Tuesday, February 26, 2013

BULOG PASKA REFORMASI

Zamzam Muhammad Fuad


Latar belakang
Kejatuhan Soeharto diikuti dengan tuntutan-tuntutan perubahan di segala bidang kehidupan kenegaraan. Baik itu politik, hukum, perekonomian, social budaya. Perubahan di bidang politik diantaranya adalah menyangkut dengan perubahan system pembagian kekuasaan, restrukturisasi lembaga-lembaga Negara, hubungan pusat dan daerah, dsb. Di bidang hukum, amandemen UUD 45 sebanyak empat kali merupakan contoh paling nyata. Di bidang ekonomi, terdapat perubahan dalam hal tata kelola BUMN dan iklim persaingan usaha. Namun, dari sekian perubahan yang terjadi, kebanyakan daya dan upaya diarahkan untuk mengeluarkan republik dari krisis ekonomi. 

Pada mulanya adalah IMF yang datang bahkan sebelum kejatuhan Soeharto. Ia menawarkan jaminan hutang luar negeri, asal Indonesia mau menandatangani Structural Adjustment Program (SAP). Butir-butir kesepakatan tersebut pada intinya adalah tuntutan agar pemerintah Indonesia agar mau melakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Privatisasi, melonggarkan hambatan perdagangan, mencabut subsidi, adalah resep kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah. Pemerintah menandatanginya. Akibatnya, banyak BUMN yang harus mengalami penyesuaian. Termasuk Bulog.

Setelah ditandatanginya SAP IMF, Bulog mulai kehilangan hak monopoli impor beras dan subsidi untuk membeli beras dari petani lokal. Artinya, harga beras tidak lagi dikendalikan oleh Bulog, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Belum lagi dengan adanya pasokan beras dari luar negeri yang mulai bebas memasuki pasar Indonesia. Semua kondisi tersebut dapat memicu kerawanan dalam sector pertanian. Kemandirian pangan akhirnya tergadaikan. Padahal, kemandirian dalam sector pangan merupakan salah satu prasyarat utama untuk mencapai ketahanan nasional, selain juga sebagai kondisi yang harus dicapai bagi bangsa yang mengaku merdeka. 

tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Ini diperlukan agar pembahasan dapat terurai secara sistematis. Pada akhir tulisan, saya akan berupaya untuk menarik kesimpulan dari uraian-uraian yang telah disusun untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah. Adapun pembagiannya diuraikan sebagai berikut: Pertama, gambaran umum mengenai pentingnya pengembangan sector pertanian di sebuah Negara. Kedua, latar belakang dan peran penting didirikannya Bulog oleh rezim orde baru. Ketiga dinamika politik dan ekonomi Indonesia khususnya di sector pertanian menjelang jatuhnya Soeharto. Keempat, dampak reformasi dan tuntutan good governance terhadap pengelolaan sector pertanian. Kelima, peran Bulog pascareformasi dan masa depan kedaulatan beras di Indonesia. 


I

Beras merupakan komoditas pangan strategis dunia. Konsumen dari makanan ini berjumlah sekitar 3 milliar penduduk. Jumlah ini hampir setara dengan separuh penduduk dunia.[1] Sebagai negara yang memiliki jumlah lahan yang tidak sedikit, tentu saja ini merupakan sebuah modal yang besar. Sebab, jika modal ini dapat dimanfaatkan untuk produksi pertanian, maka akan menjadi sebuah keuntungan yang besar.

Dalam skala global, sektor pertanian indonesia pernah menjadi primadona dunia. Revolusi hijau –sekalipun kini banyak dikritik –yang dicanangkan oleh rezim orde baru berhasil menjadikan Indonesia sebagai Negara yang mengalami tingkat produktivitas beras tertinggi di dunia. Pada tahun 1970—1984 (14 tahun) produksi beras nasional meningkat dari angka 1,8 ton perhektar menjadi 3,01 ton perhektar. Artinya, selama 14 tahun ada kenaikan setara dengan 1,2 ton perhektra. Bandingkan dengan Jepang yang membutuhkan waktu selama 68 tahun untuk meningkatkan produksi padi sebanyak 1,28 ton perhektar. Prestasi Indonesia tersebut juga tidak bisa dibandingkan dengan Taiwan, yang untuk meningkatkan produksi padai sebanyak 1,5 ton perhektar membutuhkan waktu 57 tahun.[2] 

Pentingnya penguatan sector pertanian di sebuah Negara berkembang seperti Indonesia, paling tidak, dapat diteropong dari 2 sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang Negara berkembang itu sendiri. Kedua, dari sudut pandang Negara maju yang telah mengalami industrialisasi. Meskipun dapat dipisahkan, seringkali kedua sudut pandang tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. 

Dari sudut pandang Negara berkembang, pangan merupakan kebutuhan yang paling mendesak untuk diperhatikan. Sebab, pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Ketidakstabilan suatu Negara bisa dipicu oleh persoalan kekurangan pangan atau mahalnya harga pangan. Revolusi, penjatuhan rezim di suatu Negara sangat mungkin terjadi jika rezim tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pangan khususnya beras, memiliki andil dalam penggulingan rezim. Soekarno dan Soeharto digulingkan bersamaan dengan melambungnya harga beras dipasar. 

Di Indonesia, beras tidak hanya menyangkut persoalan perut. Beras telah menjadi sejarah Indonesia itu sendiri. Karena melintasi sejarah, beras telah melekat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Bahkan terdapat anggapan bahwa manusia Indonesia dianggap belum makan apabila belum makan beras (nasi). Artinya, selain memiliki nilai ekonomis, beras juga memiliki nilai sosial budaya. Dan, karena mampu dioperasikan sebagai isu penggulingan rezim, beras juga memiliki nilai politik. Oleh sebab itu, hampir setiap rezim di Indonesia menempatkan penguatan sector pertanian beras dalam prioritas fokus kebijakan.

Dari sudut pandang Negara maju, jatuh bangunnya sector pertanian di Negara berkembang juga menjadi perhatian penting. Kurangnya surplus cadangan pangan dari Negara berkembang, dapat berjalan lurus dengan kurangnya ketersediaan pangan di Negara maju. Sebab, Negara maju yang telah mengalami industrialisasi dan terfokus pada kegiatan manufaktur relatif kekurangan petani sekaligus lahan pertanian. Oleh sebab itu, Negara maju biasanya memberikan bantuan dalam bentuk modal atau proyek pengembangan sector pertanian pada Negara berkembang agar hasil pertanian di Negara berkembang dapat dialirkan ke Negara maju. Dengan kata lain, sector pertanian di Negara berkembang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Negara maju. 


II

Rezim soeharto menyadari bahwa beras memiliki nilai ekonomi, budaya sekaligus politik. Dengan kata lain, penguatan sector pertanian, khususnya beras, memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; menjaga harmoni, stabilitas dan integrasi nasional; sekaligus untuk mengamankan kekuasaan rezim orde baru. 

Awal paruh dekade 60 an, tingkat inflasi Indonesia mencapai 600 %. Sebagai penguasa baru, rezim soeharto dituntut untuk mengatasi permasalahan ini. Selain melakukan restrukturisasi jadwal pengembalian hutang dan mencari hutang baru, kebijakan orde baru diarahkan untuk menahan lonjakan harga beras. Kebijakan yang diambil adalah mengalokasikan 40 % APBN untuk sector pertanian. [3]

Pada tahun 1967, tingkat inflasi Indonesia berada dalam posisi 85 %. Untuk mengurangi laju inflasi, pemerintah menggunakan strategi pengendalian harga beras. [4] Pada titik inilah pemerintah dihadapkan pada 2 pilihan, lajur liberal atau lajur sosialis. Apabila memilih lajur liberal, maka harga beras diserahkan pada mekanisme pasar. Artinya, kewenangan pemerintah bukan dalam hal mengintervensi harga beras secara langsung, melainkan menjaga agar permintaan dan penawaran dapat berjalan secara sempurna. Sementara itu, apabila yang diambil adalah lajur sosialis, maka pemerintah mengintervensi langsung harga beras, baik itu melalui penyediaan berbagai macam subsidi, melakukan perencanaan stok, cadangan beras, dsb. Terkait dengan hal itu, pemerintah orde baru memilih lajur sosialis. 

Pada 1969 melalui Kepres No. 11/1969 mengenai pembentukan Badan Urusan Logistik (BULOG). Seperti yang tertera dalam kepres tersebut, program Bulog yakni: 1) mempertahankan harga minimum beras. 2) menjaga kestabilan harga beras agar tidak menembus tingkat maksimum.[5] Ditinjau dari sasaran dibentuknya Bulog, terlihat jelas bahwa pemerintah berusaha untuk mendistorsi pasar dengan cara mengintervensi pembentukan harga beras. 

Kepres No 11/1969 memperlihatkan bahwa pemerintah hendak melakukan pengendalian harga di tingkat minimum dan di tingkat maksimum. Yang dimaksud dengan harga minimum adalah harga beras yang dilepas oleh petani. Sedangkan harga maksimum adalah harga beras di pasar grosir. Kebijakan ini mendorong Bulog untuk menempati “posisi antara” diantara petani, penjual pengecer dan konsumen. Di sinilah Bulog memainkan peran yang sangat vital yaitu berusaha untuk mengatasi kecemasan dan memenuhi keinginan 3 pihak yang saling bertolak belakang.[6] 

Bulog membeli beras dari petani dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah sekaligus mengalirkannya pada penjual dengan harga yang juga ditentukan oleh pemerintah. Tantangan pemerintah selanjutnya adalah menetapkan harga minimum dan maksimum yang dapat menggembirakan pihak. Sebab, menetapkan harga beras selalu mengandung dilemma. Di satu sisi petani menghendaki harga beras yang tinggi, sedangkan di sisi lain, konsumen menghendaki harga beras yang tidak kelewat tinggi. Jika pemerintah tidak berhati-hati dalam menetapkan harga beras, maka ekonomi beras terancam macet.[7] 

Orientasi kebijakan pangan orde baru kemudian diarahkan pada penurunan harga beras dan stabilisasi harga beras. Untuk menurunkan harga beras, Departemen Pertanian mengintervensi harga factor produksi penanaman padi seperti seperti pemberian subsidi pupuk, pembunuh hama, air irigasi, penyediaan bibit unggul, alih teknologi dsb. [8] Sementara pemberian subsidi-subsidi ini menguras anggaran negara, Indonesia masih diselamatkan tuhan dengan adanya boom minyak bumi tahun 1973 yang menguntungkan Negara eksportir minyak seperti Indonesia.[9] 

Selain menurunkan biaya produksi dengan subsidi dan alih teknologi pertanian, langkah kedua yang diambil pemerintah selanjutnya adalah stabilisasi harga beras. Disinilah Bulog menunjukkan peran pentingnya. Bulog, ibarat tengkulak besar, memonopoli arus keluar masuk beras. Bulog mendirikan gudang-gudang penyimpanan beras di pelosok daerah. Gudang tersebut difungsikan untuk menampung beras yang dibeli dari petani dengan harga yang ditetapkan, dan menyalurkannya pada pasar dengan harga yang ditetapkan pula. Apabila cadangan beras di gudang beras secara nasional mengalami penyusutan yang signifikan, Bulog melakukan impor. Sedangkan apabila surplus, Bulog akan mengekspornya keluar negeri. Dengan cara memonopoli seperti ini, kesempatan tengkulak untuk memainkan harga beras menjadi minimal. Selain itu, kebijakan subsidi dan intervensi harga oleh Bulog juga menyebabkan petani merasakan keuntungan dalam menanam padi daripada menanam tanaman lain.[10] Tidak disangka kebijakan ini menjadikan Indonesia, untuk pertamakalinya dalam sejarah, mencapai swasembada beras pada 1984. Kedaulatan pangan di bidang pangan ini tidak dapat dilepaskan dari peran Bulog. 


III

Subsidi besar-besaran terhadap petani dan stabilisasi harga beras adalah kunci Indonesia dalam mencapai swasembada beras. Meskipun tergolong high cost, kebijakan-kebijakan pengedalian harga beras tersebut ditolong oleh menggelembungnya pendapatan Negara akibat boom minyak bumi sepanjang periode 1973-1980. Artinya, keberhasilan sector pertanian Indonesia bergantung pada keuntungan perdagangan migas nasional. Ketergantungan sector pertanian dari penerimaan migas ini dapat dilihat dari data statistic yang menunjukkan bahwa GDP beras menurun seiring dengan merosotnya harga minyak dunia. Terhitung sejak tahun 1980 hingga 1996, GDP dari sector pertanian merosot dari 3,9 % ke angka 2,2 %.[11] Semua ini menunjukkan bahwa seiring dengan berakhirnya kejayaan migas, berakhir pula kejayaan beras. 

Hanya dalam waktu 5 tahun, antara tahun 1981-1986, pendapatan Indonesia dari ekspor migas dan non migas anjlok tajam dari $25 miliar menjadi $15 miliar. Lantaran ekspor anjlok, anggaran Negara menjadi deficit. Langkah yang diambil pemerintah dalam menanggulangi deficit di antaranya adalah mendevaluasi rupiah, mengurangi subsidi dan meningkatkan terus utang luar negeri. Pada pertengahan tahun 1980, anggaran pemerintah lagi-lagi mengalami deficit. Untuk menutupnya, jalur utang sama sekali tidak lagi popular sebab Indonesia sudah menjadi salah satu Negara penghutang terbesar di dunia.[12] Namun langkah ini tidak mampu mengobati perekonomian Indonesia. Anjloknya penerimaan Negara dari sector migas dan beras memaksa pemerintah mencari cara lain untuk menggerakkan roda perekonomian. 

Sejak 1986, pemerintah mulai giat mengundang investasi asing. Untuk memudahkan jalan masuk investasi, pemerintah melakukan liberalisasi sector keuangan, mendegerulasi hambatan tariff import, dsb. Akhirnya, melalui PAKTO 1993, pemerintah melakukan deregulasi sector perdagangan, membuka kran investasi asing dan berancang-ancang untuk menggairahkan bisnis property. Dibukanya kran investasi asing ini mendorong gairah bisnis sector industri dan property. Pada gilirannya, lahan akan semakin menciut. Dan seiring ekonomi pertanian yang terlihat mulai impotensi, masyarakat desa mulai berpikir untuk menarik diri dari kegiatan pertanian. 

Pada kenyataannya ekonomi indonesia tak kunjung membaik. Nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin lemah. Perekonomian indonesia tidak lagi dipandang menarik oleh investor. Akhirnya, pada 1997, mulai terjadilah penarikan modal besar-besaran dari indonesia oleh para investor (capital flight). Ekonomi indonesia yang sejak 1986 sangat mengandalkan pada investasi asing tentu saja kolaps. Krisis ini ditutup dengan penandatanganan utang IMF dan berakhirnya kepemerintahan Soeharto.


IV

Berakhirnya boom minyak bumi menandai berakhirnya kejayaan perekonomian indonesia. Sementara itu, pasca anjloknya harga migas, anggaran Negara selalu mengalami deficit yang tajam. Inilah titik sejarah krusial yang mengubah wajah indonesia di tahun-tahun selanjutnya. 

Seperti telah dijelaskan, pilihan-pilihan kebijakan ekonomi nasional diarahkan untuk mengundang sebanyak-banyaknya investor asing, deregulasi, dan liberalisasi perbankan. Namun, harus juga diketahui bahwa kebijakan ekonomi soeharto sangatlah teknokratis, dalam arti sangat mengandalkan saran para teknokrat ekonomi yang berada di balik layar kekuasaan soeharto. Artinya, dalam melihat dinamika politik ekonomi orde baru, penting juga memperhatikan faktor “gagasan” ekonomi yang dipercaya oleh para teknokrat itu, dan “atmosfer gagasan” yang sedang berkembang di sekeliling teknokrat. 

Pada tahun 1990 an, muncullah sebuah trend baru dalam atmosfer gagasan mengenai pembangunan di dunia ketiga. Gagasan baru tersebut bernama good governance. Gagasan ini dibawa oleh lembaga donor asing seperti World Bank dan IMF. Worldbank meyakini bahwa, tata kelola pemerintahan yang terpusat pada Negara tidak akan membawa dampak yang baik bila masyarakat ada dalam posisi yang tetap lemah dan atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan. Maka, sejak tahun-tahun ini, bantuan yang digelontorkan oleh worldbank mulai bergeser dari pemberian bantuan kepada Negara menjadi pemberian bantuan kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil.[13]

Bagi Negara yang menerapkan gagasan ini, menurut Hayami, akan mengalami beberapa perubahan penting antara lain: 1) disiplin fiscal. 2) konsentrasi belanja publik pada barang publik. 3) reformasi pajak dengan memperluas basis pajak. 4) bunga bank oleh mekanisme pasar. 5) nilai mata uang kompetitif. 6) liberalisasi perdagangan. 7) keterbukaan terhadap investasi asing. 8) privatisasi perusahaan Negara dan daerah. 9) deregulasi pasar. 10) jaminan hukum kepemilikan. Dari semua poin di atas terlihat bahwa good governance adalah gagasan yang menghendaki peran Negara yang minimal dan pro terhadap pasar. Kenyataan bahwa pada tahun 1990 an kebijakan ekonomi indonesia mulai terbuka terhadap investasi asing, dengan demikian, tidak dapat dilepaskan dari gagasan good governance yang pada saat itu mulai dipromosikan. Lantaran kampanye good governance yang kelewat massif, dan penerapannya juga dipaksakan sebagai salah satu butir kesepakatan hutang Indonesia pada IMF, maka pada pasca reformasi banyak sekali BUMN yang mengalami reformasi. Termasuk Bulog


V

Sejak 1998, setelah ditandatanganinya perjanjian utang luar negeri dengan IMF, Indonesia diwajibkan untuk mereformasi kebijakan perberasan. Salah satunya adalah memangkas peran Bulog sebagai satu-satunya organisasi pengimpor beras. Hak istimewa ini kini juga dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta. Reformasi ini, selain karena memang paksaan dari IMF, juga merupakan upaya untuk melakukan “rasionalisasi” lantaran hegemoniknya gagasan good governance di Indonesia. Mungkin lantaran terlihat rasional inilah yang menyebabkan supervisi IMF di bidang perberasan begitu cepat disepakati oleh para pengampu kebijakan. 

Di bawah supervisi IMF, sector perberasan indonesia berubah menjadi sector yang paling terbuka, paling liberal di antara Negara-negara lain di dunia. Khudori mencatat, sejak diterapkannyya supervise dari IMF, harga beras indonesia tidak pernah stabil. Hal ini karena dipangkasnya peran Bulog dengan alasan ingin menerapkan prinsip good governance. Lebih jauh, selain kehilangan hak monopoli impor, sejak 1998, Bulog juga kehilangan hak memperoleh dana KLBI untuk membeli beras dari petani. Pembelian beras dari petani dilakukan dengan uang yang diperoleh Bulog dari peminjaman dana komersial. [14]

Sejak kehilangan hak-hak istimewanya, Bulog nyaris tidak dapat mengendalikan harga beras di pasar. Pada saat hak monopoli impor dihilangkan dari Bulog, indonesia seringkali mendapat boom beras dari Negara-negara tetangga. Pada tahun 2000, misalnya, pasar indonesia kebanjiran beras lantaran tidak ada hambatan sama sekali terhadap masuknya beras impor. Akibatnya, harga domestic turun drastic.[15] 

Disinggung di awal bahwa, petani sangat peka terhadap harga beras di pasar. Apabila harga di pasar tidak menguntungkna, maka petani pun mengurungkan niatnya untuk menanam padi. Demikian juga, bila Bulog kehilangan monopoli untuk melakukan staabilisasi harga beras, maka petani akan turut kehilangan vitalitas dalam memperkuat produksi beras nasional. Kalau petani sudah ogah menanam padi, maka ini merupakan kerugian besar bagi indonesia. sebab, 1) sebagai Negara agraris, akan sangat menggelikan bila republik ini mesti melakukan impor terhadap beras. Hal ini menunjukkan bahwa betapa republik ini tidak berdaulat. 2) cadangan beras nasional akan terus menerus merosot. 3) petani kehilangan lapangan pekerjaannya. Padahal, masih banyak petani yang menanam beras hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten. 

Di atas segalanya, agaknya pemerintah perlu sekali lagi memikirkan bahwa pemberian hak-hak istimewa pada Bulog merupakan kebijakan yang sangat tepat. Sekalipun Bulog hanya berperan sebagai stabilisator harga beras, nyatanya Bulog juga mampu merangsang petani untuk terus menanam padi dan meningkatkan produktivitasnya. Apakah ini merupakan sinyal bahwa good governance telah merosot prestisnya menjadi bad governance? 


ENDNOTES

[1] Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. Yogyakarta: Insist. Hal. 1 

[2] Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. Yogyakarta: Insist. Hal. 32-33

[3] Mubyarto 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Hal. 142

[4] Ibid. 141

[5] Ibid. 141

[6] Radius Prawiro 1998 Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatism Dalam Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 182

[7] Sejak zaman kolonial, orientasi kebijakan pemerintah sejak zaman colonial cenderung konsumensentris daripada petanisentris. Maksudnya, pemerintah sangat memperhatikan dan menjaga harga yang memuaskan konsumen daripada harga yang memuaskan petani. Sementara itu, petani memiliki sensivitas tinggi terhadap harga beras. Ia dapat terangsang untuk menanam padi bila marjin keuntungan antara biaya produksi dan harga minimum yang ditetapkan pemerintah menguntungkan dirinya. Kalau petani merasa tidak ada keuntungan maka bertani bisa ditinggalkan oleh petani. Ia bisa menjadi penganggur, atau beralih pekerjaan, atau mengorganisir diri untuk terlibat dalam protes. Yang pasti, bila petani tidak puas maka stabilitas dan cadangan beras nasional terancam. Sejarah Indonesia sejak zaman colonial hingga tahun 1960an telah mengajarkan pemerintah orde baru untuk berhati-hati mengendalikan harga beras. Oleh karena itu, ketika krisis beras terjadi lagi di tahun 1972, pemerintah sangat berhati-hati dalam menetapkan harga agar memuaskan petani dan konsumen. Lihat Mubyarto 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Hal. 143 & 148

[8] Radius Prawiro 1998 Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatism Dalam Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 184-186

[9] Mubyarto 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Hal. 144

[10] Radius Prawiro 1998 Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatism Dalam Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 183

[11] Adrianof Chaniago. 2001. Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES. 124

[12] Rizal Mallarangeng. 2008.Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG. Hal. 106-108

[13] Pratikno. Good Governance dan Governability. Dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UGM. Volume 8, No 3, Maret 2005. Hal 240

[14] Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. Yogyakarta: Insist. Hal. 255

[15] Ibid


No comments:

Post a Comment