Sunday, May 27, 2012

KOMUNISME ATHEISTIK

Zamzam Muhammad

Review Buku: Mematahkan Pewarisan Ingatan
Penulis: Budiawan
Penerbit: Elsam


Senja september 65 merupakan fajar kekuasaan orde baru. Karena dianggap sebagai tiang pancang kekuasaan, maka september 65 dimitoskan dan disakralkan oleh orde baru.  Oleh orde baru, september 65 benar-benar dijaga, dirumat, diruwat oleh orde baru. Jika demikian ihwalnya, maka, akan muncul 2 skenario: pertama, jika sakralitas september 65 runtuh, itu merupakan terompet sangkakala bagi orde baru. Sebaliknya, kedua, keruntuhan orde baru akan berimplikasi pada runtuhnya mitos september 65.  Namun dalam praktiknya sekarang, kedua skenario tersebut meleset. Faktanya, tumbangnya orde baru tidak diawali atau diikuti dengan runtuhnya wacana september 65 yang telah ditata sedemikian rupa oleh orde baru.  Mengapa?

Dalam pentas politik Indonesia, september 65 merupakan sebuah scene yang menceritakan tentang bagaimana semua aktor politik dan ideologi di Indonesia saling mengkontestasikan kekuatan politiknya. Jika diibaratkan sebagai pementasan, september 65 merupakan lakon drama yang memperbolehkan siapapun menjadi aktor, sutradara menjadi aktor. Jangankan sutradara, penonton pun menjadi aktor. Praktis, jika saat ini insiden berdarah september 65 ingin ditelusuri kembali jejaknya, semuanya kebingungan. Siapa yang salah, siapa yang benar, siapa korban, siapa pelaku.  Semuanya telah menjadi simpul-simpul yang sangat sulit untuk diburai. Selanjutnya, agenda rekonsiliasi pun agaknya masih sulit direalisasikan. 

Harus diakui, oleh mayoritas masyarakat indonesia sekarang, communist dan communism, adalah pihak yang dianggap bersalah terkait dengan pecahnya tragedi g30s.  Hal ini karena PKI dianggap membunuh 7 orang jendral di lubang buaya.  Oleh mayoritas masyarakat, tindakan ini dianggap sebagai upaya untuk menggantikan ideologi pancasila dengan ideologi komunisme.  Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa masyarakat indonesia sangat membenci komunisme? Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena kebencian masyarakat indonesia terhadap komunisme menjadi penghalang utama pengulitan mitos sejarah 65 dan agenda rekonsiliasi nasional.  Dalam bertujuan untuk menjawab pertanyaan inilah buku yang ditulis oleh Budiawan ini berbicara. 

Dalam paparannya, Budiawan menyebutkan bahwa kebencian mayoritas masyarakat Indonesia kepada komunisme disebabkan karena ideologi komunisme erat diasosiasikan dengan paham ateisme.  Di indonesia, ateisme adalah paham yang dianggap salah, karena hal tersebut dianggap menyalahi sila 1 Pancasila. Ateisme juga dianggap salah karena secara sosio kultural, masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang religius.  Artinya, di indonesia, menjadi ateis dianggap menyalahi konstitusi dan dianggap tidak bermoral.  Anggapan ini bertahan hingga sekarang.

Namun yang menjadi menarik dalam buku ini adalah sang pengarang tidak hanya berhenti di situ.  Buku ini lebih berupaya untuk menjelaskan mengapa masyarakat indonesia mempersepsikan bahwa komunisme adalah juga ateisme. 

Sebelum melangkah lebih jauh, menurut budiawan, komunisme=ateisme merupakan wacana yang muncul secara masif paska g30s.  Sebelum g30s, pelektatan komunisme=ateisme mungkin sudah ada, namun belumlah masif seperti pasca g30s. Bisa jadi, pembuatan mitos tentang penyiksaan (penyayatan, pencungkilan mata, pemotongan, maaf, alat kelamin) 7 jenderal turut menguatkan wacana komunisme=ateisme.  Meminjam bahasa Geertz, wacana bahwa komunisme=ateisme merupakan fakta setelah fakta (after the fact).

Merujuk pada hal di atas, ada sebuah pelajaran yang penting untuk dipetik yaitu bahwa ‘makna’ terhadap peristiwa, gerakan, ideologi, bahasa dan lain-lain, selalu berubah-ubah dalam sejarah.  Dengan kata lain, kehadiran makna di dalam dunia pun dapat ditelusuri penyebabnya.  Begitu juga makna ateisme yang muncul bersama komunisme juga merupakan proses historis, yang dapat ditelusuri mengapa makna tersebut bisa muncul.

Dalam bukunya, budiawan menyebutkan bahwa penyamaan komunisme dengan atheisme terbentuk dalam 2 fase sejarah.  Pertama, fase sejarah pra g30s dan. Kedua, fase sejarah paska g30s.

Dalam fase sejarah pra g30s, makna ateisme belumlah sepenuhnya melekat erat dengan komunisme.  Tidak dapat dipungkiri, memang, kompetisi antara PKI dengan partai-partai/ormas-ormas islam tidak dapat dihindari.  Namun yang harus dipahami adalah bahwa logika materialisme yang digunakan oleh PKI seringkali diartikan sebagai logika berpikir yang memungkiri keberadaan tuhan.  Konon, kata Budiawan, pemahaman umat islam/masyarakat non-PKI yang seperti itu disebabkan karena terpengaruh oleh pemikiran jamaludin al afghani, yang menganggap bahwa logika materialisme adalah logika berpikir yang menyangkal akan keberadaan tuhan.  Jadi, dalam pemahaman mayoritas masyarakat non-PKI saat itu, komunisme dikerdilkan menjadi materialisme per se. Sementara itu, materialisme dianggap sebagai paham yang menolak keberadaan tuhan.  Hasilnya, komunisme dianggap atheis. 

Terhadap pandangan –untuk tidak mengatakan tuduhan– yang demikian itu, anggota/simpatisan PKI masih memiliki ruang untuk menyampaikan argumentasi tandingannya.  Misal, HM Misbach. Beliau adalah anggota PKI yang sangat religius.  Menurutnya, menjadi komunis adalah sebuah pilihan yang tepat bagi seorang muslim yang mengaku islam tulen.  Tentu saja, hal itu disampaikan dengan bermacam-macam dalil penguatnya.  Bukan hanya Misbach, seorang  anggota PKI yang lain, Hasan Raid juga memiliki pandangan yang sama.  Dengan merujuk pada surat Al Anfal, Hasan Raid percaya bahwa komunisme, dan oleh karna itu PKI, merupakan pilihan gerakan yang tepat bagi orang yang mengaku islam.  Tapi apa lacur, meskipun ada argumentasi tandingan dari anggota-anggota PKI, pengasosiasian ateisme dengan komunisme tidak dapat diredam.  Dan tentu saja, umat islam politik tidak mau mengalah. Bagaimanapun, mengasosiasikan ateisme dengan komunisme telah menjadi bahasa politik sekaligus strategi politik untuk menjangkar kekuatan politik PKI yang semakin besar.

Untuk memahami itu semua, sebenarnya ada satu lagi hal penting yang untuk diketahui agar dapat memahami mengapa pertentangan itu bisa terjadi.  Dalam lanskap sosio kultural masyarakat indonesia, umat islam merupakan mayoritas. Sehingga, merebut  simpatik dari umat islam merupakan kunci kemenangan partai politik.  Wajar kiranya, jika partai sekular, apalagi islam berusaha untuk menggunakan terminologi islam sebagai bahasa politik.  Tentu saja, karena tidak ingin kehilangan ‘pasar’, partai-partai islam berupaya mati-matian untuk menjustifikasi bahwa islamnya partai islam merupakan yang paling benar.  Di luar itu, abangan atau, bahkan, salah. Jadi, pengateisan komunis juga mesti dipahami dalam lanskap kompetisi politik antar partai.

Menjelang september 65, BTI melakukan aksi sepihak. Hal ini semakin membuat panas situasi politik.  Dan tidak terkecuali pemaknaan ateisme komunis semakin menjadi-jadi.  Yang tadinya hanya perang wacana, paska aksi sepihak, mulai riskan dapat berubah menjadi perang fisik. Dan, benar, hal ini terbukti ketika g30s meletus.  Wacana ateisme=komunisme dijadikan dalih untuk melakukan pembantaian terhadap orang-orang komunis. 

Budiawan melanjutkan, wacana ateisme=komunisme semakin kuat paska g30s.  Cerita-cerita seperti penyayatan, pencungkilan mata, pemotongan, maaf, alat kelamin, menjadi penguat bagi kelompok non-komunis dalam menganggap bahwa komunisme=atheisme.  Selain itu, cerita-cerita seperti guru PKI yang mengajari muridnya untuk tidak percaya tentang keberadaan tuhan muncul dimana-mana dan direproduksi dari zaman ke zaman.  Selain apa yang dipaparkan tersebut, saya juga pernah mendapati cerita tentang pembakaran alquran oleh ‘orang-orang’ PKI.  Cerita-cerita tersebut sangat kuat meneguhkan bahwa komunis=atheis.  Saking kuatnya, orang non-pki menjadi lupa akan adanya seorang komunis yang alim dalam beribadah.  Pokoknya, PKI=komunisme=materialisme=atheis=tidak bertuhan=tidak bermoral=tidak pancasilais.

Secara umum, budiawan dengan sangat apik dapat menggambarkan bagaimana proses kemunculan ateisme sebagai sinonim dari komunisme. Dengan membaca buku ini, kita dapat mengerti bahwa ateisme yang melekat pada komunisme hanyalah bentukan wacana dari para lawan politik PKI yang dapat dilacak secara historis.  Budiawan jelas sekali ingin membuka ruang pemaknaan baru bagi pembaca, bahwa komunisme bukanlah paham yang bisa dengan mudah disamakan dengan atheisme.  Komunisme adalah sebuah ideologi yang bergerak dalam aras ekonomi dan mempersoalkan hubungan produksi antar manusia sebagai poros kritiknya. 

1 comment: