Friday, November 1, 2013

ORIENTALISME DALAM JURNAL INTERNASIONAL


Zamzam Muhammad Fuad

Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana peran jurnal ilmiah internasional dalam memantapkan hegemoni imperialisme Eropa-Amerika. Dewasa ini, ada pendapat bahwa kualitas pendidikan suatu negara diukur dari seberapa banyak para ilmuwan di suatu negara mampu mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah internasional. Bila ditinjau secara karikatural, bebas nilai, dan apolitis, pendapat itu mungkin benar. Namun bila dipandang lewat pendekatan paskakolonial dan Foucauldian tentang pengetahuan dan kekuasaan, pendapat itu bisa dipersoalkan. Apabila dua perspektif itu yang digunakan maka akan muncul sebuah kesimpulan bahwa jurnal ilmiah internasional merupakan instrumen tak kasat mata yang digunakan oleh negara maju (Eropa-Amerika-Australia) untuk menguasai negara-negara berkembang (Asia-Afrika). Lebih jauh lagi, dalam hubungan antara negara maju dan berkembang, jurnal ilmiah internasional memiliki dua peran strategis. Pertama, sebagai sistem panoptik yang memagari sistem kognitif ilmuwan di negara berkembang. Kedua, sebagai watchdog yang menjaga hubungan produksi akademis yang timpang antara negara maju dan negara berkembang. Sedangkan dalam kaitannya dengan Indonesia, jurnal ilmiah internasional menghalangi perkembangan ideologi Pancasila sebagai paradigma baru ilmu sosial Indonesia.

Kata kunci: Jurnal ilmiah internasional, pengetahuan dan kekuasaan, imperialisme akademis.


Pada Juli 2012, Webometrics mengeluarkan daftar peringkat universitas di seluruh dunia. Dari daftar itu tidak ada satu pun universitas di Indonesia yang mampu menembus 300 besar universitas terbaik di seluruh dunia. UGM bertengger di posisi 379, disusul UI (507), ITB (568), Institut Teknologi Sepuluh November (582), Universitas Pendidikan Indonesia (630), Universitas Gunadarma (740), Institut Pertanian Bogor (764), Universitas Brawijaya (837), Universitas Sebelas Maret (883), dan Universitas Diponegoro (948). Anjloknya kualitas universitas-universitas di Indonesia ini kebanyakan disebabkan karena sedikitnya jumlah publikasi ilmiah yang dilakukan oleh kaum akademisi kampus dalam jurnal ilmiah internasional (JII).[i]

Mengingat hal itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, mengeluarkan edaran No. 152/E/T/2012 yang mengatur bahwa syarat mendapatkan gelar doktor di Indonesia adalah memublikasikan karya ilmiah di JII. Namun lantaran tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, surat edaran itu cenderung tidak dihiraukan oleh akademisi kampus. Untuk mendorong publikasi ilmiah di JII, DIKTI mengeluarkan edaran 0975/E5.4/HP/2013 tentang insentif bagi akademisi yang berhasil memublikasikan karya ilmiah di JII. Surat edaran ini memancing pro dan kontra beberapa kalangan akademisi.

Salah satu alasan yang menyebabkan polemik adalah lantaran tidak semua JII dapat dipercaya keilmiahannya. Seorang pustakawan Universitas Colorado, Amerika Serikat pernah menulis tentang keberadaan “jurnal predator”. Menurutnya, tidak semua jurnal ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Ada juga JII predator yang berjumlah 369 yang berorientasi komersial, tanpa proses seleksi yang ketat dan tidak memiliki impact factor yang cukup.[ii] Beberapa ilmuwan menggunakan jurnal ini semata-mata untuk tujuan pragmatis mendapatkan insentif berupa jabatan atau kekayaan material. Wacana tentang jurnal predator ini bergaung sampai Indonesia, hingga memunculkan polemik.

Jika dibagi ke dalam dua titik ekstrim, polemik ini terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama adalah akademisi yang mendukung pernyataan Beall tentang jurnal predator. Kubu ini menyatakan permusuhan terhadap jurnal predator dan menginginkan agar para ilmuwan hanya mempercayai JII yang tidak predator. Sedangkan kubu kedua adalah yang bersikap skeptis terhadap uraian Beall mengenai jurnal predator. Kubu ini menilai bahwa tidak semua jurnal predator, sebagaimana diuraikan Beall, adalah buruk. Untuk mengilustrasikan polemik ini secara lebih jelas, memeriksa perdebatan tentang jurnal predator yang muncul di harian Kompas akan banyak membantu.

Sejak 2013, wacana tentang jurnal predator sudah menjadi bahan perdebatan serius di Kompas –salah satu media massa prestisius di Indonesia dalam hal oplah. Dalam polemik di Kompas, beberapa intelektual yang dapat dikategorikan dalam kubu pertama adalah Terry Mart dan Irwan Julianto. Sedangkan intelektual yang termasuk kategori kedua adalah Soedarsono Hardjosoekarto dan Agus Suwignyo.[iii] Namun, konfigurasi ini berubah bila objek polemik bukanlah jurnal predator namun diubah menjadi JII. Bila objek polemiknya JII, maka Terry Mart, Irwan Julianto dan Soedarsono Hardjosoekarto ada di dalam satu gerbong. Sebab mereka sangat mendukung para ilmuwan Indonesia memublikasikan karya ilmiahnya di JII.

Sementara itu, Agus Suwignyo berada dalam posisi skeptis terhadap JII. Menurutnya, JII tidak dapat dijadikan parameter utama dalam menentukan baik buruknya kualitas seorang ilmuwan. JII harus dipandang dalam perspektif politik pengetahuan. Oleh karena itu, bila mengikuti Suwignyo, JII dapat dimaknai sebagai alat neoimperialisme yang digunakan oleh negara maju untuk mendominasi negara berkembang.[iv] Sayangnya, Suwignyo hanya berhenti pada kesimpulan ini tanpa berusaha lebih jauh menjelaskan bagaimana peran JII dalam memantapkan imperialisme Eropa-Amerika.

Pengetahuan dan Kekuasaan

Paling tidak sejak munculnya mazhab Frankfurt di Jerman, pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai. Oleh beberapa pemikir Frankfurt ternama seperti Theodore Adorno, Horkheimer dan Habermas, pengetahuan dipandang memiliki kepentingan. Dalam hal ini, mereka banyak mempersoalkan tentang bagaimana pengetahuan dioperasikan untuk melayani kebutuhan kelas borjuis.

Pendapat ini semakin diteguhkan oleh pemikir Prancis bernama Louis Althusser. Menurutnya, pengetahuan tidak ubahnya seperti ideologi. Jika ingin memantapkan kekuasaannya, penguasa harus mentransformasikan kepentingannya menjadi pengetahuan kemudian mentransmisikannya ke dalam masyarakat melalui ideological state apparatus yaitu guru, pengkhotbah dan orang tua.[v]

Hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan semakin pelik di tangan Michel Foucault. Baginya, kekuasaan dan pengetahuan bukan dua hal yang dapat dipisahkan. Sebab, kekuasaan adalah pengetahuan. Sebaliknya pengetahuan adalah kekuasaan. Pengetahuan, sebagaimana kekuasaan, tidak dapat dipersonifikasi. Mereka adalah sesuatu yang muncul dalam hubungan antar subjek. Artinya, bila ada subjek mengetahui tentang sesuatu, bukan berarti dia menguasai sesuatu. Sebaliknya, ia justru menjadi objek kekuasaan.[vi]

Orang yang berpengetahuan dinilai sebagai orang yang dikuasai lantaran ia telah terpengaruh oleh rezim kebenaran yang dibawa oleh pengetahuan. Lantaran rezim kebenaran inilah sang subjek dapat mengatakan benar-salah, baik-buruk, normal-abnormal. Dengan kata lain, bukan subjek yang berkuasa atas wacana. Namun wacanalah yang berkuasa atas subjek. Pengetahuan menyensor apa yang harus diketahui oleh subjek, dan apa yang tidak boleh diketahui oleh subjek. Lantaran sifat mengatur inilah pengetahuan harus dipandang secara politis bukan objektif.

Imperialisme Akademis

Seorang tokoh paskakolonial bernama Edward Said meminjam keyakinan Foucault ini untuk memahami sejarah dominasi barat atas timur. Bagi Said, dominasi barat atas timur tidak bisa dilepaskan dari peran pengetahuan yang diciptakan oleh bangsa barat. Pengetahuan ini disebut Said sebagai orientalisme. Orientalisme, dalam wawasan Said, adalah kumpulan pengetahuan yang dibuat oleh bangsa barat untuk dikonsumsi oleh siapa pun.[vii] Meski boleh dikonsumsi siapapun, masing-masing bangsa akan mengalami dampak yang berbeda-beda. Jika dikonsumsi bangsa barat, maka mereka akan semakin merasa superior dan menganggap bangsa timur inferior. Sebaliknya jika orientalisme dikonsumsi bangsa timur, maka mereka akan semakin merasa inferior dan menganggap bangsa barat inferior. Rasa superioritas barat dan inferioritas timur inilah yang melandasi imperialisme barat di seluruh wilayah timur dengan semangat pemberadaban (civilizing). Dalam praktik, imperialisme Portugis, Spanyol, Inggris dan Amerika dilandasi oleh perasaan ini. Dengan demikian berarti, praktik penyebaran pengetahuan sangat berperan dalam proses imperialisme barat.

Selain eksploitatif, orientalisme memiliki watak yang sangat eksklusif dalam arti ia memiliki komunitas ilmiahnya tersendiri yang sulit untuk ditembus oleh ilmuwan lain berparadigma berbeda. Orientalisme berwatak eksploitatif lantaran kelahirannya muncul tepat di saat imperialisme Prancis dan Inggris beroperasi. Said menunjukkan bahwa kedatangan orang-orang Inggris dan Perancis di dunia Timur pada abad 19 telah meningkatkan dan memantapkan produksi orientalisme.[viii] Dalam hal ini, para pemangku kebijakan politik Inggris dan Perancis merasa perlu untuk memiliki pengetahuan atas negeri-negeri Timur yang menjadi koloninya. Artinya, ada kepentingan imperialis yang bersembunyi dibalik disusunnya orientalisme.

Selain itu, watak eksklusif orientalisme dapat dapat dipahami dengan melihat munculnya komunitas akademis pada saat imperialisme Inggris dan Prancis. Komunitas akademis itu berwujud lembaga-lembaga riset seperti Societe Asiatique, The Royal Asiatic Society, dll.[ix] Di Indonesia, pengalaman seperti ini juga pernah dialami ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan “KITLV”, sebuah lembaga kajian oriental pertama di Indonesia.

Fakta bahwa kaum imperialis juga menciptakan sekolah di tanah jajahan semakin meneguhkan posisi orientalisme dalam posisi yang terhormat. Melalui sekolah-sekolah yang dibuat, masyarakat Timur diseret untuk memasuki khasanah pemikiran barat, ditarik untuk memahami dan memercayai pengetahuan dari barat. Gauri Viswanathan menyebut praktik semacam ini sebagai epistemic violence.[x] Praktik ini telah terjadi ratusan tahun sehingga sangat sulit bagi ilmuwan timur untuk keluar dari pengetahuan barat yang eksploitatif dan eksklusif. Terkait dengan uraian-uraian di atas, tulisan ini akan menempatkan JII sebagai turunan dari praktik epistemic violence ini.

Agar tatanan dunia menjadi setara, pengetahuan dari barat harus dipertanyakan, didekonstruksi dan direkonstruksi. Sementara itu, bangsa timur harus menyusun pengetahuannya sendiri. Atau dalam bahasa Syed Farid Alatas, ilmu pengetahuan harus diulayatisasi oleh para ilmuwan timur. Namun proyek ulayatisasi pengetahuan tidaklah mudah. Semua ini disebabkan lantaran para ilmuwan timur sudah terjebak berbagai macam kendala teknis yang disebutnya sebagai struktur kebergantungan akademis.

Struktur tersebut meliputi enam hal. Pertama, kebergantungan pada gagasan. Kedua, kebergantungan pada media gagasan. Ketiga, kebergantungan pada teknologi pendidikan. Keempat kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran. Kelima, kebergantungan pada investasi pendidikan. Keenam, kebergantungan ilmuwan sosial dunia ketiga pada permintaan barat akan keterampilan mereka.[xi] Semuanya ini saling merajut sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah pola penindasan kognitif bangsa Barat terhadap Timur. Pola penindasan inilah yang disebut Alatas sebagai imperialisme pengetahuan. Terkait dengan semua itu, tulisan ini akan menitikberatkan pada struktur kebergantungan kedua yaitu kebergantungan pada media gagasan. Dalam hal ini, salah satu media gagasan yang dimaksud adalah JII.

Seorang ilmuwan timur yang hendak keluar dari imperialisme pengetahuan harus mengatasi kebergantungannya terhadap seluruh struktur kebergantungan. Sebab enam hal struktur kebergantungan itu saling merajut membentuk suatu sistem pengawasan (panoptikon) yang melindungi keseluruhan sistem. Untuk keluar dari kebergantungan pada media gagasan, seorang ilmuwan Timur juga harus berusaha untuk keluar dari struktur kebergantungan yang lain. Misal, ia juga harus keluar dari kebergantungan pada bantuan riset baik itu yang ditawarkan oleh bangsa barat ataupun. Tidak hanya itu, ia juga harus mawas terhadap bantuan riset yang ditawarkan oleh pemerintah. Sebab founding asing ataupun domestik selalu mensyaratkan proposal penelitian yang di dalamnya harus mengandung unsur gagasan-gagasan yang telah mapan, seperti metode penelitian, tinjauan pustaka dan penjabaran konseptual. Sejalan dengan itu, sang ilmuwan juga harus keluar dari kebergantungan terhadap teknologi pendidikan, seperti sistem pencarian informasi melalui internet.

Imperialisme akademis juga memiliki hubungan produksi yang sama dengan hubungan produksi dalam imperialisme ekonomi. Imperialisme ekonomi ditandai dengan hubungan produksi yang memiliki mekanisme pembagian kerja (division of labor). Dalam hal ini, negara maju berperan sebagai negara pusat (the core). Sedangkan negara berkembang berperan sebagai negara pinggiran (the periphery) yang melayani kebutuhan negara pusat. Demikian juga dalam imperialisme akademis, hubungan produksi pengetahuan ditandai dengan peran negara maju sebagai penyedia teori dan metode. Sementara itu, negara pinggiran sebagai penyedia ilmuwan sosial yang bertugas mencari data namun menggunakan teori dan metode yang disediakan oleh negara maju. Terkait dengan ini, jurnal ilmiah internasional ibarat bank yang menyediakan teori dan metode yang dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga ilmuwan di negara pinggiran merasa perlu dan wajib menggunakan teori dan metode yang disediakan oleh jurnal ilmiah. Apabila ilmuwan sosial di negara dunia ketiga tidak menggunakan jurnal ilmiah sebagai referensi, maka penelitiannya dapat dituduh tidak ilmiah. Oleh karena itu, peran JII disini adalah sebagai watchdog yang menjaga kemapanan ilmu pengetahuan dari barat.

Lantaran berperan sebagai struktur panoptik dan watchdog, JII juga berperan dalam menghalangi ilmu pengetahuan dari timur. Di sini muncul pertanyaan, adakah ilmu pengetahuan dari timur yang benar-benar orisinal muncul dari dunia timur? Dalam dunia serba terpenjara oleh struktur kebergantungan, sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Namun bukan berarti tidak ada yang berusaha untuk melakukannya.

Kuntowijoyo pernah mengemukakan gagasan tentang ilmuisasi islam. Maksudnya, islam tidak dipandang sebagai doktrin yang anti kritik, namun ditempatkan sebagai paradigma dalam mengembangkan sebuah ilmu. Ajaran islam mesti ditata sedemikian rupa agar dapat dinilai sebagai ilmu pengetahuan. Paling tidak, pintu masuknya adalah menjadikan islam sebagai pendekatan dalam melihat sebuah realitas sosial.

Selain Kuntowijoyo, ada juga ilmuwan yang berusaha untuk menggali ilmu pengetahuan ekonomi alternatif yakni Mubyarto. Mubyarto ialah ekonom yang hendak mengembangkan ilmu pengetahuan ekonomi dengan menjadi pancasila sebagai paradigma. Di tahun 1980-1990an, gagasan ini sempat menjadi perbincangan hangat. Lebih awal daripada mereka, Soekarno juga pernah memiliki pemikiran alternatif mengenai marhaenisme, nasakom dan demokrasi terpimpin. Namun alih-alih dikembangkan menjadi pengetahuan yang sistematis, gagasan-gagasan soekarno lebih dilihat sebagai doktrin politik daripada dasar pengetahuan.

Lantaran hegemoni pemikiran barat yang terlalu kuat, pemikiran-pemikiran alternatif bukannya dikembangkan menjadi paradigma, namun justru dijadikan objek kajian menggunakan pisau analisa yang telah disediakan barat. Sistem ekonomi Pancasila, misalnya, ia dipandang sebagai gagasan ilmu ekonomi yang berada di tengah-tengah arus utama gagasan sosialisme dan kapitalisme. Ini merupakan tanda bahwa pemikiran alternatif hanya dijadikan sebagai objek kajian, bukannya subjek yang mengkaji. Dalam hal ini, JII berperan dalam menghalangi munculnya ilmu pengetahuan alternatif. Sulit membayangkan gagasan Soekarno mengenai demokrasi terpimpin dapat menjadi arus utama pemikiran wacana demokratisasi. Ini lantaran dalam JII demokrasi model barat dan segala turunannya seperti sistem pemilu, sistem kepartaian bercorak liberal selalu dijadikan arus utama.

Kesimpulan
Dalam perspektif pengetahuan dan kekuasaan, JII berperan sebagai sistem panoptik dan watchdog yang menjaga hegemoni negara maju. Selain itu, JII juga berperan sebagai penghalang bagi munculnya ilmu pengetahuan alternatif yang berasal dari negara berkembang. Oleh karena itu, ke depan masyarakat ilmuwan perlu menimbang kembali posisi JII dalam dunia akademis. Bukannya menolak mentah-mentah. Namun sikap skeptis terhadap JII perlu dilakukan agar tercipta hubungan produksi pengetahuan yang setara antara negara maju dan negara berkembang. Kesetaraan dalam hubungan produksi pengetahuan akan memungkinkan terciptanya kesetaraan dalam hubungan ekonomi antara negara maju dan berkembang.

ENDNOTES
[i] “Ini Peringkat Top Perguruan Tinggi Di Indonesia”, diakses tanggal 28 Mei 2013, <http://edukasi.kompas.com/read/2012/08/02/09373199/>

[ii] Jeffrey Beall, “Beall’s List of Predatory, Open-Access Publishers”, diakses tanggal 28 Mei 2013, <http://www.academia.edu/1151857/Bealls_List_of_Predatory_Open-Access_Publishers>

[iii] Terry Mart menulis opini di Kompas (2 April 2013) dengan judul “Jurnal Predator”. Irwan Julianto menulis opini di kompas (17 April 2013) dengan judul “Jurnal Pseudo Ilmiah yang Siap Memangsa”. Soedarsono Hardjosoekarto menulis opini di Kompas (24 April 2013) dengan judul “Heboh Jurnal Predator”. Agus Suwignyo menulis opini di Kompas (23 Mei 2013) dengan judul “Jurnal Predator dan Politik Pengetahuan”

[iv] Agus Suwignyo, Jurnal Predator dan Politik Pengetahuan, Kompas, 23 Mei 2013

[v] Robert Paul Resch, Althusser and the Renewal of Marxist Social Theory, (Berkeley: University of California, 1992), 214.

[vi] Saul Newman, Power and Poststructuralist Thought, (New York: Routledge, 2005), 52.

[vii] Edward Said, Orientalism, (London: Penguin, 2003), 2.

[viii] Edward Said, Orientalism, (London: Penguin, 2003), 43.

[ix] Edward Said, Orientalism, (London: Penguin, 2003), 43.

[x] Stephen Morton, Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas & Kritik Penalaran Pascakolonial, terj Wiwin Indiarti, (Yogyakarta: Pararaton, 2008), 26.

[xi] Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia, terj. Ali Noer Zaman, (Bandung: Mizan, 2010), 56




No comments:

Post a Comment