yang menentang, peneliti itu dianggap sudah menerabas kode etik seorang pegawai negeri. Sebab dengan menyatakan ketua MK harus turun, maka peneliti itu dianggap ikut terlibat dalam politik praktis. Bagi yang mendukung, peneliti itu dianggap sudah benar, karena bagaimanapun suara hati nurani harus dikatakan. Terlepas dari polemik benar-salah itu, saya mengajukan dua pendekatan untuk memahami fenomena ini.
Pertama, peristiwa
ini sebenarnya merupakan penanda perubahan dalam sistem birokrasi kita. Salah
satu cita-cita UU ASN adalah mewujudkan pegawai negeri profesional. Untuk
mewujudkan hal itu, pemerintah mendorong agar para pegawai negeri mengalihkan
orientasi dari karier pejabat struktural, menjadi pejabat fungsional. Jabatan
peneliti merupakan satu dari sekian banyak jabatan fungsional pegawai negeri.
Nasib
seorang pejabat fungsional memang tidak ditentukan sepenuhnya oleh atasan
langsungnya. Namun ada pada dirinya sendiri. Jika ia seorang peneliti, maka ia
wajib membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan. Kalau tidak mau membuat,
kariernya sebagai peneliti akan terancam. Jika etika profesi seorang peneliti
adalah menulis karya tulis ilmiah, maka ia harus menulis. Dalam sistem seperti
ini, atasan bukan lagi penguasa yang mengancam, namun sebagai rekan kerja.
Sebagaimana seorang rekan, atasan dan bawahan dapat saling memberi masukan,
saran, dan bahkan, kritik.
Perubahan
ini kemungkinan besar tidak hanya akan terjadi di MK, namun juga pada seluruh
kementerian/lembaga di Indonesia. Baik di tingkat pusat atau daerah. Pemerintah
bahkan mempercepat perubahan ke arah ini dengan mengeluarkan kebijakan
Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 26 Tahun 2016 tentang inpassing. Kebijakan inpassing
membuka peluang bagi para pegawai negeri untuk beralih menjadi pejabat
fungsional. Maka, dinamika sebagaimana yang terjadi di MK baru-baru ini dapat
juga terjadi di tempat lain. Budaya saling memberi masukkan dan memberikan
koreksi akan terbangun. Budaya itu juga dapat membangun akuntabilitas kinerja,
transparansi, dan peningkatan kinerja.
Pendekatan
kedua adalah terkait dengan etika
kaum intelektual. Seorang peneliti dapat disebut sebagai seorang intelektual
karena mereka mencari jawaban yang dianggap (mendekati) benar atas suatu permasalahan.
Lantaran yang dicari adalah kebenaran, maka kebohongan atau menyembunyikan
kebenaran adalah dosa besar. Bahkan ada mantra yang sering diulang-ulangi oleh
para peneliti kita, yaitu “salah boleh, bohong ga boleh”.
Bagi
kaum intelektual, kebenaran harus dikatakan walaupun itu pahit. Socrates dan
Galileo adalah dua dari sekian banyak tokoh yang kerap diteladani oleh kaum
intelektual. Mereka berdua berani mati dan tidak takut dipenjara atau
diasingkan demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Mengatakan kebenaran
memang tugas utama kaum intelektual. Namun tidak semua berani melakukan itu.
Edward
Said membedakan kaum intelektual menjadi dua kategori yaitu intelektual
profesional dan intelektual amatir. Intelektual profesional adalah intelektual
yang terbelenggu, baik oleh rutinitasnya, kepakarannya, atau oleh penguasa.
Belenggu rutinitas adalah pekerjaan rutin. Jika ia seorang dosen, maka ia hanya
memikirkan bagaimana mengajar dari jam 7 pagi hingga jam 2 siang. Selain itu ia
juga terbelenggu oleh bidang kepakarannya. Ia merasa takut beropini jika tidak
sesuai dengan latar belakang jurusan kesarjanaan. Misal, ia merasa tidak pantas
berbicara hukum karena ia seorang sarjana ekonomi. Terakhir, belenggu paling
akut adalah ketakutan pada penguasa. Kaum intelektual profesional biasanya
hanya berpikir ilmu untuk ilmu. Bukan ilmu untuk kebenaran atau kebaikan
kemanusiaan. Sementara itu, pelanggaran kemanusiaan biasanya dilakukan oleh
penguasa besar. Kaum intelektual profesional biasanya cuma berani cari aman.
Sebaliknya,
seorang intelektual amatir sangat peduli pada kebenaran. Baginya, kebenaran
harus disampaikan kepada publik, apapun risikonya. Intelektual amatir tidak mau
disandera oleh belenggu apapun. Dalam dunia modern, belenggu kaum intelektual
adalah kepakaran dan kekuasaan. Maka seorang intelektual amatir tidak boleh
terjebak pada gelar kesarjanaan. Kalau dirinya tau tentang penyakit birokrasi,
maka dirinya harus mengatakannya pada publik walau dirinya seorang sarjana
biologi, misalnya.
Kaum
intelektual juga tidak boleh menyembunyikan kebenaran atas nama kekuasaan.
Kebenaran yang diyakini harus disuarakan. Dipublikasikan kepada publik. Tentu
saja ini tidak mudah. Maka Edward Said mengatakan bahwa kehidupan seorang
intelektual amatir akan selalu getir, banyak dicibir, dan terasa satir. Tapi
intelektual amatir merasa harus melampaui belenggu-belenggu itu. Mengatakan
kebenaran di hadapan publik adalah tujuan utamanya. Oleh karena itulah Said
berpendapat bahwa sosok intelektual amatir merupakan tipe ideal kaum
intelektual. Sepanjang ada seorang peneliti mengatakan kebenaran yang
diyakininya kepada penguasa, speaking
truth to power, maka ia bisa dikatakan telah menjadi intelektual amatir. Dalam
kacamata Edward Said, intelektual ideal memang harusnya begitu.
No comments:
Post a Comment