Thursday, April 26, 2018

MENJADI MANUSIA POLITIK


Zamzam Muhammad Fuad

Review buku
Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi
Penulis: Savitri Scherer
Penerbit: Komunitas Bambu, 2012, Jakarta


Rezim Orde Baru memang kurang ajar terhadap Pramoedya. Bukan hanya karya-karyanya yang tidak boleh terbit. Buku-buku yang mengulas karyanya pun haram diterbitkan.

Masuk era reformasi, karya Pram dan diskursus Pram mulai banyak bermunculan. Salah satunya adalah buku berjudul Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi.

Buku yang ditulis oleh Savitri Scherer ini sebenarnya telat terbit. Sebab isi buku ini sudah ditulis sejak tahun 1981 sebagai disertasi. Savitri sendiri mengaku bahwa tekanan politik Orde Baru dan warisannya merupakan penghalang bagi karyanya untuk terbit di Indonesia. Bahkan ia sendiri mengaku: “Oleh karena itu tidaklah bijaksana menerbitkan buku ini sebelum Pramoedya meninggal pada tahun 2006” (hal. xi).

Buku ini mengisi diskursus mengenai Pram yang terbit di Indonesia. Kita bisa menderet buku tulisan para cendekia yang mempelajari karya-karya Pram. Sebut saja, buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis karya Eka Kurniawan dan buku karya Max Lane berjudul Indonesia Tidak Hadir Di Bumi Manusia.

Meskipun demikian, tulisan Savitri memiliki perbedaan khas daripada studi Pram lainnya. Savitri berusaha memahami dialektika antara konteks sosial politik kebudayaan dan karya-karya Pram. Dialektika inilah yang merubah pemikiran Pram, dari yang tadinya non-politik, menjadi politik sepenuhnya.

Salah satu situs yang menandai dan berpengaruh pada pergeseran pemikiran Pram adalah debat sastra antara kubu humanisme universal vs kubu realisme sosial.

Bagi kubu humanis universal (dalam hal ini diwakili oleh beberapa sastrawan dari Gelanggang, LKN, dan Lesbumi) karya sastra harus bisa menggambarkan pengalaman seluruh umat manusia. Maka sastra bukan hanya bercerita tentang pengalaman politik, namun bisa juga tentang persahabatan, romansa-percintaan, atau pergulatan batin lainnya.

Pandangan kubu humanis universal itu ditentang oleh kubu sastrawan pembela pandangan realisme sosial. Bagi sastrawan realisme sosial, karya sastra adalah alat, bukan tujuan. Untuk itu, karya sastra harus mampu menggambarkan penderitaan rakyat dan memberikan semangat pembebasan. Artinya, sastra adalah “politik dengan cara lain”. Dengan inilah kita bisa memahami makna slogan Lekra: Politik adalah Panglima.

Walaupun politik adalah panglima dalam sastra ala Lekra, bukan berarti Pram merasa harus selalu marxis dalam karya-karyanya. Dalam pemikiran Pram, politik dalam sastra sedari mula harus dipahami sebagai upaya menempatkan sastra sebagai alat pembebasan masyarakat dari segala bentuk eksploitasi. Hal ini juga disadari oleh Savitri bahwa “analisis Pramoedya tentang masyarakat tidak selalu merujuk Marxis, dan di kemudian hari pendapat-pendapatnya memang seringkali tidak selaras jika dilihat dari sudut pandang doktrin partai komunis”.

Pandangan Savitri ini bersesuaian dengan pendapat Max Lane. Dalam buku Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia, Max Lane menegaskan bahwa karya-karya Pram tidak mempromosikan gagasan kelas sosial ala Karl Marx. Max Lane justru melihat bahwa Pram mengidentifikasi masyarakat tertindas Indonesia bukan hanya kategori "proletar". Lebih dari itu, masyarakat tertindas Indonesia melampaui batas-batas kelas. Gagasan ini kental dalam novel Pram berjudul Bumi Manusia. Dalam novel itu, masyarakat tertindas digambarkan dalam sosok Minke (terpelajar keturunan bangsawan), Ontosoroh (Gundik yang menjadi borjuis lokal), Annelies (anak borjuis, indo-eropa). Dengan kata lain, masyarakat tertindas adalah lintas kelas dan lintas ras/etnis.

Esai-esai Pram yang diteliti Savitri lebih banyak merupakan tanggapan Pram terhadap perdebatan sastra (kebudayaan). Savitri luput menelusuri bagaimana tanggapan Pram terhadap dinamika politik yang berkembang saat itu. Padahal tahun 1950-1965 adalah tahun ketika politik menyedot energi massa.

Hal tersebut tentu saja menjadi kekurangan buku Savitri ini. Sebab di awal Savitri terlanjur sudah mengutarakan ingin “membongkar struktur kompleks mediasi antara Pramoedya dengan dunia kreatifnya dengan memperhatikan kekuatan-kekuatan sosial, kebudayaan dan politik yang ia alami” (Hal.1). Artinya, dalam buku ini Savitri baru membongkar struktur kebudayaan, namun belum membongkar kekuatan sosial politik yang mempengaruhi pemikiran Pram.

Terlepas dari itu, buku Savitri ini harus diapresiasi tinggi. Analisisnya mengenai pengaruh perdebatan sastra humanisme universal vs realisme sosial terhadap pemikiran Pram tidak bisa dianggap remeh. Savitri berhasil menjelaskan pergeseran-pergeseran pemikiran Pram dalam setiap novel dan esai yang Pram tulis.

Dalam buku ini Savitri kembali menegaskan dirinya sebagai sejarawan yang peduli dengan sejarah peralihan. Jika dalam buku berjudul Keselarasan dan Kejanggalan Savitri berhasil memotret tokoh peralihan pembawa kesadaran Indonesia modern, kali ini Savitri berhasil memetakan pergeseran pemikiran Pram. Jempol. 

No comments:

Post a Comment