Saturday, January 3, 2015

KEMBALI KE PERJUANGAN: SEBUAH ANALISIS SOSIOLOGI PENGETAHUAN TERHADAP GERAKAN MAHASISWA


Zamzam Muhammad Fuad

Gerakan mahasiswa sedang menerima banyak kritik, baik itu internal ataupun eksternal. Yang paling santer adalah mempersoalkan lunturnya energi perjuangan gerakan mahasiswa. Hal ini terlihat dari kurangnya produksi wacana alternatif yang diproduksi mahasiswa, minimalnya pembaruan aksi gerakan, sedikitnya jumlah anggota, dsb. Tulisan ini akan mencoba menganalisis permasalahan tersebut lewat pendekatan sosiologi pengetahuan. Pendekatan ini meyakini bahwa pengetahuan menjadi faktor determinan yang menentukan tindakan sebuah kelompok. Selain itu, sebagai alat analisa, sosiologi pengetahuan berusaha menganalisis pembentukan pengetahuan yang mengendap dalam benak kelompok sosial itu. Dalam tulisan ini gerakan mahasiswa dibayangkan sebagai kelompok sosial yang memiliki seperangkat sistem pengetahuan tertentu. Berubahnya tindakan mahasiswa diyakini lantaran ada perubahan sistem pemikiran dalam gerakan mahasiswa tersebut.


Alam berpikir gerakan mahasiswa hampir selalu ditandai oleh keyakinan ini: “dunia menyimpan hubungan yang eksploitatif. Dan tugas gerakan mahasiswa adalah melenyapkan hubungan yang eksploitatif itu”. Tanpa meyakini itu, gerakan mahasiswa akan bergeser statusnya menjadi club bermain atau komunitas senang-senang belaka. Hampir seluruh organisasi gerakan mahasiswa saya rasa tidak menolak posisi ontologis itu.


Lalu, siapa mengeksploitasi siapa? Jawabannya tergantung pada aspek sosiologis anggota organisasi gerakan mahasiswa itu sendiri. Jika organisasi gerakan mahasiswa itu didominasi oleh perempuan, misalnya, maka eksploitasi dibayangkan terjadi dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika organisasi itu didominasi oleh para pecinta alam, taruhlah begitu, maka eksploitasi dibayangkan terjadi dalam hubungan antara manusia dan lingkungan alam. Ada juga organisasi yang percaya bahwa ekploitasi terjadi dalam hubungan antara kelas sosial, borjuis dan proletar; eksploitasi dalam hubungan antara pasar dan negara; eksploitasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat; dan sebagainya.

Yang jelas, keyakinan bahwa dunia ini ditandai dengan eksploitasi inilah yang menjadi karakteristik gaya berpikir gerakan mahasiswa. Pembayangan akan adanya eksploitasi di dunia inilah yang saya namakan sebagai “imagined exploitation”. Dengan menggunakan istilah ini, saya tidak hendak mengatakan bahwa eksploitasi hanyalah citraan yang tidak berpijak pada kenyataan. Istilah itu saya gunakan untuk menekankan 1) seluruh organisasi gerakan mahasiswa berpijak pada keyakaninan bahwa di dunia ini ada eksploitasi; 2) bahwa setiap organisasi itu menafsirkan eksploitasi secara berbeda-beda.

Hampir semua organisasi gerakan, baik itu mahasiswa atau bukan, terdiferensiasi karena perbedaan dalam mendefinisikan imagined exploitation. Jika bukan karena itu, hampir pasti perbedaan ditentukan atas dasar perbedaan metoda penyelesaian eksploitasi, atau hal rimih timih yang lain seperti egoisme pimpinan atau perebutan sumber ekonomi. Akan tetapi, sekalipun organisasi-organisasi memiliki imagined exploitation sendiri-sendiri, ada garis persamaan yang bisa ditarik di masing-masing periode sejarah.

I
Akhir abad 19 hingga paruh abad 20 merupakan era saat nasionalisme indonesia mulai tumbuh kembang, khususnya di kalangan elit pribumi nusantara. Terdapat 5 keyakinan dalam nasionalisme yang sedang merambat itu, yaitu 1) keyakinan bahwa “kita” adalah satu bangsa. 2) keyakinan bahwa “kita” berbeda dengan “mereka”; 3) keyakinan bahwa “mereka” adalah penjajah yang menjadi sumber malapetaka bagi “kita”; 4) keyakinan bahwa “mereka” tidak berhak menjajah “kita”; 5) keyakinan bahwa “kita” bisa hidup lebih bahagia jika “mereka” menyingkir dari kehidupan kita. Virus nasionalisme tersebut mulai merambati beberapa elite pribumi nusantara ketika melakukan perjalanan ke eropa[1] atau timur tengah[2] –entah kepentingannya untuk belajar atau melakukan ibadah haji– atau lewat  membaca buku-buku, koran-koran tentang nasionalisme yang beredar atau dalam bentuk stensilannya hasil dari print capitalism[3].

Nasionalisme Indonesia mengambil bentuk yang unik sebab menerabas batas-batas pulau, bahasa dan kesukuan. Basis nasionalisme indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno, adalah perasaan satu nasib dijajah oleh bangsa kulit putih susu, Belanda. Dengan begitu semakin nasionalis pribumi nusantara, semakin luntur perasaan chauvinistiknya, semakin pudar perasaan sektarianismenya, namun semakin kuat kebenciannya pada Belanda. Namun betapa kecewanya kaum pribumi nusantara ketika hanya mendapati Indonesia dalam bentuk imaji, bukan dalam bentuk yang konkret. Sebab indonesia yang konkret adalah Hindia Belanda (Indonesia di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda). Indonesia yang konkret penguasa tertingginya adalah orang belanda, administrasi pemerintahannya, perkebunannya, pabrik-pabriknya, dimiliki oleh orang belanda dan eropa. Di tengah suasana inilah mulai muncul organisasi pergerakan kaum pribumi yang tujuannya adalah untuk menghancurkan negaranya sendiri. Sebab dengan cara demikian itulah kemiskinan kaum pribumi akan lenyap, sementara kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin akan muncul. Dengan begitu kita boleh katakan bahwa pada  tahun 1900-1945, imagined exploitation kaum pergerakan indonesia adalah mempersoalkan hubungan antara negara dan bangsa (antara Hindia Belanda dan Indonesia).

Setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjadi aktor politik yang amat populis bahkan mampu mengendalikan arah politik indonesia. Awalnya, soekarno terobsesi mendirikan partai tunggal dan juga membentuk partai yang berisikan kumpulan golongan fungsional. Namun gagal. Setelah 1960 soekarno mulai mengenalkan gagasan Nasakom dalam politik indonesia yang telah ia pikirkan sejak tahun 1928. Soekarno memobilisir kaum pergerakan untuk menerima haluan politik Nasionalis, Agama, Komunis. Satu hal yang paling perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Soekarno berusaha memobilisir kekuatan-kekuatan politik indonesia untuk melawan kekuatan imperialisme, khususnya imperialisme AS. Di bawah nasakom, partai komunis sekalipun terpaksa menanggalkan impiannya melakukan revolusi sosial[4] dan beralih memperjuangkan revolusi nasional[5]

Pada era kepemimpinan soekarno, kaum pergerakan berhasil dimobilisasi untuk mengalihkan energi revolusionernya untuk menangkal kekuatan negara lain yang masih mencoba untuk mengkoloni indonesia dengan cara apapun. Perlawanan terhadap neo-kolonialisme dan neo-imperialisme adalah agenda utama kaum pergerakan. Soekarno berhasil meyakinkan rakyat indonesia bahwa kesengsaraan rakyat indonesia disebabkan lantaran negara imperial terus berupaya menjegal kemerdekaan indonesia. Maka satu-satunya cara agar sejahtera adalah menghadang dan menantang negara-negara imperial. Visi ini berhasil ditransformasikan kepada hampir seluruh organisasi gerakan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa di bawah kepemimpinan Soekarno, imagined exploitation kaum pergerakan fokus mempersoalkan hubungan antara negara dan  negara (indonesia dan negara imperial, terutama AS).

Tidak seperti Era Soekarno yang penuh dengan sentimen terhadap imperialis, Soeharto justru mengandalkan bantuan negara imperialis dalam membangun rezimnya. Soeharto menjaminkan kestabilan politik bagi investasi asing di Indonesia. Hal ini berarti Soeharto harus memikirkan cara agar sentimen kaum pergerakan terhadap imperialis teralihkan. Lantaran membutuhkan bantuan modal dari negara manapun yang mau membantu, maka haram hukumnya menanamkan kebencian pada negara manapun. Akhirnya, Soeharto membuatkan sekaligus memobilisasikan sasaran kebencian pergerakan kepada “angin” atau barang tak kasat mata bernama ideologi komunis. 

Pendidikan, media, dan saluran-saluran komunikasi yang lain dikendalikan sedemikian rupa agar komunisme dapat diyakini sebagai  satu-satunya aral yang menghambat cita-cita kemerdekaan. Perang ideologi untuk sementara menandai imagined exploitation organisasi gerakan. Namun hal ini tidak lama sebab perlahan namun pasti organisasi gerakan tahu bahwa perang ideologi hanyalah kedok untuk menutupi korupsi, investasi asing dan hutang luar negeri besar-besaran, perampasan tanah adat, pengebirian kebebasan berpendapat. Tepat disinilah organisasi mahasiswa sadar betul bahwa negara-lah yang menjadi biang kebobrokan republik. Aksi malari 1974 merupakan tiang pancang munculnya imagined exploitation baru dalam benak mahasiswa, yakni keyakinan bahwa negara merupakan aktor kesengsaraan masyarakat indonesia. Dengan kata lain, imagined exploitation kaum pergerakan era orde baru terletak pada hubungan antara negara dan masyarakat.

II
Memasuki reformasi, persoalan di indonesia semakin sulit diurai dan diretas ujung pangkalnya. Di era neoliberal ini, indonesia digempur oleh korporatokrasi yang mampu mengendalikan pasar dan negara. Percampuran neoliberal dan demokrasi ternyata hanya menghasilkan menguatnya rezim pasar, membudayanya rezim konsumsi, namun menyebabkan banalitas intelektual. Kita semakin sulit saja mencari pemimpin yang pemersatu seperti soekarno, yang cerdasnya seperti hatta, yang berani seperti tan malaka, yang welas asih seperti dachlan, yang patriotik seperti hasyim asyari, yang santun seperti agus salim, yang sederhana seperti natsir. Yang muncul sekarang adalah pemimpin-pemimpin yang pertama-tama tunduk pada nafsunya sendiri, tunduk pada senior, kemudian tunduk pada istrinya, tunduk pada atasannya, dan akhirnya tunduk pada pasar dan pemodal besar.

Kita akan, dan sudah menyaksikan betapa tidak menariknya membeli banyak buku, membaca banyak buku, membuat banyak tulisan, berdiskusi, dan datang ke forum-forum kajian. Ini sama artinya dengan berpengetahuan sama sekali tidak ada gunanya. Inilah barangkali yang dibayangkan Al farabi sebagai peradaban jahiliyah, al mudun al jahilliyah. Dalam peradaban jahil, kata al farabi, menjadi manusia yang banyak tahu, sama sekali tidak berharga. Yang berharga kini adalah menjadi manusia yang banyak uang.

Sekarang sudah saatnya anggota gerakan mahasiswa menjadi intelektual yang sesungguhnya, bukan intelektual yang bohong-bohongan. Para anggota gerakan mahasiswa harus sadar bahwa kerja mereka adalah kerja intelektual, sebuah  kerja yang concern pada pembangunan “kesadaran” (conscioussness). Menjadi akademisi yang sesungguhnya berarti menegaskan dirinya masuk ke dalam speech community, komunitas yang gemar bergaul dengan permainan bahasa, simbol-simbol, dan diskursus. Para intelektual gerakan mahasiswa harus menjadi, mengutip Dhakidae, komunitas yang mempergunakan bahasa sebagai alat, modal, medium, untuk mengolah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya.[6]

Hari ini kita dicekoki oleh dilema manipulatif yang mempertentangkan antara teori dan praktik, antara diskusi dan aksi. Seolah-olah diskusi adalah pilihan tersendiri, begitu juga aksi. Masing-masing harus dipilih, sedangkan yang lain harus ditinggalkan. Sungguh itu adalah tipuan paling jahat yang dibuat oleh anonim untuk melemahkan kaum pergerakan. Kawan-kawan, pertentangan itu bohonglah adanya. Kemampuan ilmiah dan amaliyah 2 hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam hal ini, yang paling awal harus dibangun adalah kemampuan ilmiah. Mari berkaca kepada para founding father, sebagai orang yang tidak diragukan lagi “berpraktiknya” pada awalnya mereka membuat studie club (Perhimpoenan Indonesia; Studie club surabaya; studie club bandung dsb). Mahasiswa angkatan 1998 juga menikmati rumusan tersebut. Dikunci di dalam kampus oleh rezim orde baru, justru menyuburkan kegiatan diskusi internal kampus. Semua ini membenarkan perkataan Daoed Joesoef, mahasiswa harus terlebih dahulu menjadi man of analysis sebelum menjadi man of public figure.

Kiat menjadi man of analysis sederhana saja, yaitu menjadikan kegiatan diskusi, membaca dan menulis sebagai denyut utama kehidupan mahasiswa. Sebab, di saat intelektualitas digugurkan, maka aktivisme pergerakan menjadi kering, basi, katrok. Lihat saja, aksi-aksi solidaritas dan atau pembelaan kaum lemah nampaknya hanya titipan politisi atau sekedar agar tak dicemooh senior. Anggota organisasi kemahasiswaan hanya berani mengulangi apa yang dilakukan oleh seniornya. Tidak berani kreatif keluar dari kotak. Yang mereka lakukan hanyalah menjaga hati sang senior, agar tak diperlakuan buruk oleh senior. Menyedihkan. Lantaran itulah pemikiran menjadi jumud, tidak berkembang.

Cek saja dalam benak kita sendiri-sendiri. Bukankah kita sudah seolah-olah tuntas kewajibannya ketika sudah melakukan demonstrasi? Ada kelegaan di sana, bukan lantaran pembelaan terhadap rakyat kecil, namun lantaran telah berhasil melakukan apa yang sejarah telah lakukan, yang senior telah lakukan. Betul bahwa kita tidak boleh lupa sejarah, tapi gerakan kita harus tetap refleksif. Membuka ruang-ruang pemikiran baru, aksi-aksi baru untuk menyambut tantangan-tantangan baru. Disinilah tajdid diperlukan. Lalu apa tawaran saya?

III
Memusuhi rezim neoliberal. Seperti sudah disampaikan, imagined exploitation merupakan penanda utama organisasi gerakan mahasiswa. Di era menjingkraknya neoliberal, korporasi-korporasi adalah pemain yang mampu mengendalikan arah pembangunan politik, ekonomi dan budaya.[7] Rezim neoliberal di bidang politik adalah menempatkan pemimpin-pemimpin titipan di dalam pemerintahan. Ketika pemimpin tersebut sudah menduduki kursi-kursi penting nan strategis, deregulasi akan diberlakukan. Ini seperti tesis Herry B. Priyono bahwa neoliberalisme adalah menyerahkan seluruh sendi kehidupan bernegara kepada pasar, namun prosesnya membutuhkan peran negara.[8] Dengan kata lain, dalam proses menuju negara neoliberal, akan ada fase di mana negara akan melumpuhkan dirinya sendiri.

Di ranah ekonomi, neoliberalisme akan ditandai dengan adanya praktik kartel yang memonopoli pasar. Kartel adalah kumpulan korporasi-korporasi asing yang saling bekerjasama untuk melawan demokrasi ekonomi. Dalam konteks ini, korporasi-korporasi dengan segala cara akan mensubordinasikan kekuatan ekonomi produktif masyarakat. Ekonomi akan digenjot dalam jalur paradigma pertumbuhan ekonomi bukan paradigma pemerataan ekonomi. Artinya, investasi dan konsumsi perkapita akan menjadi tolok ukur perekonomian suatu negara. Dengan begitu, kita akan melihat serbuan investasi asing dan kebanjiran produk asing dalam skala yang amat besar. Semakin benar saja masyarakat indonesia hanya akan menjadi penonton melihat kompetisi ekonomi bangsa lain. Dan dengan sendirinya akan menjadi kulinya bangsa-bangsa. Dalam ekonomi neoliberal, masyarakat akan semakin tersudut oleh gempuran korporasi raksasa. Tingkat produktifitasnya akan sangat lemah mengingat perbankan juga lebih senang melayani para pebisnis besar yang jumlahnya sedikit, daripada masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya lebih kecil. Di sisi lain, negara tidak berfungsi sebagai pantia kesejahteraan lantaran sudah terbeli oleh korporasi ketika pemilihan umum. Maka subsidi tidak dimaknai sebagai instrumen menuju demokrasi ekonomi melainkan beban ekonomi negara yang harus dipangkas.

Di bidang pendidikan, neoliberalisme akan masuk melalui reformasi kurikulum. Kurikulum dalam fakultas ekonomi semakin didominasi oleh buku dan pengajar yang mengamini rezim pasar. Dalam telaah Sri Edhi Swasono, hal ini dibuktikan dengan seringnya pengajar dan fakultas memberikan materi pengantar ekonomi karya Samuelson. Padahal di buku tersebut, tidak ada satupun istilah cooperativism, yang ada hanyalah competitiveness. [9] Dengan begitu tidak ada kewajiban bagi  perusahaan besar mengajak kerjasama masyarakat kecil untuk membangun ekonomi bersama. Sebaliknya, yang ada hanyalah kewajiban perusahaan besar untuk berkompetisi terhadap siapapun termasuk kepada masyarakatk ekonomi golongan lemah. Sialnya, ilmu politik, ilmu yang fokus mempelajari hubungan kekuasaan, trend-nya justru mengarah menuju kajian postmodernisme. Pembahasan ekonomi politik menjadi kurang laku. Dengan demikian berarti ilmu politik sedang dan akan melakukan pembiaran terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh rezim pasar terhadap masyarakat indonesia.

Dari berbagai pertimbangan di atas, gerakan mahasiswa perlu menjadikan rezim neoliberal sebagai musuh bersama.  Permusuhan terhadap rezim neoliberal sudah dilakukan oleh banyak gerakan mahasiwa. Akan tetapi, hal ini belum ditegaskan dalam linisejarah masa kini. Lantaran belum dipertegas, maka pola gerakan dari gerakan mahasiwa kesannya sporadis. Gerakan mahasiswa harus benar-benar menyadari bahwa di tahun 2015 nanti, indonesia memasuki pasar bebas ASEAN. Ada keniscayaan indonesia akan menjadi diserbu investasi, produk, tenaga kerja asing. Menempatkan rezim pasar bebas dan neoliberalisme sebagai musuh bersama bukan suatu hal yang usang. Kecuali jika memang identitas kebangsaan kita benar-benar sudah luntur.





[1] Robert van Niel, 2009, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya
[2] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan
[3] Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[4] Gerakan politik yang mempersoalkan hubungan antar kelas
[5] Gerakan politik yang mempersoalkan hubungan antar bangsa
[6] Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia
[7] John Perkins, 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi, Jakarta: Ufuk Press.
[8] Yudhie Haryono dkk, Ekonomi-Politik Pancasila, Jakarta: Kalam Nusantara.
[9] Sri-edi Swasono, 2003, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM.

No comments:

Post a Comment