Sunday, February 11, 2018

SATIRE INTELEKTUAL AMATIR


Zamzam Muhammad Fuad


Pegawai mengoreksi atasan merupakan kejadian sangat langka dalam kehidupan birokrasi kita. Birokrasi kita adalah warisan Orde Baru, yang ditandai dengan sikap hormat, patuh, dan tunduk sebagai bahasa sehari-harinya. Jika ada yang tidak patuh, maka bawahan ada dalam posisi terancam. Bisa dipindah, bisa juga dilepaskan dari jabatan alias dipecat (Agus Dwiyanto, 2016).

Namun yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memang di luar kebiasaan. Ada seorang pegawai MK yang “mengetuk hati nurani” Ketua MK untuk meletakkan jabatannya. Menurut pegawai tersebut, Ketua MK telah melanggar kode etik. Belakangan diketahui bahwa pegawai itu merupakan seorang pejabat fungsional peneliti.

Kejadian ini menuai kontroversi. Sebagian menentang dengan menyatakan bahwa peneliti itu sudah kebablasan, sebagian lagi membela peneliti itu. Bagi yang menentang, peneliti itu dianggap sudah menerabas kode etik seorang pegawai negeri. Sebab dengan menyatakan ketua MK harus turun, maka peneliti itu dianggap ikut terlibat dalam politik praktis. Bagi yang mendukung, peneliti itu dianggap sudah benar, karena bagaimanapun suara hati nurani harus dikatakan. Terlepas dari polemik benar-salah itu, saya mengajukan dua pendekatan untuk memahami fenomena ini.

Pertama, peristiwa ini sebenarnya merupakan penanda perubahan dalam sistem birokrasi kita. Salah satu cita-cita UU ASN adalah mewujudkan pegawai negeri profesional. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah mendorong agar para pegawai negeri mengalihkan orientasi dari karier pejabat struktural, menjadi pejabat fungsional. Jabatan peneliti merupakan satu dari sekian banyak jabatan fungsional pegawai negeri.

Nasib seorang pejabat fungsional memang tidak ditentukan sepenuhnya oleh atasan langsungnya. Namun ada pada dirinya sendiri. Jika ia seorang peneliti, maka ia wajib membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan. Kalau tidak mau membuat, kariernya sebagai peneliti akan terancam. Jika etika profesi seorang peneliti adalah menulis karya tulis ilmiah, maka ia harus menulis. Dalam sistem seperti ini, atasan bukan lagi penguasa yang mengancam, namun sebagai rekan kerja. Sebagaimana seorang rekan, atasan dan bawahan dapat saling memberi masukan, saran, dan bahkan, kritik.

Perubahan ini kemungkinan besar tidak hanya akan terjadi di MK, namun juga pada seluruh kementerian/lembaga di Indonesia. Baik di tingkat pusat atau daerah. Pemerintah bahkan mempercepat perubahan ke arah ini dengan mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 26 Tahun 2016 tentang inpassing. Kebijakan inpassing membuka peluang bagi para pegawai negeri untuk beralih menjadi pejabat fungsional. Maka, dinamika sebagaimana yang terjadi di MK baru-baru ini dapat juga terjadi di tempat lain. Budaya saling memberi masukkan dan memberikan koreksi akan terbangun. Budaya itu juga dapat membangun akuntabilitas kinerja, transparansi, dan peningkatan kinerja.

Pendekatan kedua adalah terkait dengan etika kaum intelektual. Seorang peneliti dapat disebut sebagai seorang intelektual karena mereka mencari jawaban yang dianggap (mendekati) benar atas suatu permasalahan. Lantaran yang dicari adalah kebenaran, maka kebohongan atau menyembunyikan kebenaran adalah dosa besar. Bahkan ada mantra yang sering diulang-ulangi oleh para peneliti kita, yaitu “salah boleh, bohong ga boleh”.

Bagi kaum intelektual, kebenaran harus dikatakan walaupun itu pahit. Socrates dan Galileo adalah dua dari sekian banyak tokoh yang kerap diteladani oleh kaum intelektual. Mereka berdua berani mati dan tidak takut dipenjara atau diasingkan demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Mengatakan kebenaran memang tugas utama kaum intelektual. Namun tidak semua berani melakukan itu.

Edward Said membedakan kaum intelektual menjadi dua kategori yaitu intelektual profesional dan intelektual amatir. Intelektual profesional adalah intelektual yang terbelenggu, baik oleh rutinitasnya, kepakarannya, atau oleh penguasa. Belenggu rutinitas adalah pekerjaan rutin. Jika ia seorang dosen, maka ia hanya memikirkan bagaimana mengajar dari jam 7 pagi hingga jam 2 siang. Selain itu ia juga terbelenggu oleh bidang kepakarannya. Ia merasa takut beropini jika tidak sesuai dengan latar belakang jurusan kesarjanaan. Misal, ia merasa tidak pantas berbicara hukum karena ia seorang sarjana ekonomi. Terakhir, belenggu paling akut adalah ketakutan pada penguasa. Kaum intelektual profesional biasanya hanya berpikir ilmu untuk ilmu. Bukan ilmu untuk kebenaran atau kebaikan kemanusiaan. Sementara itu, pelanggaran kemanusiaan biasanya dilakukan oleh penguasa besar. Kaum intelektual profesional biasanya cuma berani cari aman.

Sebaliknya, seorang intelektual amatir sangat peduli pada kebenaran. Baginya, kebenaran harus disampaikan kepada publik, apapun risikonya. Intelektual amatir tidak mau disandera oleh belenggu apapun. Dalam dunia modern, belenggu kaum intelektual adalah kepakaran dan kekuasaan. Maka seorang intelektual amatir tidak boleh terjebak pada gelar kesarjanaan. Kalau dirinya tau tentang penyakit birokrasi, maka dirinya harus mengatakannya pada publik walau dirinya seorang sarjana biologi, misalnya.

Kaum intelektual juga tidak boleh menyembunyikan kebenaran atas nama kekuasaan. Kebenaran yang diyakini harus disuarakan. Dipublikasikan kepada publik. Tentu saja ini tidak mudah. Maka Edward Said mengatakan bahwa kehidupan seorang intelektual amatir akan selalu getir, banyak dicibir, dan terasa satir. Tapi intelektual amatir merasa harus melampaui belenggu-belenggu itu. Mengatakan kebenaran di hadapan publik adalah tujuan utamanya. Oleh karena itulah Said berpendapat bahwa sosok intelektual amatir merupakan tipe ideal kaum intelektual. Sepanjang ada seorang peneliti mengatakan kebenaran yang diyakininya kepada penguasa, speaking truth to power, maka ia bisa dikatakan telah menjadi intelektual amatir. Dalam kacamata Edward Said, intelektual ideal memang harusnya begitu.

No comments:

Post a Comment