Zamzam Muhammad Fuad
Review buku
Pramoedya
Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi
Penulis: Savitri
Scherer
Penerbit: Komunitas
Bambu, 2012, Jakarta
Rezim
Orde Baru memang kurang ajar terhadap Pramoedya. Bukan hanya karya-karyanya
yang tidak boleh terbit. Buku-buku yang mengulas karyanya pun haram
diterbitkan.
Masuk era reformasi, karya Pram dan diskursus Pram mulai
banyak bermunculan. Salah satunya adalah buku berjudul Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi.
Buku yang ditulis oleh Savitri Scherer ini sebenarnya telat
terbit. Sebab isi buku ini sudah ditulis sejak tahun 1981 sebagai disertasi.
Savitri sendiri mengaku bahwa tekanan politik Orde Baru dan warisannya
merupakan penghalang bagi karyanya untuk terbit di Indonesia. Bahkan ia sendiri
mengaku: “Oleh karena itu tidaklah bijaksana menerbitkan buku ini sebelum
Pramoedya meninggal pada tahun 2006” (hal. xi).
Buku ini mengisi diskursus mengenai Pram yang terbit di
Indonesia. Kita bisa menderet buku tulisan para cendekia yang mempelajari
karya-karya Pram. Sebut saja, buku berjudul Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis karya Eka Kurniawan dan buku karya
Max Lane berjudul Indonesia Tidak Hadir
Di Bumi Manusia.
Meskipun demikian, tulisan Savitri memiliki perbedaan khas
daripada studi Pram lainnya. Savitri berusaha memahami dialektika antara
konteks sosial politik kebudayaan dan karya-karya Pram. Dialektika inilah yang
merubah pemikiran Pram, dari yang tadinya non-politik, menjadi politik
sepenuhnya.
Salah satu situs yang menandai dan berpengaruh pada
pergeseran pemikiran Pram adalah debat sastra antara kubu humanisme universal
vs kubu realisme sosial.
Bagi kubu humanis universal (dalam hal ini diwakili oleh
beberapa sastrawan dari Gelanggang, LKN, dan Lesbumi) karya sastra harus bisa
menggambarkan pengalaman seluruh umat manusia. Maka sastra bukan hanya
bercerita tentang pengalaman politik, namun bisa juga tentang persahabatan,
romansa-percintaan, atau pergulatan batin lainnya.
Pandangan kubu humanis universal itu ditentang oleh kubu
sastrawan pembela pandangan realisme sosial. Bagi sastrawan realisme sosial,
karya sastra adalah alat, bukan tujuan. Untuk itu, karya sastra harus mampu
menggambarkan penderitaan rakyat dan memberikan semangat pembebasan. Artinya,
sastra adalah “politik dengan cara lain”. Dengan inilah kita bisa memahami
makna slogan Lekra: Politik adalah Panglima.
Walaupun politik adalah panglima dalam sastra ala Lekra,
bukan berarti Pram merasa harus selalu marxis dalam karya-karyanya. Dalam
pemikiran Pram, politik dalam sastra sedari mula harus dipahami sebagai upaya
menempatkan sastra sebagai alat pembebasan masyarakat dari segala bentuk
eksploitasi. Hal ini juga disadari oleh Savitri bahwa “analisis Pramoedya
tentang masyarakat tidak selalu merujuk Marxis, dan di kemudian hari
pendapat-pendapatnya memang seringkali tidak selaras jika dilihat dari sudut
pandang doktrin partai komunis”.
Pandangan Savitri ini bersesuaian dengan pendapat Max Lane.
Dalam buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi
Manusia, Max Lane menegaskan bahwa karya-karya Pram tidak mempromosikan
gagasan kelas sosial ala Karl Marx. Max Lane justru melihat bahwa Pram
mengidentifikasi masyarakat tertindas Indonesia bukan hanya kategori "proletar". Lebih dari itu, masyarakat tertindas Indonesia melampaui batas-batas kelas. Gagasan
ini kental dalam novel Pram berjudul Bumi Manusia. Dalam novel itu, masyarakat
tertindas digambarkan dalam sosok Minke (terpelajar keturunan bangsawan),
Ontosoroh (Gundik yang menjadi borjuis lokal), Annelies (anak borjuis,
indo-eropa). Dengan kata lain, masyarakat tertindas adalah lintas kelas dan
lintas ras/etnis.
Esai-esai Pram yang diteliti Savitri lebih banyak merupakan
tanggapan Pram terhadap perdebatan sastra (kebudayaan). Savitri luput menelusuri bagaimana tanggapan
Pram terhadap dinamika politik yang berkembang saat itu. Padahal tahun
1950-1965 adalah tahun ketika politik menyedot energi massa.
Hal tersebut tentu saja menjadi kekurangan buku Savitri
ini. Sebab di awal Savitri terlanjur sudah mengutarakan ingin “membongkar
struktur kompleks mediasi antara Pramoedya dengan dunia kreatifnya dengan
memperhatikan kekuatan-kekuatan sosial, kebudayaan dan politik yang ia alami” (Hal.1).
Artinya, dalam buku ini Savitri baru membongkar struktur kebudayaan, namun
belum membongkar kekuatan sosial politik yang mempengaruhi pemikiran Pram.
Terlepas dari itu, buku Savitri ini harus diapresiasi
tinggi. Analisisnya mengenai pengaruh perdebatan sastra humanisme universal vs
realisme sosial terhadap pemikiran Pram tidak bisa dianggap remeh. Savitri
berhasil menjelaskan pergeseran-pergeseran pemikiran Pram dalam setiap novel
dan esai yang Pram tulis.
No comments:
Post a Comment