Saturday, February 20, 2016

REVIEW BUKU: NASIONALISME DAN REVOLUSI INDONESIA (1)

Zamzam Muhammad Fuad

Judul Buku: Nasionalisme dan Revolusi
Penulis: Georg McTurnan Kahin
Penerbit: Komunitas Bambu


Tulisan ini berusaha untuk mereview buku berjudul nasionalisme dan revolusi karya Georg Kahin. Buku ini sangat penting artinya bagi perkembangan wacana politik dan praktik politik di Indonesia. Sebagaimana ditulis oleh Simon Philpott, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia merupakan salah satu wacana yang membentuk Indonesia. Tantangan utama Kahin dalam buku itu adalah menjawab pertanyaan tentang bagaimana kemerdekaan Indonesia terwujud. Siapa pemain-pemainnya. Apa wacana yang saling bersaing. Dinamika sosial apa saja yang sedang terjadi. Di tangan Kahin, ide, orang, kejadian, saling mengisi satu sama lain, yang akhirnya membentuk apa yang dinamakan dengan sejarah.


Jika revolusi lahir dari akumulasi ketidakpuasan, maka demikianlah kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana Marx yang menubuwahkan revoulusi proletar yang akan terjadi seiring dengan memuncaknya akumulasi penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis. Selama dijajah VOC dan Belanda (kompeni), masyarakat Indonesia mengalami proses pemiskinan massal, dan proses diferensiasi kekayaan berdasarkan darah keturunan.

Sejak awal kedatangannya di Nusantara, niat kompeni adalah menguasai perdagangan hasil bum. Pada mulanya adalah rempah-rempah. Kemudian menyusul produk perkebunan lain dan pertanian. Bagi orang-orang Eropa, komoditas tersebut sangat berharga. Bahkan menurut data yang didapat dari pameran “Jalur Rempah” di Museum Nasional 2015 lalu, produk rempah-rempah harganya pernah puluhan kali lipat lebih banyak daripada emas. Maka pernah muncul diktum, barangsiapa menguasai rempah-rempah, maka ia akan menguasai dunia. Menguasai berarti harus mampu mengontrol dan mengorganisasi produksi dan distribusi. Dalam kerangka berpikir seperti inilah kompeni menjalankan praktik eksploitasi ekonominya.

Kompeni mengajak para raja-raja lokal untuk sama-sama memaksa petani menanam produk pertanian tertentu dengan jumlah tertentu. Petani juga dibebani berbagai macam pajak. Keuntungan yang tidak seberapa, kebutuhan hidup yang semakin meningkat, ditambah dengan pajak yang semakin membebani membuat petani terjerat hutang. Para petani berhutang dengan bunga tinggi pada orang Cina dan penguasa lokal, yang pengembalian hutangnya dapat dibayar dengan hasil pertanian (sistem ijon). Dalam kondisi seperti ini, bekerja dan berhutang menjadi tidak ada bedanya. Sebab, bekerja adalah untuk menambal hutang. Sedang berhutang adalah untuk modal bekerja. 

Dalam struktur kekuasaan kolonial, pemerintah kompeni menempati struktur paling atas. Namun untuk membendung gejala psiko sosial xenophobia, melawan pada yang asing, dalam benak pribumi tertindas, kompeni mengecer sebagian kecil kekuasaannya kepada para penguasa lokal. Para penguasa ini menjadi kaki tangan kompeni dan menjadikannya sebagai aktor yang bersentuhan langsung dengan kaum pribumi tertindas dalam sistem eksploitasi kolonial kompeni. Dipimpin oleh orang asing tentu berbeda dengan dipimpin orang sendiri. Untuk menjalankan sistem ini, kompeni mengajak para raja lokal, adik-adik raja, dan kerabat raja sebagai tangan kanan kepercayaan. Oleh kompeni mereka diberi banyak keistimewaan, seperti gaji, perlindungan keamanan dan pewarisan jabatan pada anak kerabatnya selama tujuh turunan.

Dalam kehidupan kolonial, kesejahteraan ekonomi mengikuti aliran kekuasaan kompeni. Semakin banyak seseorang mendapatkan aliran kekuasaan kompeni, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan uang. Di Indonesia masa kolonial, kekuasaan menentukan kesejahteraan, kekuasaan menentukan ekonomi, orang berharta, jika ia berkuasa. Dengan kata lain, ia kaya hanya ketika ia mampu mendapatkan kuasa, dan memanfaatkannya untuk meraup kekayaan. Logika Marx terbalik-balik di sini. Dalam logika Marx, Capital= Money-Comodity-Money. Namun kenyataannya, di Indonesia masa kolonial, bukan uang yang hadir duluan menciptaan rantai kapital. Namun kekuasaan yang menentukan uang. Money doesn’t create money, power create money. Uang tidak menciptakan uang, melainkan kuasa yang menciptakan uang. Karena logika Marx tentang kapital tidak berlaku, dengan kata lain, kapitalisme (sekaligus budaya kapitalisme tentu saja) juga tidak berlaku di Indonesia masa kolonial.

Dibandingkan dengan seluruh total rakyat pribumi, hanya sedikit saja dari mereka yang mendapatkan eceran kuasa dari kompeni. Sehingga, kemiskinan, ketidaksejahteraan muncul di mana-mana. Mereka sulit bangkit secara ekonomi karena akses menuju kekuasaan sangat sedikit, dan itupun sudah diisi oleh para adik dan kerabat raja-raja, dan keturunan-keturunan mereka. Mereka yang beruntung akhirnya hanya mampu menjadi buruh serabutan yang miskin tujuh turunan, karena uang penghasilannya tdak mampu dijadikan komoditas untuk menghasilkan uang (kapitalisme tidak berlaku di sini), dan juga karena mereka sudah terjerat hutang berbunga tinggi. Maka, bukannya logika kapitalisme yang berlaku di sini, melainkan logika subsistensi: yaitu money for food, food for survive –uang untuk makan, makan untuk hidup–.

Himpitan hidup yang dirasakan oleh masyarakat pribumi menimbulkan gelombang ketidakpuasan. Akan tetapi tidak semua ketidakpuasan berujung pada aksi protes. Belanda menggunakan orang pribumi untuk meredam konflik. Sebaliknya, semangat perlawanan semakin menyala ketika kaum pribumi dipimpin langsung oleh kompeni. Kaum pribumi tertindas agaknya percaya bahwa para pemimpin pribuminya (para raja, priyayi, volksraad –DPR pribumi) pasti melindungi mereka. Ketertindasan sudah menjadi kondisi objektif bagi terjadinya perlawanan. Tapi itu urung terjadi karena belum ada yang pemimpin yang mengawali. Ibarat rumah sudah terguyur minyak. Kalau tidak api, ya tidak akan terjadi apa-apa. Tapi kalau ada api menyambarnya, akan ada kebakaran maha dahsyat.

Namun bagaimana menciptakan api? Persentuhan kaum pribumi dengan wacana islamisme menentang kolonialisme barat yang sedang berkembang di timur tengah menjadi salah satu penyebab. Wacana sosialisme dan nasionalisme yang berkembang di Barat, yang dipelajari oleh orang-orang pribumi yang berkesempatan studi di sana juga berkontribusi besar. Ide-ide pemantik api perlawanan itu mengalir lewat bahasa melayu pasar, bahasa kaum pribumi, kaum tertindas, yang digunakan dalam komunikasi mereka sehari-hari. Selain itu, perkembangan teknologi percetakan mendiseminasi percik api perlawanan itu ke seantero nusantara. Apakah itu saja sudah cukup menciptakan para pemimpin, yang siap membakar massa melalap para kompeni itu? Kurang satu: organisasi. Dalam organisasi inilah akan muncul para pemimpin-pemimpin.

Sebagai homo socius, manusia memiliki kecenderungan untuk berkelompok. Pada awal abad XX, penderitaan merupakan bahasa yang mengikat kaum pribumi untuk berorganisasi. Dalam kelompok-kelompok itulah kaum pribumi menceritakan penderitaannya. Dan siapa pula yang tahan dengan derita? Maka mereka berusaha pula memahami apa penderitaan itu, mengapa penderitaan itu ada, bagaimana mengatasinya. Tepat di sinilah ideologi dibutuhkan. Sebab, ideologi memuat pernyataan tentang apa yang harus dipermasalahkan, mengapa permasalahan itu bisa muncul, bagaimana mengatasi permasalahan itu. Sepanjang awal abad XX, ada tiga ideologi yang bisa dipilih: Islamisme, Sosialis-Komunis, dan Nasionalisme. Namun kenyataannya jarang sekali ada organisasi dan para aktivisnya setia pada satu kutub ekstrim.  

Tirtoadisoerjo ialah salat satu pribumi yang pertama kali menggunakan Islam sebagai semangat sekaligus kendaraam n politik melawan kompeni. Namun di tangan HOS Tjokroaminoto Islam diracik menjadi kekuatan yang sangat besar dalam menandingi kekuatan kompeni dan saudagar-saudagar Cina yang licik. Sarekat Dagang Islam (SDI) disulap oleh HOS Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (SI). Ini tidak hanya sekedar perubahan nama, melainkan perubahan kesadaran dan perilaku organisasi. SDI tadinya hanyalah perkumpulan para pedagang yang diikat oleh identitas persaudaraan muslim untuk menandingi kedigdayaan bisnis kompeni dan pedagang Cina. Sekalipun tidak secara eksplisit mengikrarkan diri sebagai organisasi politik, namun SDI tetap saja menyimpan potensi menjadi organisasi politik. Sebab sejauh suatu organisasi mempunyai tujuan, di sana pasti ada politik, karena politik menyangkut suatu cara mencapai tujuan. Sehingga, jika suatu organisasi semakin berusaha mewujudkan tujuannya, maka ia akan menjadi semakin politis. Persis ketika sepenuhnya politis inilah SDI berubah menjadi SI, tepat di tahun 1912. SI meyakini bahwa kekuasaan yang berada di tangan kompeni adalah ujung pangkal dari segala kebangkrutan ekonomi rakyat pribumi. Maka cara membalikkan keadaan adalah merebut kekuasaan tersebut. Merebut kekuasaan dari tangan kompeni dan mendistribusikan kekuasaan tersebut kepada rakyat pribumi itulah yang nanti menjelma menjadi pekik merdeka.

Sementara SI membangkitkan harga diri pribumi dengan wacana keislaman, di periode bersamaan, wacana komunisme dan nasionalisme yang lebih sekuler juga masuk melalui kaum terdidik pribumi yang mendapat kesempatan belajar. Di awal sekali abad 20, kaum pribumi bangsawan diperbolehkan untuk belajar di sekolah-sekolah buatan kompeni. Kalau istilah Gramsci bisa digunakan di sini, ini adalah usaha pemerintah kompeni untuk menghegemoni kaum pribumi. Jika strategi tersebut berhasil, maka pemerintah kompeni tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan untuk menundukkan kaum pribumi. Namun, di antara elite kaum pribumi didikan kompeni tersebut, tidak semua menurut. Hubungan guru dan murid meniscayakan pembangkangan. Ibarat dalam cerita pewayangan dengan lakon Bisma yang melawan gurunya, Parasurama.

Contohnya adalah Soewardi Soerjaningrat, seorang pribumi yang belajar di sekolah kompeni. Sekalipun didikan kompeni, pada 1913 ia malah membuat artikel berjudul “als ik eens nederlander was” (andai aku orang Belanda) yang mengritik kebijakan pemerintah kompeni. Sekalipun hanya artikel, dampaknya sangat luar biasa. Ibarat seorang yang melempar istana dengan sebuah kerikil kecil di tangannya. Namun karena tepat mengenai jendela istana, bising pecahan kaca jendela itu membuat seluruh penghuni rumah menjadi terjaga. Prang! Soewardi mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Organisasi ini berkomitmen untuk memberikan bantuan pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial lainnya kepada masyarakat pribumi.

Ada juga beberapa orang pribumi yang berkesempatan sekolah di negeri Belanda. Wacana nasionalisme yang sedang menjadi trend pada saat itu membangkitkan kesadaran para pribumi. Dalam wacana nasionalisme, istilah “kaya-miskin” melekat dalam wacana “orang luar-orang dalam”, “orang putih-orang berwarna”, “orang eropa-orang asia”, “penjajah-terjajah”, “asing-pribumi”, dan akhirnya “Belanda-Indonesia”. Dengan begitu, seorang yang terpapar wacana nasionalisme akan mengidentifikasi, bangsa apakah dirinya. Dalam hubungan antar bangsa itu, mereka akan mencari dikategori manakah bangsanya berada. kaya? Miskin? Orang luar? Orang dalam? Putih? Berwarna? Penjajah? Terjajah? dst.

Maka pada awal abad XX, lantaran melahap wacana nasionalisme, para pribumi yang belajar di dalam atau di luar negeri menggunakan istilah Indonesia bukan lagi hanya istilah antropologi atau budaya belaka, namun juga politik. Indonesia bukan hanya negeri yang terletak di peta, antara asia dan australia. Lebih dari itu, Indonesia adalah negeri yang dijajah Belanda, yang miskin akibat penjajahan Belanda. Tepat di situ, mengaku pelajar Indonesia berarti mengaku pelajar dari lahir di negeri yang dijajah Belanda. Kalau negeri tempat lahir disebut dengan ibu pertiwi, maka dengan kata lain, para pelajar itu adalah mereka yang sedang menyaksikan ibu mereka sedang diperkosa dengan sadis oleh kompeni. Maka dengan kemarahan yang bergelora, Soekarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan, para pelajar pribumi yang sedang belajar di Belanda (Mohammad Hatta bersama Sjahrir, Nazir Pamoentjak, dan kawan-kawan lainnya) yang teroganisir dalam Perhimpoenan Indonesia memekikkan Indonesia Merdeka. Pekikkan ini begitu paraunya bagi kompeni, karena diteriakkan di tanah penjajah, persis di cuping telinga kompeni.

Bahkan teriakan kemerdekaan negara-negara terjajah juga didengar oleh negeri berhaluan komunis. Dalam rapat-solidaritas antar negeri berhaluan komunis (komintern) selalu dibahas mengenai kejayaan bangsa eropa-kapitalis melalui kolonialisme. Sebagai penentang kapitalisme, apa yang harus dilakukan komintern? Dalam hal ini, menurut McVey, pendapat komintern terbagai menjadi dua, yaitu 1) yang menganggap kolonialisme merupakan tahapan sejarah bagi negara koloni menuju kapitalisme yang pada gilirannya akan berakhir pada komunisme; 2) yang menganggap kolonialisme adalah kapitalisme tingkat lanjut yang harus segera dihabisi oleh kekuatan revolusioner agar negara sosialis-komunis dapat segera terwujud. Dua pemikiran ini mempengaruhi respon komintern terhadap kolonialisme. Pendukung gagasan pertama akan lebih bersifat lunak terhadap kolonialisme. Sedangkan yang kedua, gagasan Lenin termasuk di sini, menolak kolonialisme sepenuhnya. 

Ideologi komunisme yang menyandarkan dirinya pada analisis kelas sangat digemari oleh kaum buruh petani, yang pada saat itu jumlahnya sangat banyak. Melalui analisis kelas kaum buruh petani mengerti mengapa mereka miskin, dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi itu. Ideologi ini menjadi warna tersendiri di dalam tubuh SI. Semaoen dan Alimin merupakan proponent figure penggagas komunisme dalam SI. Dinamika komunisme dalam SI juga ditentukan oleh wacana yang berkembang di luar sana. Komintern masih meraba-raba, apakah kekuatan islam bisa dijadikan sekutu untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sebaliknya, kaum muslim modernis timur tengah juga masih berpolemik, sejalan dengan nilai-nilai islam. Tiadanya jawaban yang resmi membuat dikotomi antara islamisme dan komunisme. Jika gagasan satu dengan yang lain sudah tersegmentasi tanpa bisa diperdamaikan, maka pembelahan organisasi tinggal menunggu waktu. Dan terbukti, kini SI terbelah menjadi dua, yaitu SI Putih dan SI Merah. Adanya organisasi dalam organisasi bukannya hal yang tidak mungkin. Yang menjadi tidak mungkin adalah ketika organisasi itu memperebutkan otentisitas. Mereka akan saling menelan atau saling menyingkirkan atau saling memisahkan. Sejarah berlalu sedemikian lanjut, hingga akhirnya SI hanya milik SI Putih. Dan SI Merah memisahkan diri seutuhnya dan membuat organisasi bernama Sarekat Rakyat (SR), yang kemudian hari dengan segala dinamikanya berubah menjadi PKI, partai komunis terbesar di Asia setelah Partai Komunis China.

Ide dan gagasan ternyata melampaui organisasi itu sendiri. Tidak mudah mengidentifikasi apakah sebuah ideologi itu dapat menguasai organisasi sepenuh-penuhnya. Kalaupun iya, apakah kebijakan partai atau perilaku individu merupakan turunan dari kehendak ideologi sepenuhnya. Namun bagi kompeni, tidak ada gunanya mendikotomikan ideologi itu sambil menakar mana ideologi yang paling bersahabat dengannya. Sebab, semuanya berpotensi menyulut api kemarahan massa yang mampu melalap habis istana kompeni. Dalam otak kompeni, ideologi organisasi agaknya cuma dua: ko dan non-ko (kooperatif dan non-kooperatif). ***

3 comments:

  1. Makasih kak informasinya

    ReplyDelete
  2. terimakasih kak udh buatin sinopsis

    ReplyDelete
  3. Trims bang. Setelah puluhan tahun lalu, sy baru baca lagi sekarang. Tapi waktu itu sy temukan hal yg menarik bahwa salah satu modal kuatnya persatuan bangsa indonesia utk merdeka adalah karena mayoritas beragama islam. Minta koreksi. Txs

    ReplyDelete