Saturday, July 26, 2014

OPERASI ORIENTALISME DAN ORIENTASI GERAKAN ISLAM


Operasi Orientalisme dan Orientasi Gerakan Islam: Sebuah Tinjauan Kritis

Ringkasan
Belakangan ini negara berpenduduk muslim sedang menjadi sorotan banyak media di dunia. Bukan lantaran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Tapi justru malah karena dinamika politik internal negara yang tak kunjung stabil. Sementara itu, hampir dalam benak setiap pribadi muslim meyakini bahwa Islam akan berjaya sekali lagi. Akan tetapi, kejayaan yang seperti apa, masih ada dalam tanda tanya besar. Terkait dengan itu, tulisan ini hendak mencandra bagaimana sebenarnya “kejayaan” itu dimaknai dan dikonstruksi. Pemaknaan terhadap “kejayaan” ini penting karena mempengaruhi orientasi perjuangan gerakan Islam. Dari tinjauan singkat ini, beberapa kesimpulan muncul. 1) Makna kejayaan lebih condong mengarah pada membangun kembali imperium besar yang kuat dan luas. 2) Oleh karena itu, orientasi gerakan muslim adalah gerakan politik yang state oriented. 3) Dus, gerakan kultural dan gerakan ilmu nampaknya menjadi kurang diminati. 4) Dampaknya, ketidakstabilan politik di negara-negara berpenduduk muslim lebih menonjol daripada kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
 Latar belakang
Ada satu yang lazim dari gerakan Islam masa kini, yakni keyakinan bahwa Islam akan berjaya sekali lagi. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan sosio-historis bahwa Islam memang pernah memimpin peradaban manusia. Pada periode tahun 750-1258 M, sumbangan ilmu pengetahuan dari umat muslim tidak terhitung banyaknya. Islam menyumbang ilmuwan di bidang kedokteran, matematika, fisika, sosiologi, sejarah, dan filsafat. Sejajar dengan itu, luas kekuasaan Islam juga tak terkira luasnya, hampir mencakup seluruh lingkaran Mediterania, Afrika, Asia, hingga Indonesia.

Pada 1453, pusat kekuasaan Romawi Timur di Konstantinopel resmi menjadi daerah kekuasaan Islam setelah Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil mengusir kekuasaan Konstantin. Dilihat dari sudut pandang politik, penaklukkan Konstantinopel ini menandai kuatnya kekuatan Islam di dunia. Namun, harus juga diakui dari sudut pandang politico-history, penaklukkan Konstantinopel ini adalah awal dari kemunduran Islam sebagai imperium, dan kemunculan benih-benih imperium Eropa yang bakal menguasai hampir lebih dari 85 permukaan bumi.

Perubahan politik di Konstantinopel memaksa para pedagang Eropa untuk mencari jalur baru bagi perdangangan. Latar belakang inilah yang menyebabkan Diaz dan Colombus berlayar mengarungi samudra untuk menemukan jalur baru perdagangan menuju India, China, dan Asia Tenggara. Dan dalam proses pelayaran itulah, Diaz sampai di Tanjung Harapan Afrika dan Colombus sampai ke Benua Amerika. Penemuan daratan dan jalur baru inilah yang kemudian menghadirkan kesadaran baru bagi orang Eropa bahwa emas dan perak tak perlu dicari lewat jalur sutra.

Inilah tempo di mana orang-orang Eropa merampas kekayaan alam Amerika, hingga akhirnya mendatangkan aliran modal yang cukup deras. Inilah waktu di mana bangsa-bangsa Eropa mengangkut keuntungan dari Asia. Dan, aliran modal yang cukup deras menuju Eropa inilah yang menyebabkan ekonomi Eropa melesat sehingga bisa membiayai tumbuhnya embrio peradaban baru menandingi imperium Islam. 

Meluasnya kekuasaan Eropa yang berujung pada globalisasi, mengundang berbagai reaksi dari kelompok Islam. Hampir semua kelompok Islam mengritik (tepat di sini berarti ia telah menjadi gerakan Islam) bangunan peradaban Eropa yang tidak bersandar pada tuntunan wahyu Al-Quran. Sebab bagi mereka wahyu ditempatkan sebagai urusan pribadi tidak sebagai dasar menangani urusan-urusan publik (baca: sekularisasi). Oleh karena itu, kemiskinan merajalela, ketidakadilan global mencuat, konflik dimana-mana.

Gerakan Islam yang menentang hegemoni Eropa ini kemudian terbagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang mengkritik kekuasaan negara tidak berdasarkan syariah. Dari sudut pandang kelompok ini, kekuasaan Eropa dianggap telah mempromosikan sistem pemerintahan yang berdasar pada rasionalitas publik (demokrasi). Gerakan politik menjadi ciri khas pembela pendapat ini. Kedua, mereka yang mengritik sistem dan tata nilai kehidupan yang tidak berlandaskan pada nilai dan semangat wahyu. Dari sudut pandang ini, kebudayaan warisan eropa yang sekuler itu (pengetahuan termasuk di dalamnya) menjadi objek utama yang harus diperiksa, kalau perlu dirubah. Gerakan kebudayaan menjadi ciri khas pembela pendapat ini.

Bahan bakar dan semangat gerakan Islam dapat ditemukan dalam wahyu Al-Quran, dan pengalaman historis (Islam pernah memimpin peradaban). Dalam Al-Quran, umat Islam adalah umat terbaik yang datang untuk manusia. Alquran juga tidak menghendaki umat Islam hanya diam saja melihat kemungkaran. Lebih dari itu, umat Islam harus membentuk barisan yang kokoh dan teratur untuk  menyerukan kebenaran dan kebaikan. Semangat gerakan Islam tidak hanya datang dari wahyu, namun juga pengalaman sejarah di masa lalu.  Secara historis Islam pernah mengalami zaman keemasan. Dengan dua sumber inilah, imperatif bahwa Islam akan jaya sekali lagi menjadi bernyawa. Persoalannya adalah, kejayaan seperti apa yang hendak dicapai umat muslim sekarang? Kadang-kadang untuk menjawab tantangan  masa depan, kita sering menggunakan masa lalu sebagai referensi.

Bagaimana masa lalu dicitrakan dan diwariskan? 
Bagaimana masa lalu itu hadir sedikit banyak akan menentukan orientasi perjuangan-perjuangan kelompok Islam. Namun, karena orientalisme, dan barangkali memang warisan sejarah lainnya, informasi yang datang justru banyak bercerita tentang kejayaan Islam dalam hal luas imperiumnya, luas kekuasaannya, dalam hal rebut-rebutan kekuasaannya, dalam hal penaklukkannya. Bukan dalam hal warisan ilmu pengetahuannya. Hal ini bukan berarti sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan peninggalan ilmu pengetahuan Islam itu tidak ada. Namun semua ini lantaran umat Islam dibatasi pengetahuannya oleh berbagai macam kerangkeng diskursif yang datang beriringan dengan kekuasaan Barat.  Tulisan ini akan membahas soal ini perlahan-lahan.

Soekarno butuh cerita kejayaan majapahit untuk yakin bahwa Indonesia punya keniscayaan sejarah untuk merdeka. Soeharto butuh merekonstruksi wacana 30 september sebagai landasan bangunan rezimnya. Di sini informasi sejarah menjadi cerita yang tidak hanya hadir di masa lalu dan untuk masa lalu. Lebih dari itu, informasi sejarah bisa dibuat hari ini untuk kepentingan hari ini dan masa depan. Tepat disinilah sejarah bisa dijadikan instrument kekuasaan yang berkepentingan melanggengkan kekuasaan.

Begitu juga umat muslim kebanyakan. Kejayaan masa lalu  bisa jadi semangat dan citra untuk menentukan orientasi perjuangan. Ironisnya, informasi yang datang tentang sejarah Islam kebanyakan bercerita tentang perebutan kekuasaan antar dinasti Islam, penaklukan dinasti Islam terhadap teritori lain, kekecawaan satu dinasti terhadap lainnya, dst.  Sebaliknya, sangat sulit sekali mencari informasi tentang genealogi dan warisan pemikiran ilmuwan Islam di masa lalu. Dengan kata lain, sejarah politik lebih banyak hadir daripada sejarah kebudayaan dan pengetahuan. Terkait hal ini, mari lihat pendapat Azyumardi Azra ketika mengkomentari buku Ira M. Lapidus:
Walau Lapidus memandang perkembangan historis distingtif masyarakat-masyarakat muslim seperti itu, ia tidak tergelincir dalam penekanan yang berlebihan pada politik. sekali lagi, ia terhindar dari penyajian karyanya ini sebagai sebuah sejarah politik (history of politics), seperti lazim pada banyak buku sejarah Islam yang lain. Seperti diketahui, selama ini apa yang disebut sebagai sejarah Islam atau sejarah umat Islam adalah sejarah politik, sejarah tentang bangkit dan runtuhnya dinasti-dinasti muslim. Dari sudut ini, karya lapidus merupakan suatu bentuk “sejarah baru” (new history) yang juga sangat memertimbangkan perkembangan nonpolitik umat Islam atau tegasnya yang disebut sebagai perkembangan kultural distingtif tadi.

Dari kutipan panjang di atas, Azra melihat bahwa historiografi Islam ternyata lebih menekankan pada sejarah politik Islam, yakni jatuh dan bangkitnya dinasti-dinasti muslim. Padahal, Azra melanjutkan, sejarah peradaban tentu saja tidak hanya mengenai sejarah politik, namun juga sejarah kultural, intelektual dan keagamaan. Penekanan pada sejarah politik ini bukan tanpa dampak. Sebab historiografi yang seperti ini pada gilirannya akan berpengaruh pada orientasi gerakan Islam. Dus, gerakan politik akan lebih kental nuansanya daripada gerakan kebudayaan dan atau gerakan pengetahuan (dalam bahasa kita sering disebut dengan gerakan ilmu).

Untuk menguji hipotesa ini, saya berinisiatif memeriksa salah satu buku yang menulis tentang sejarah Islam. Sampelnya, saya pilih secara acak. Saya putuskan untuk memeriksa sebuah buku berjudul Islamic History, yang diedit oleh Laura Etheredge, terbitan Britannica tahun 2010. Dari judulnya, pembaca pasti memprediksi, buku itu tidak akan hanya bercerita tentang sejarah politik umat muslim terdahulu. Tapi jika dibuka lembar demi lembar, proporsi antara sejarah politik dan sejarah warisan pengetahuan peradaban Islam jelas tidak berimbang. Citra Islam yang dihadirkan dalam buku tersebut kebanyakan adalah mengenai pergantian-pergantian kekhalifahan; mengapa satu kelompok Islam membangkang terhadap dinasti penguasa; pergantian-pergantian dinasti. Sebaliknya, tidak diterangkan peran peradaban Islam yang berjasa melindungi dan mengembangkan warisan pengetahuan peradaban Romawi, Yunani, Cina, Persia yang pada saat itu empat imperium tersebut sedang dalam masa kemunduran.

Tujuan Islamic History  seolah-olah hendak menjelaskan pada pembaca, mengapa dunia Islam saat ini masih berkecamuk perang saudara, mengapa negara berpenduduk muslim justru malah banyak memproduksi teroris, mengapa negara berpenduduk muslim sulit melakukan demokratisasi. Dengan caranya, buku tersebut seolah menjawab: “begitulah, sejarahpun mengatakan bahwa mereka (peradaban Islam) lebih suka perang, suka berebut kekuasaan, suka berselisih paham.” Dengan tidak mengecilkan hasil kerja keras para penulis buku tersebut, saya harus mengatakan bahwa ideologi orientalisme terlihat masih sangat mencengkram kuat.

Edward Said, pahlawan teori paskakolonial berkata bahwa dalam humaniora Barat, Timur hampir selalu selalu dilukiskan dalam citraan-citraan negative. Citraan-citraan itu antara lain adalah masyakat timur yang bodoh, bar-bar, mengumbar nafsu binatang, suka perang, suka perempuan, dsb. Terkait dengan itu, kajian sejarah mengenai Islam –sebagaimana saya kutipkan di atas– cenderung mengetengahkan tema-tema politik perebutan kekuasaan antar dinasti, kekecewaan kelompok Islam satu dengan lainnya. Tema-tema ini hanya menyambung citraan-citraan Barat mengenai Timur yang sudah ada bahkan sebelum abad pertengahan eropa.

Sebagai perbandingan, mari kita cermati pandangan Ernest Renan mengenai Islam. Dalam salah satu ceramahnya di Universitas Sorbonne 2 abad silam, Renan pernah mengatakan bahwa ciri khas agama Islam adalah 1) selalu bertentangan dengan ilmu pengetahuan, 2) tidak cocok bagi berkembangnya semangat ilmu pengetahuan metafisika dan filsafat. Maksud dibalik pernyataan Renan itu jelas menandaskan bahwa Islam hanya peduli pada hal-hal yang sifatnya kekerasan, peperangan, politik perebutan kekuasaan, namun melupakan aktivitas intelektual. Terlihat jelas, ada kesinambungan antara gagasan Renan 2 abad silam dengan gagasan yang ada dalam buku Islamic History yang terbit di tahun 2010 itu. 

Historiografi Islam seperti ini menimbulkan dampak yang berbeda bagi peradaban Timur dan peradaban Barat. Bagi peradaban Timur, dunia Islam khususnya, mereka akan menyadari diri mereka ada di dalam pusaran kekecewaan dan dendam yang diwariskan oleh nenek moyang. Sebaliknya, bagi peradaban Barat Eropa, mereka akan mempertahankan citra bahwa peradaban islam adalah bagian dari peradaban yang memang dari sononya suka perang dan rebutan kekuasaan. Kecenderungan historiografi tentang Islam yang banyak menceritakan tentang sejarah politik, berdampak sampai sekarang.

Lantaran terpenjara oleh historiografi orientalisme, orientasi gerakan Islam menjadi gerakan politik yang  negara sentris. Ini karena, kejayaan Islam yang dihadirkan oleh sejarah adalah Islam sebagai imperium yang memiliki teritori kekuasaan sangat luas dan besar. Bukan Islam yang mewarisi ilmu pengetahuan bagi peradaban dunia. Makanya dalam praktik lapangan, usaha untuk kembali kepada kejayaan Islam diejawantahkan menjadi usaha-usaha politik –usaha-usaha merebut kekuasaan negara, usaha-usaha khas kaum imperialis– . Sementara itu, gerakan kebudayaan atau gerakan intelektual menjadi kurang menonjol. Inilah mengapa  gerakan politik “negara sentris” menjadi cenderung menonjol dalam gerakan Islam daripada gerakan ilmu. Hal ini tidak lain karena historiografi peradaban Islam condong mengkonstruksi sejarah politik Islam. Di titik ini, berlaku sebuah hukum: wacana menggiring realitas, bukan realitas yang menggiring wacana. Seperti yang dikatakan oleh M. Syafii Anwar:
Problemnya terletak pada fakta bahwa di luar problem-problem sosio-politik yang didiskusikan oleh para sarjana itu terdapat problem-problem menyangkut cara muslim menghayati pemikiran politik Islam normative. Sungguh pemikiran politik Islam bukan saja terikat terhadap pendekatan-pendekatan normative mengenai Islam dan negara, melainkan juga memengaruhi cara muslim bereaksi terhadap politik negara. Pandangan mengenai pemikiran politik Islam telah menciptakan perdebatan dan perbedaan-perbedaan opini di kalangan para sarjana muslim. Perdebatan ini tidak selamanya bersifat intelektual, tapi juga kerap direalisasikan dalam ke dalam praktik-praktik politik, terkadang bahkan mengarah pada kekacauan dan kekerasan.

Selain distorsi pengetahuan sejarah, ada lagi yang membuat gerakan Islam menjadi condong menjadi gerakan politik yang negara sentris. Yaitu pengalaman kolonialisme Eropa. Sejak Konstantinopel ditaklukkan, pedagang Eropa mulai tertantang untuk mencari jalur perdagangan baru. Pasifik yang tadinya masih gelap gulita, dijelajahi oleh para pedagang cum pengelana Eropa. Ditemukanlah jalur menuju Amerika, dan Asia via Samudra Pasifik. Ini artinya, orang Eropa tak perlu lagi melintasi dunia Islam jika mau ke China, India, atau Asia Tenggara. Tapi cukup mengambil jalan pintas lewat Samudra Pasifik. Lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini.

Gambar 2. Jalur perdagangan dunia sebelum Konstantinopel dikuasai Islam



Gambar 3. Jalur perdagangan dunia setelah konstantinopel dikuasai Islam


Penemuan benua Amerika dan jalur baru menuju India, China dan Asia Tenggara ini perlahan-lahan menyurutkan kekuatan ekonomi dunia Islam. Di Amerika orang-orang Eropa menemukan emas dan perak yang melimpah. Limpahan logam mulia ini kemudian di angkut ke Eropa. Dampaknya, menyebabkan harga perak dunia menjadi relative turun. Kenyataan ini merugikan belahan dunia Islam yang saat itu menyimpan banyak perak. Praktis, kekuatan ekonomi dunia Islam relative mengalami penurunan.

Jalur perdagangan menjadi sedikit berubah. Beramai-ramai orang Eropa datang mengeksploitasi Amerika. Pada saat yang sama, di Amerika terjadi wabah penyakit. Kejadian itu meratakan jalan bagi para pendatang Eropa untuk mengeksploitasi amerika.[1] Seiring dengan itu, emas, perak dan bahan-bahan pokok dari Amerika mengalir ke Eropa yang pada gilirannya menciptakan kekayaan bagi bangsa-bangsa Eropa. Kejadian ini menimbulkan dampak psikologis bagi bangsa Eropa. Dampak psikologis itu adalah munculnya gairah untuk mengkoloni wilayah lain, atau dalam terminologi Said disebut dengan “ideologi impresif”. Tumbuh kembangnya ideologi impresif di benak bangsa-bangsa Eropa inilah yang mendorong Belanda mengkoloni nusantara; Inggris mengkoloni India; Prancis mencari tanah jajahan di Afrika; Portugis dan Spanyol semakin kukuh di Amerika dan bercokol di Maluku dan Filipina. Praktik kolonialisme ini mengalirkan limpahan kekayaan ke Eropa. Hal ini pada gilirannya mendorong kemajuan iptek Eropa, yang sering kita sebut sebagai revolusi industri.

Semakin besarnya kekuatan Eropa di bidang ekonomi dan iptek ini memiliki efek langsung terhadap peradaban Islam yang berada di lingkaran Mediterania, Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Dengan cepat sekali bangsa-bangsa Eropa mulai mengukuhkan kekuasaannya di negara-negara berpenduduk Muslim. Spanyol dan Portugis berbagi tanah jajahan di Maluku dan Filipina; Belanda di Jawa; Inggris di India; Prancis di Algeria. Secara bergiliran Tunisia, Mesir, Sudan, Libya dan Moroko dikuasai oleh Prancis, Inggris, dan Italia. Setelah Perang Dunia I Inggris dan Prancis menjadikan Suriah, Lebanon, Palestina, Iraq dan Transjordan di bawah kekuasaannya. Sementara itu, teritori umat muslim di tanah Balkan, Russia, dan Asia Tengah jadi jatah kekuasaan Uni Soviet.

Dapat dipahami, mengapa umat muslim merasa tertekan oleh adanya kekuasaan politik baru yang datang dari Eropa. Masuk akal jika kemudian gerakan politik menentang kekuatan politik Eropa menjadi bersemi di dunia Islam. Kebutuhan menangkal kekuatan politik Eropa ini juga menjadi lahan yang subur bagi munculnya pemikiran politik Islam.

Di Asia Tenggara, umat muslim menentang Belanda; tariqah Sanusi melawan Italia; gerakan Mahdi di Sudan; tariqah Salihi di Somalia; dll. Selain itu muncul juga pemikiran-pemikiran politik yang memimpikan kembali persatuan arab di bawah bendera Islam. Munculnya pemikiran Pan-Arab merefleksikan romantisme kejayaan Islam sebagai imperium besar. Artinya, pengalaman dikoloni oleh Eropa memiliki andil yang besar dalam mengarahkan gerakan Islam menjadi gerakan politik yang cendrung negara sentris.

Di sinilah, “kembali pada kejayaan Islam” lebih condong bermakna upaya untuk menegakkan Islam sebagai kekuatan politik daripada kekuatan intelektual. Barangkali karena kecenderungan inilah, pendapat M. Abduh menjadi signifikan maknanya. Baginya, membangun kembali tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam akan lebih bermakna. Sebab, dalam pandangannya, kejayaan Islam masa lalu dicapai lebih karena masyarakat muslim secara kreatif menginterpretasikan Al-Quran dan Hadist untuk menjawab persoalan-persoalan di masanya.

Mengingat kembali warisan intelektual peradaban Islam
Pengetahuan tidak dapat diklaim oleh peradaban tertentu bahkan oleh agama tertentu. Logikanya sederhana. Pengetahuan datang lewat medium bahasa. Sementara itu, adakah satu peradaban yang boleh mengklaim telah menciptakan bahasa? Tentu tidak. Dalam terminologi alquran, bahasa, demikian juga pengetahuan, diajarkan oleh tuhan kepada Adam. Akan tetapi, tidak semua pengetahuan yang dimiliki manusia itu bisa menimbulkan efek baik bagi lingkungannya dan bagi manusia itu sendiri. Ini bukan lantaran tuhan telah mengajarkan kesesatan. Namun lebih karena manusia tidak mau mengoptimalkan inderanya, akalnya, hatinya, untuk melihat tanda-tanda kekuasaan tuhan. Oleh karena itu, manusia perlu untuk terus menerus memeriksa pengetahuannya, atau dalam bahasa Al-Quran, ia mesti terus menerus meminta kepada tuhannya supaya ilmunya ditambahkan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Al-Quran adalah wahyu yang menuntun manusia menuju kesempurnaan budi dan pikiran.

Dari sini dapat kita lihat spirit dalam ajaran Islam tidak mengajarkan manusia untuk berhenti berfikir. Maka akan sangat aneh jika peradaban Islam yang besar tidak memiliki tradisi intelektual yang kuat. Sebelum Islam datang dibawa rasulullah, perempuan disubordinasi dari laki-laki. Akan tetapi, setelah rasulullah datang, perempuan diwajibkan untuk menuntut ilmu. Dalam masa kejayaan Islam, madrasah adalah lembaga pendidikan yang ada hampir diseluruh belahan dunia Islam. Bahkan di Turki sudah mengenal sistem ijazahsebuah tanda bahwa seseorang sudah menempuh pendidikan yang cukup. Dalam dunia Islam abad 13, misalnya, ada kewajiban dalam undang-undang saat itu yang mewajibkan masyarakat untuk menuntut ilmu. Di masa kekhalifahan Al-Ma’mun, pendidikan diselenggarakan dalam suatu lembaga bernama Bayt al-Hikma. Model madrasah seperti ini jamak ditemukan di Khurasan, Suriah, dan propinsi-propinsi dinasti Ottoman seperti Anatolia, Balkan dan Kairo. Dalam lembaga-lembaga ini, pengetahuan warisan dari Yunani, Persia, Cina, India, diadopsi dan dikembangkan. Misalnya, Al Ma’mun memerintahkan para intelektualnya menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani. Penerjemahan ini juga dapat ditemukan pada saat masa kekhalifahan Al-Hakim, dinasti Fatimiyah.

Dari peradaban muslim ini juga muncul pemikir seperti Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Nadim, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd. Di bidang astronomi, Al-Battani membuat katalog tentang bintang-bintang pada tahun 880 M. Karya-karyanya berhasil mendorong kemajuan ilmu astronomi dengan teknik dan akurasi yang mencengangkan. Bahkan sampai abad 16, universitas di Eropa masih menggunakan karya-karyanya sebagai referensi utama. Di bidang astronomi pula para pemikir muslim menentang pendapat Aristoteles yang menggagas adanya gerak epicycle planet. Gagasan ini ditentang Ibnu Bajja dan Ibnu Rusyd. Penentangan terhadap epicycle ini kemudian menjadi bahan kajian bagi ilmuwan astronomi selanjutnya. Pada abad 13, ilmuwan Islam di Maragha memaparkan bahwa alam langit adalah kombinasi dari lingkaran-lingkaran yang seragam. Beberapa abad kemudian Copernicus mengadopsi gagasan tersebut. Di bidang matematika, Al-farabi menggagas pembagian antara matematika praktis dan teoritis. Matematika praktis fokus pada angka-angka yang digunakan untuk menghitung benada-benda. Sementara itu matematika teoritis fokus pada angka-angka abstrak.  Penerjemahan buku karangan filsuf kenamaan Yunani bernama Nichomaus ke dalam bahasa arab berjasa dalam mengembangkan ilmu matematika, geometri, astronomi. Ibnu Sina mengarang buku di bidang kedokteran berjudul Qanun fi’l – Tibb yang menjadi buku teks standar di Eropa selama lima ratus tahun. Sebetulnya masih banyak lagi ilmuwan Islam dan sumbangannya bagi peradaban dunia jika mau ditulis satu persatu. Tapi ini bukan tempatnya.

Kesimpulan
Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa kejayaan peradaban Islam terbukti tidak hanya ditandai dengan keberhasilannya membuat imperium yang luas. Jadi, kembali kepada kejayaan bukan hanya dapat dicapai melalui gerakan politik semata. Namun bisa juga melalui gerakan ilmu. Kenyataannya, negara-negara berpenduduk muslim sekarang tergolong negeri yang pendidikan dan kualitas pendidikan manusianya rendah (ihat dalam Gambar 4).

Gerakan ilmu harus diarusutamakan di negara-negara berpenduduk muslim. Sungguh, ilmu pengetahuanlah yang menjadi tulang punggung peradaban umat muslim. Hal ini terpantul dari kalimat indah dari Ibnu Al-Hajj, seorang hakim di Kairo yang hidup pada masa abad 14: Kala seorang intelektual meninggal dunia, seluruh makhluk ciptaan tuhan akan mengungkapkan dukacitanya, termasuk burung-burung di udara, dan ikan-ikan di lautan.

Gambar 4. Human Development Index 2012

















Referensi
Anwar, M. Syafi’I, Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana Dan Politik Pasca Orde Baru, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A. F (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam Di Bumi Nusantara, (Bandung: Mizan, 2006), 751-814
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, Dan Sejarah Pinggir, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A. F (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam Di Bumi Nusantara, (Bandung: Mizan, 2006), 3-29 
Blaut, J. M., The Colonizer’s Model Of The World: Geographical Diffusionism and Eurocentric History, (New York: The Guilford Press, 1993),
Etheredge, Laura S., Islamic history, (Newyork: Britannica, 2010)
Frank, Andre Gunder, World Accumulation 1492-1789, (New York: Algora Publishing, 1978)
Martin, Richard C., Encyclopedia Of Islam And The Muslim World, (Newyork: Macmillan, 2003)
Said, Edward.  Orientalism.  London: Penguin, 2003

Sumber gambar:



[1] Persentuhan orang eropa dengan orang amerika menyebabkan wabah penyakit cacar dan pes menjangkiti amerika. Tentu saja, orang amerika yang belum memiliki pengalaman penyakit yang sama, tidak memiliki sistem imun sebagaimana orang eropa. Seiring dengan tragedy penyakit yang melanda orang-orang amerika, orang-orang eropa semakin mudah menguasai, menaklukkan dan menduduki amerika.

No comments:

Post a Comment