Sunday, March 22, 2015

MELAWAN KECULASAN KOLONIAL: BELAJAR DARI DIPONEGORO


Zamzam Muhammad

Sekali berarti, sudah itu mati
(Diponegoro, Chairil Anwar)

Bahwa kesadaran sejarah bangsa ini berada dalam titik kronis merupakan hal sudah banyak diketahui. Namun upaya mengatasi persoalan itu tak pernah mati. Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP yang berkomitmen untuk menciptakan pemimpin masa depan Indonesia telah berhasil mengadakan acara  bertajuk “Melawan Keculasan Kolonial: Belajar Dari Kekalahan Diponegoro” pada 14 Maret 2015 lalu. Prof. Dr. Peter Carey diundang langsung untuk memberikan ceramah yang sangat menggugah tentang perjuangan dan perjalanan hidup Diponegoro.

Dalam ceramahnya Carey memberikan rambu-rambu yang menghentak historiografi Indonesia. Selama ini, informasi sejarah yang datang pada kita perihal sebab perang Diponegoro sangat bias kolonial, seperti tanah yang dipatok atau Diponegoro tidak mendapat jatah kekuasaan kesultanan (jatuh pada adiknya). Carey berpendapat bahwa sejarah seperti itu terlihat seperti menyederhanakan masalah. Sebab, ada problem sosial politik dan ekonomi yang parah sedang dialami masyarakat Jawa –terkhusus bagian selatan– saat itu.

Sejak Daendels datang, stabilitas sosial politik dan ekonomi di Jawa terganggu. Daendels secara sombong menurunkan derajat raja-raja lokal dengan undang-undang sopan santun. Daendels mewajibkan para residen (orang Eropa) tidak perlu lagi menunjukkan simbol-simbol penghormatan terhadap otoritas kekuasaan lokal. Daendels juga meminta dengan paksa hak atas kepemilikan tanah di Jawa. Selain itu dia juga memaksa masyarakat Jawa –utara khususnya– untuk bekerja membuat jalan raya pos dari anyer-panarukan demi kepentingan kolonial. Ini merombak total visi pembangunan di Jawa yang tadinya utara-selatan, menjadi barat-timur.

Tidak lama berselang, kekuasaan Inggris datang ke Jawa. Raffles sebagai pemimpin kolonial Inggris di Jawa sempat berupaya untuk mengembalikan kewibawaan raja lokal. Kebijakan-kebijakan ekonomi Raffles nampak lebih liberal daripada Daendels. Ia memperbolehkan siapapun (orang Eropa terutama) untuk menyewa tanah-tanah di Jawa. Hak atas pemanfaatan kayu hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan secara bebas oleh masyarakat Jawa, diprivatisasi oleh orang-orang Eropa. Jadilah pribumi lokal kehilangan banyak pekerjaan dan menjadi kuli upahan. Jadi, sekalipun nampak liberal, kebijakan ekonomi Raffles sama saja: Kolonial! Sebab menjadikan kekayaan nusantara sebagai lumbung yang mensejahterakan orang-orang asing dan memiskinan kaum pribumi. Kekuasaan Raffles di Jawa tidak lama. Belanda datang lagi mengibarkan bendera kerajaannya di tanah Jawa. Bukannya lebih baik, kehidupan sosial politik ekonomi di Jawa lebih hancur lebur daripada yang sudah-sudah.

Latar belakang seperti itulah yang kemudian dilupakan dalam historiografi Indonesia. Diponegoro, kata Carey, yang mendapatkan ramalan bahwa dialah satu-satunya Pangeran yang mampu mengembalikan tata moral Jawa sebagaimana sebelum kolonialisme Eropa mengalami pendalaman (pra-daendels) tampil ke muka. Isu yang dibawa oleh Diponegoro sangat berbeda dengan perlawanan-perlawanan pribumi sebelumnya. Diponegoro berhasil mengidentifikasi bahwa persoalan Jawa bersumbu pada datangnya pada kolonialisme Eropa. Maka, ia menghendaki agar orang Eropa hengkang, atau paling tidak, tidak menjadi penguasa utama di Jawa. Orang-orang Eropa dipersilakan untuk hidup di Jawa asal statusnya tidak lebih dari sekedar pedagang. Diponegoro juga membawa misi ingin membersihkan moralitas kesultanan yang dianggap sudah menyimpang jauh dari moral islam.

Apa yang bisa diambil dari riset Carey tentang Diponegoro yang menelan waktu hampir 40 tahun ini adalah bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah agenda utama jika ingin mengembalikan kejayaan nusantara. Masyarakat Nusantara menjadi miskin puluhan turunan karena posisinya secara sosial ekonomi politk ada dalam ketiak kolonial. Riset Carey juga memberi pelajaran pada kita bahwa persoalan internal masyarakat nusantara adalah perebutan kekuasaan dan elitisme. Perjuangan Diponegoro rupanya kurang didukung oleh penguasa inti Jawa pada saat itu. Sebab para penguasa hanya sibuk mencari aman dan kekayaan yang semu. Hal ini diperparah, di akhir Perang Jawa Diponegoro kehilangan dukungan dari para sahabat-sahabatnya.

Jika kita belajar dari sana, maka pekerjaan rumah bangsa ini adalah “persatuan” dan “perlawanan melawan neokolonialisme”. Dua pelajaran ini semakin penting mengingat elit-elit kita sekarang yang gemar mempertontonkan saga (pertarungan) perebutan kekuasaan yang didanai dari pengobralan tanah air kepada korporasi asing. 

No comments:

Post a Comment