Friday, March 16, 2018

DERITA TKI TIADA HENTI

Zamzam Muhammad



Review buku
Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, Jakarta


Ada cerita indah mengenai Indonesia. Yakni tentang negeri yang memiliki tanah air yang subur, sumber daya alam melimpah, dan masyarakat ramah berbudaya. Tapi siapa mengira ini hanyalah dongeng untuk menutupi penderitaan yang tiap hari dihadapi warga negaranya. Indonesia bukan hanya tentang mooi indie, melainkan tentang realisme sosial yang bercerita tentang penghisapan dan penindasan. Persis seperti yang dialami para Tenaga Kerja Indonesia kita. Novel berjudul Dawuk mengisahkannya.

Dawuk bercerita tentang sepasang TKI yang berasal dari Desa Rumbuk Randu. Inayatun dan Mat Dawuk adalah pasangan suami istri yang merepresentasikan nasib TKI di Malaysia. Inayatun dan Mat Dawuk merupakan symbol para TKI yang mengalami penindasan tiada habisnya, baik oleh majikannya, keluarganya, dan masyarakatnya, di Malaysia ataupun Indonesia.

Inayatun dan Mat Dawuk bukannya tak memiliki kelebihan agar lebih dihargai orang-orang. Inayatun ialah gadis tercantik di Rumbuk Randu. Sementara itu, Mat Dawuk jagoan bela diri menggunakan ruyung. Dua bekal itu seharusnya bisa jadi bekal untuk diterima masyarakat. Tapi apa boleh buat, TKI tetaplah TKI.

Inayatun menjadi TKI karena orang tuanya malu terhadap tabiat anaknya. Menurut Imamuddin (bapak Inayatun) sejak kecil anaknya suka menggoda (dan digoda) kaum lelaki. Inayatun gerah terhadap tudingan ini. Sehingga ia memilih lari ke Malaysia. Tapi dasarnya TKI, di Malaysia Inayatun malah menjadi objek KDRT suami-suami sirri-nya (sebelum menikah dengan Mat Dawuk, ia sudah menikah dengan 4 laki-laki). Baru setelah bertemu dengan Mat Dawuk, Inayatun merasa lebih dihargai keperempuanannya.

Kalau Inayatun perempuan paling cantik di Rumbuk Randu, Mat Dawuk ialah lelaki paling seram dan buruk rupa di desa itu. Sejak kecil ia menjadi simbol cibiran dan penghinaan. Sehingga, jika ingin menilai apakah seseorang itu sedap dipandang atau tidak, praktis saja: yang penting jangan seperti Mat Dawuk. Tapi apakah yang lain lebih tampan dari Mat Dawuk? Barangkali tidak. Walaupun begitu, pokoknya Mat Dawuk paling jelek. Dan semua orang tau, kalau sudah “pokoknya” tidak perlu lagi ada diskusi.

Di kampung sendiri saja dihina, bagaimana jika di negeri orang? Mat Dawuk ke Malaysia menjadi TKI illegal yang diburu-buru oleh Kepolisian Diraja Malaysia. Ia hidup di hutan dalam gubuk yang dibuat perusahaan untuk para pekerjanya. Pertemuan dengan Inayatun sedikit merubah kehidupan Mat Dawuk. Kini ia lebih dihargai. Ada yang mencintainya. Akhirnya mereka menikah sirri di Malaysia. Setelah menikah, mereka berpikir untuk kembali ke Indonesia. Dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun rupanya mereka salah perhitungan.

Setelah kembali ke kampungnya, Mat Dawuk tidak bisa memulihkan statusnya sebagai manusia. Oleh Imamudin, hubungan anaknya dengan Mat Dawuk tidak direstui. Warga Rumbuk Randu juga tidak mau menerima kehadiran Mat Dawuk dengan tetap mencibir dan menghinanya. Para orang tua menjadikan Mat Dawuk sebagai symbol batara kala untuk menakut-nakuti anaknya yang nakal: ati-ati diculik Mat Dawuk, tau rasa kalian.

Nasib Mat Dawuk semakin mengenaskan setelah Inayatun diperkosa oleh Mandor Perhutani dan pengusaha penebang kayu (koalisi negara dan borjuis memang selalu memperkosa rakyat!). Kejadian itu terjadi ketika Mat Dawuk mencari jagung di hutan. Sesampainya di rumah, Mat Dawuk melihat Inayatun bersimbah darah ditikam pisau oleh pemerkosanya karena Inayatun dianggap melawan.

Mat Dawuk tiba ketika peristiwa itu terjadi. Perangpun pecah. Dua lawan satu. Ketika perkelahian itu terjadi, sabetan pisau pengusaha kayu tak sengaja malah mengenai kawannya sendiri hingga dadanya terbelah. Mandor Perhutani itu pun mati seketika. Sekarang tinggal satu lawan satu. Tapi pengusaha kayu itu takut melawan Mat Dawuk sendirian. Dia pun lari, sambil berteriak menghasut: Mat Dawut telah membunuh istrinya dan mandor perhutani!!

Mendengar kabar itu, warga masyarakat beramai-ramai mendatangi Mat Dawuk. Mereka langsung menyerbu Mat Dawuk tanpa menagih klarifikasi. Mereka menghajar Mat Dawuk tanpa lelah, tanpa ampun, tanpa belas kasihan sedikitpun. Menendangnya, memukulinya dengan batu, kayu, besi dan benda keras lainnya.

Namun Mat Dawuk tidak mati. Kini tersisa polisi dan hakim tempat Mat Dawuk mencari keadilan. Rupanya aparat penegak hukum itu juga tidak berpihak pada Mat Dawuk. Vonis penjara dijatuhkan. Mat Dawuk menjalani masa hukumannya dengan sabar hingga selesai masa tahanan. Nahas, hasutan Mat Dawuk sebagai pembunuh istri dan Mandor Perhutani masih membara dalam benak masyarakat. Sehingga Mat Dawuk dibakar hidup-hidup di dalam rumahnya.

Mahfud Ikhwan, sang penulis, berhasil menceritakan kehidupan TKI dengan gaya bahasa yang begitu apik. Meskipun TKI adalah masalah serius, Mahfud juga menyisipkan gaya-gaya jenaka yang membuat pembaca tak bosan melahap halaman demi halaman. Tidak hanya serius dan jenaka, novel ini bahkan mampu menghadirkan kesan menegangkan (suspense) bagi pembaca. Lebih penting, novel ini membuka isu penindasan TKI yang selama ini tabu dibicarakan orang. TKI adalah korban dari ketidakpedulian masyakat-bangsanya sendiri dan kekejaman majikan luar negerinya. Sehingga jelas di sini bahwa: TKI adalah orang buangan par excellence.

No comments:

Post a Comment