Tuesday, January 22, 2013

PENDIDIKAN NIRLITERASI

Zamzam Muhammad Fuad

Dalam berbagai diskusi, serangkaian pendapat kusodorkan sebagai penjelas atas permasalahan yang terjadi di negeri ini. Kalau mengikuti teori strukturasi a la Giddens, permasalahan di republik ini bukan terletak pada struktur saja, juga bukan pada kultur saja. Lebih dari itu, permasalahannya terletak pada praktik –ruang di mana struktur dan kultur saling berbenturan dan mempengaruhi satu sama lain. Kepada banyak orang kukatakan bahwa praktik yang dimaksud antara lain: politik nirliterasi; ekonomi nirliterasi; bertetangga nirliterasi dan pendidikan nirliterasi. Semua praktik itu merupakan akar permasalahan menyelinap dan berjalin kelindan di balik segala permasalahan di republik. Tapi dalam tulisan ini, tak akan kubahas semuanya, melainkan satu saja: pendidikan nirliterasi.

Literasi yang dimaksud disini bukan sekedar buku, kertas, dan oleh karena itu, bukan sekedar membaca atau menulis. Berliterasi tidak hanya sekedar membaca –jika membaca hanya dimaknai sebagai proses untuk menjadi pintar. Karena, pada kenyataannya, membaca sendiri butuh pintar. Literasi yang dimaksud juga bukan hanya menulis –jika menulis hanya dimaknai sebagai “sub” dalam belajar. Karena sejatinya menulis adalah untuk belajar.

Mengambil hikmah dari Q.S Ali Imron 190, literasi yang kumaksud adalah aktivitas manusia yang sarat dengan kegiatan mengobservasi, memahami, menjelaskan, sekaligus mengendalikan tanda zaman. Medianya bisa bermacam-macam, bisa membaca, menulis, diskusi, menyendiri, meditasi, sambil tidur, sambil berdiri, jongkok, pakai baju, atau telanjang. Untuk ini, terserah metode macam apa yang mau digunakan. Apakah mengambil jarak dengan fenomen seperti kaum positivis, atau terlibat langsung dalam kehidupan yang hendak diamati a la kaum partisipatoris. Terserah. Yang jelas, pikiran diaktivasi untuk terus menerus berharap dan berusaha mendekati apa yang benar-benar benar (allahumma arinal haqa haq).

Kalau definisi literasi yang dimaksud adalah demikian itu, maka yang dinamakan dengan pendidikan nirliterasi adalah proses belajar/mengajar yang tidak memperlihatkan adanya aktivasi pikiran secara sungguh-sungguh untuk terus menerus berharap dan berusaha mendekati apa yang benar-benar benar. Melalui definisi ini kita akan menemukan banyak sekali contoh kasus pendidikan nirliterasi: mencontek, copy paste, beli skripsi, taklid buta teori barat, dan patologi-patologi yang lain. Bila kejadian ini tak dihentikan dari kebudayaan bangsa, maka sampai lebaran kerbau juga tak akan bisa pendidikan bakal mencerdaskan “kehidupan”. Mau pake KBK, CBSA, RSBI, RSBN, RSCM pada bae, nihil hasilnya. Jangankan kehidupan yang cerdas, orang yang cerdas saja tak akan lahir bila rahim kebudayaan republik ini adalah pendidikan nirliterasi.

Pendidikan nirliterasi tidak hanya menyerang lembaga pendidikan, namun juga pelajar/mahasiswa/guru/dosen. Lembaga pendidikan diserang virus pendidikan nirliterasi terlihat pada saat lembaga itu lebih mementingkan pembangunan gedung daripada vitalisasi perpustakaan. Bisa dilihat, seberapa sering ruang kelas di lengkapi AC/LCD, gedung rektorat dibikin tinggi mungkin sampe tingkat akherat, masjid dipermak, namun perpustakaan diabaikan. Lembaga pendidikan yang terserang virus ini selalu memiliki system untuk mendesak mahasiswa untuk lulus, tapi tak peduli kualitas kelulusan. Lembaga pendidikan seperti ini hirau pada skripsi tapi tak ada iktikad untuk mendesain system yang mampu menciptakan skripsi yang berkualitas. Meminjam bahasa Heru Nugroho, lembaga pendidikan nirliterasi adalah lembaga pendidikan yang peduli pada output tapi tak peduli pada outcome.

Virus pendidikan nirliterasi juga menyerang mahasiswa, dosen dan hubungan antara keduanya juga diserang. Mahasiswa yang terserang virus nirliterasi adalah mahasiswa yang datang duduk diam dengkur ketika kuliah. Mahasiswa seperti ini, seperti aku ini, mengerjakan tugas hanya untuk menggugurkan wajib. Plagiarism or not, tak peduli. Mengerjakan tugas sama sekali tak berhasrat untuk menantang teori, menelusuri dan memperbaharui trend keilmuan. Maka, ia tak butuh buku, tak butuh diskusi. Skripsi dikerjakan sejadinya, yang penting ijazah. Sama sekali tak terbersit niat untuk mencari tema baru yang belum ada di kampus –tema yang lama saja tidak tahu. Mahasiswa seperti ini tidak mau serius dalam belajar atau menulis tugas/karya ilmiah lainnya. Lhah, ngapain serius digarap kalau dosennya juga ga jamin baca.

Nah, dosen nirliterasi juga ada. Ia malas membaca tugas yang dikumpulkan mahasiswa. Jarang membuat karya ilmiah. Enggan menulis, apalagi memperbaharui disiplin ilmu yang digeluti. Ia lebih mementingkan persoalan pundi-pundi ekonomi daripada kualitas penelitian. Main sabet “proyek” penelitian, tak peduli kualitas penelitiannya kualitas teri atau cethol. Ia, kata heru nugroho, adalah “intelektual pengasong”. Daripada ribet ngurusi penelitian mengembangkan atau mengkritisi ilmu yang ia geluti, lebih enak jadi pengasong di parlemen jadi staf ahli, di kementrian atau kepresidenan jadi staf khusus, atau jadi konsultan proyek. Kampus dan mahasiswa praktis ia tinggalkan.

Dalam galaksi pendidikan nirliterasi, yang ada hanya capital. Lembaga pendidikan mengejar capital. Mahasiswa mengejar modal simbolik dalam bentuk ijazah yang harapannya bisa jadi uang. Dosen juga tak kurang hendak mencari pundi-pundi ekonomi. Uang menjadi incaran. Sekarang, kita teringat pada Marx –bagi yang ingat, dan kalau aku tak salah ingat: di depan capital, segala sesuatu yang padat akan meleleh ke udara. All that is solid melts into the air. Inilah sesungguhnya realita pendidikan kita. Inilah diskursus tentang intelektual Indonesia yang realis.

Buat apa kita melangit menuduh intelektual A adalah pengkianat intelektual, persis yang dikatakan Benda. Atau menuduh intelektual B adalah intelektual tradisional seperti Gramsci katakan. Di tempat lain, kita tuduh intelektual C komunis. Di kesempatan lain kita tuduh intelektual D titisan mafia Berkeley yang liberal. Dalam konteks indonesia, semua tuduhan itu agaknya kurang relevan. Lha bagaimana mungkin dituduh liberal kalau nggak ngerti kapitalisme itu sendiri. Dan bagaimana mungkin menuduh orang itu komunis kalau yang menuduh ga tau apa itu komunis. Tuduhan-menuduh semacam itu akan relevan jika para intelektualnya tak terjangkit virus nirliterasi. Lantas?

Ya! Benar semua yang terlibat dalam dunia pendidikan ini sudah terceramar virus liberalism. Baik itu lembaga pendidikannya, dosennya, mahasiswanya, semua liberal. Tapi bukan liberal sebagaimana liberalism yang didefinisikan oleh filsuf-filsuf itu. Persisnya, yang dikatakan liberal di sini bukan karena mereka menganut aliran fundamentalisme pasar atau tidak. Namun, liberal yang dimaksud di sini adalah liberal dalam arti bebas sak karepe udele dewe.

Dengan demikian, pendidikan nirliterasi adalah pendidikan yang segala kehidupan di dalamnya terus menerus mempromosikan liberalisme. Namun, Liberalism dalam arti liberalism without order. Atau dalam bahasa lain, pendidikan yang didalamnya sesak oleh kehidupan liberal tanpa liberalism. Atau cara jawane pendidikan yang di dalamnya berkembang doktrin uripo sak penak lan karepe udelmu dewe.

Arep nggarap tugas, sak karepmu; arep riset, sakarepmu; arep lulus, sakarepmu; arep moco, sakarepmu; arep nulis, sakarepmu; arep sinau, sakarepmu; arep nyontek, sakarepmu;

ra urusan, sing penting mbayar. %&^%$^%$%*&)()***&^%^%$#$J!&cuk!!!

No comments:

Post a Comment