Thursday, April 7, 2016

SIAPA KELAS MENENGAH KINI?


Zamzam Muhammad Fuad

Review buku In Search of Middle Indonesia,
Penulis: Gerry van Klinken (ed),
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, 2016

Pertanyaan itu sering menggoda perhatian para ilmuwan sosial. Apalagi di alam demokratisasi seperti sekarang, kelas menengah tidak pernah bisa untuk diabaikan perannya dari setiap peristiwa yang terjadi. Buku berjudul In Search Of Middle Indonesia berusaha untuk memotret perkembangan terkini dari kelas menengah di indonesia.
Dalam literatur demokrasi kebanyakan, kelas menengah disebut sebagai penentu masa depan rezim pemerintahan demokratis. Kelas inilah yang menjebol kekuasaan kaum bangsawan feodal, rezim otoritarian, dan menggantinya dengan pemerintahan yang lebih demokratis. Rezim pemerintahan yang mendaku demokratis juga masih menggantungkan kestabilan rezimnya kepada kelas menengah ini. Sebab, kelas menengah ini dapat mendorong perubahan kekuasaan ke rezim demokratis yang lainnya. Siapakah kelas menengah yang hebat ini?

Menjelaskan tidak semudah mengatakan. Kelas menengah sulit untuk dijelaskan dengan definisi yang bisa digunakan di segala tempat, lintas ruang dan waktu. In Search, misalnya mengkhususkan perhatiannya pada dinamika kelas menengah di kota menengah. Dalam usahanya tersebut, muncul sebuah definisi konseptual tentang kelas menengah yaitu, kelas yang memiliki kecenderungan politik melawan elite politik nasional sambil memilih berjejaring bersama rakyat di daerah.

Meskipun definisi konseptual ini nampak meyakinkan, tapi akhirnya jatuh juga dalam kutukan “ketidakmemadaian definisi konsep kelas menengah”, sebagaimana juga dialami oleh para perumus konsep kelas menengah. Definisi konsep dari van Klinken kurang mampu memotret adanya kelas menengah yang sebenarnya tak kalah menengah daripada kelas menengah versinya.

Dalam In Search, Klinken tidak memasukkan kaum cendekiawan sebagai kelompok yang dianlisis dalam bukunya. Tapi di sisi lain, kita sulit mengeluarkan akademisi dari kategori kelas menengah. Kenyataan ini bisa menganulir prinsip koherensi teori van Klinken dengan kenyataan yang terjadi. Kalau demikian halnya, muncul suatu kesan begini: van Klinken tau akademisi itu kelas menengah. Akan tetapi tidak mau menganalisisnya karena dapat mengancam kesahihan teori kelas menengahnya. Sebab, akademisi sesungguhnya sedang terbelah, yaitu antara yang melawan kuasa politik-ekonomi nasional sambil membela penguasa lokal. Dan ada juga yang tidak melawan kuasa politik-ekonomi nasional sambil melawan penguasa lokal, dan ada juga yang melawan kuasa politik-ekonomi nasional sambil melawan kuasa politik lokal.

Oleh karena itu, daripada menggunakan definisi kelas menengah, saya lebih setuju dengan istilah kelas perantara, kelas politik, yang sebenarnya sudah muncul dalam lamat-lamat dalam buku tersebut. Kelas perantara merujuk kepada para broker proyek, sementara itu kelas politik merujuk pada kelas yang hidupnya bergantung atau mengandalkan pada akses pada negara, entah itu digaji negara seperti pegawai negeri sipil, atau mendapat proyek-proyek atau konsesi-konsesi dari negara.

Menggunakan kategori kelas politik cukup membantu dalam menganalisis stabilitas rezim di indonesia. Hal ini mengingat, keberadaan kelas borjuis yang tidak beririsan dengan kelas politik sangatlah lemah. Kalau tidak percaya, silakan cermati dan analisis adakah pengusaha menjadi besar tanpa bantuan negara? Iklim wirausaha di Indonesia sangat diwarnai dengan cara-cara yang tidak kompetitif, non-pasar, feodal. Oleh karena itu, istilah katebelece, nyogok, orang dalem, sering terdengar dalam bahasa jual beli kita. Maka, jika para borjuis ini tidak mendapatkan bantuan dari negara, maka ia beramai-ramai akan menggoyang status quo. Sebaliknya, jika telah merasa dibantu negara, ia akan diam menyembunyikan seluruh huruf yang dimiliki manusia sedunia.

Bukan berarti In Search tidak pantas dibaca. Barangkali inilah buku pertama berbahasa Indonesia, yang secara meyakinkan berusaha menggambarkan kelas menengah Indonesia, ketika negeri ini mengalami pendalaman demokrasi, globalisasi, sekaligus desentralisasi **

No comments:

Post a Comment