Saturday, April 21, 2012

MAHASISWA, NALAR KRITIS, DAN KEWIRAUSAHAAN

Zamzam Muhammad

Membaca potret dinamika aktivisme mahasiswa belakangan, ada semacam gejala demoralisasi yang membuat warna mahasiswa keluar dari khitohya; agent of  social change, kritis dan idealis. Mahasiswa adalah kelompok yang berbeda dibanding dengan yang lain. Nalar kritis (critical reason) yang dimiliki mahasiswa merupakan variabel pembeda, sekaligus landasan aktivitas gerak mahasiswa. 

Rutinitas mahasiswa yang identik dengan perkuliahan, diskusi, membaca dan forum-forum ilmiah lainnya merupakan penopang terbangunnya nalar kritis.. Selain juga akbrab dengan teori-teori dan seabrek pemahamanan keilmuan-akademis normatif, mahasiwa pun kerap diperhadapkan dengan problem-problem aktual. Disinilah proses dialektika muncul yang kemudian mampu melahirkan nalar kritis.

Namun sayangnya, potensi nalar kritis mahasiswa ini sedang terhipnotis oleh jor-joran produk modernitas seperti diskotik, bisnis-bisnis hiburan, pusat perbelanjaan dan game on-line. Sementara,itu, dari dalam diri kelompok mahasiswa juga muncul penyakit yang bisa membunuh potensi dan bakat mahasiswa sebagai kelompok perubahan yaitu menjamurnya mahasiswa pragmatis. Mengapa?  

Ancaman
Hemat penulis ada dua hal –kalau bukan disebut ancaman- yang tampaknya perlu didedah dalam membaca gejala degradasi dan stagnas aktivisme mahasiswa. Pertama, ancaman dari luar mahasiwa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa modernitas telah merambah keberbagai lini kehidupan, termasuk lingkungan di sekitar kampus. Salah satu wujud yang paling tampak adalah membanjirnya bisnis-bisnis hiburan. seperti diskotik, pusat perbelanjaan dan game on-line yang  semakin dekat dengan kehidupan kampus. Belum lagi tayangan-tayangan televisi tidak henti-hentinya “menghibur” mahasiswa dan menawarkan produk-produk “manipulasi tubuh”. Praktik hedonisme di kalangan mahasiswa semakin nyata saja.

Kedua, ancaman yang muncul dari dalam ekosistem kampus. Aturan-aturan yang dibuat oleh kampus seperti syarat minimal kehadiran di kelas, syarat maksimal kelulusan, batas waktu mengerjakan skripsi, uang kuliah yang mahal, dan sebagainya, adalah beberapa faktor yang mematikan nalar kritis mahasiswa. Secara psikis, mahasiswa merasa seperti “narapidana”. Aktivitas belajar yang berlandas pada rasa “haus akan pengetahuan” dijarah oleh perasaan ingin segera lulus, keluar dari penjara kampus.

Dalam kondisi serba terkerangkeng ini, mahasiswa juga harus berani  melancarkan self reflection (refleksi diri), agar dahaga terhadap ilmu tetap muncul. Mahasiswa harus tegas bahwa belajar bukanlah sekedar aktivitas yang berorientasi pada indeks prestasi (IP), atau hanya menggugurkan kewajiban dari dosen seperti mengerjakan tugas atau ujian. Perpustakaanpun hanya menjadi situs yang disambangi untuk mencari referensi skripsi belaka. Lebih sial lagi, seringkali pelajaran di kampus hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Wajar saja jika ruang kuliah menjadi miskin gagasan. Kalaupun ruang kelas ramai dengan pertanyaan, boleh jadi itu hanya sekedar kontestasi untuk “menjilat” dosen demi popularitas dan nilai tambahan.  Fenomena ini sungguh disayangkan. Padahal jika saja bangku kuliah, diskusi, ataupun seminar-seminar diikuti dengan landasan perasaan “haus akan pengetahuan” tentu saja akan melahirkan nalar kritis yang akan menjadi tenaga endogen  baik ketika melakukan aksi demonstrasi ataupun aksi-aksi yang lain. Alih-alih demonstrasi, belajar dan diskusi-pun diabaikan.

Nalar kritis VS enterpeunership
Ancaman internal lain adalah trend wacana “asing” yang sedang merangsek ke dalam kampus, yaitu entrepreneurship atau kewirausahaan. Tidak dipungkiri, bahwa kemandirian, baik itu pemikiran ataupun finansial, adalah sesuatu yang urgen bagi mahasiswa. Keinginan untuk mandiri merupakan hukum alam ditengah-tengah perjalanan menjadi mahasiswa.

Namun hal ini menjadi tidak lumrah ketika wacana kewirausahaan menjadi wacana mainstream di kampus-kampus. Boleh dihitung, betapa tidak proporsionalnya perbandingan antara, misalnya, seminar-seminar politik atau seminar pengembangan teknologi pertanian yang tidak seberapa jumlahnya, dibandingkan dengan menjamurnya seminar kewirausahaan. Begitu juga boleh dilihat betapa banyak dan mudahnya “kredit usaha” untuk mahasiswa dari pemerintah yang tersamar dibalik topeng bernama “Beasiswa Program Kreatifitas Mahasiswa” (PKM).

Wacana “kewirausahaan” di kampus-kampus terlanjur deras. Hal ini mengakibatkan mahasiswa menjadi terbuai dan kehilangan kesadaran bahwa belajar adalah aktivitas sentral yang sesungguhnya. Dalam konteks ini penulis menyarankan agar sivitas kampus berinisiatif mengadakan seminar anti-wirausaha untuk mengkritisi, atau paling tidak mengimbangi, wacana-wacana kewirausahaan yang menjamur di kampus-kampus. Selain itu, penulis juga mengajak kawan-kawan sesama mahasiswa untuk  berlaku proporsional dalam hal belajar dan berwirausaha. Bagaimanapun kampus adalah gudang intelektual bukan pabrik entrepreneur.

Lebih disesalkan lagi adalah mengapa dana-dana yang digelontorkan oleh pemerintah tidak diprioritaskan untuk mengembangkan kapasitas intelektual mahasiswa, misalnya penambahan buku, pelatihan-pelatihan penelitian dan sebagainya. Sikap pemerintah yang abai terhadap pendidikan adalah sasaran utama objek kritik. 

Sebagai penutup, tentu saja, uraian-uraian di atas jauh dari kesan objektif. Tulisan ini terbuka bagi ruang kritik. Namun, setidaknya uraian-uraian di atas dapat dijadikan bahan refleksi bahwasanya mahasiswa sedang menghadapi situasi yang dapat mengancam nalar kritis. Bagaimanapun juga,  jargon mahasiswa sebagai “agent of social change”, hanya akan menjadi lip service jika nalar kritis terdepak keluar, menghilang dari ekosistem kampus.

No comments:

Post a Comment