Saturday, December 1, 2012

DAMPAK NEOLIBERALISME

Zamzam Muhammad Fuad

Dari sudut pandang warga negara, eksistensi sebuah negara dibutuhkan untuk menciptakan kesejahteraan seluruh warga negara. Apabila negara tidak mampu mewujudkan kesejahteraan, maka kehancuran suatu negara merupakan hal yang niscaya. Gagasan ini berlaku di negara manapun, termasuk NKRI. Tujuan negara republik ini eksplisit dalam pembukaan UUD 45 alenia 4: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Namun ironis, republik yang kaya akan sumber daya alam dan manusia ini masih didera oleh beragam persoalan. Apabila diibaratkan, krisis yang terjadi di Indonesia saat ini seperti layaknya kanker. Krisis yang terjadi di Indonesia tengah menyebar disekujur tubuh republik ini baik itu yang bersifat struktural ataupun kultural: masyarakat yang terjebak pada konflik-konflik horizontal, partai politik yang disfungsi, aparat pemerintah yudikatif legislatif yang korup, budaya literasi yang rendah, hedonisme dan konsumerisme, maraknya bisnis narkoba, dsb.

Mohammad Hatta pernah menyatakan bahwa republik ini akan berdiri tegak jika hak politik dan hak ekonomi warga negara terpenuhi. Di era reformasi ini, hak politik warga negara sedikit mengalami perbaikan dengan adanya demokrasi langsung, meskipun banyak pengamat menilai ini bukanlah suatu keberhasilan. Namun yang nyata terlihat adalah adanya jurang yang lebar antara si kaya (the have) dan si miskin (the haven’t). Ini menjadi bukti bahwa kesejahteraan di republik ini masih terkonsentrasi pada segelintir elit penguasa modal saja.

Kekayaan alam negeri ini tidak hanya dibajak pengusaha, melainkan juga birokrat pemerintah yang korup. Di media massa kita dapat mendapatkan informasi bahwa kementrian-kementrian banyak yang terlibat kasus korupsi, dari itu kementrian agama, pendidikan, perikanan dan kelautan, pemuda dan olah raga, korupsi sektor pajak, dsb. Seperti Vedi Hadiz pernah mengungkapkan bahwa republik ini sedang dibajak oleh mafia-mafia pejabat publik yang memiliki kepentingan pragmatis dan predatorik. (Hadiz, 2005) Atau dalam bahasa Amien Rais, republik ini sedang diacak-acak oleh pejabat-pejabat bermental inlander. (Rais, 2008) Fakta ini tentu saja dapat menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat yang dikhawatirkan akan melunturkan trust masyarakat kepada pemerintah. Civil disobedience mengancam di depan mata.

Ekonomi memang mengalami pertumbuhan, namun bila kue ekonomi ini hanya dinikmati segelintir elit, apalagi elite predator, maka hasilnya akan tetap buruk. Terkait hal ini, perlu dibutuhkan sebuah mekanisme ekonomi politik yang menjamin distribusi kekayaan kebawah. Paradigma ekonomi yang sedang cenderung mengarah pada paradigma liberal mesti dibelokkan kepada paradigma ekonomi politik Pancasila. Prinsip persaingan dan kompetisi perlu diganti dengan prinsip kerjasama dan gotongroyong. (Swasono, 2012)

Dalam sebuah artikelnya, Revrisond Baaswir (2012) menyebutkan bahwa ambruknya sistem perekonomian Indonesia, belum terwujudnya kesejahteraan ekonomi di Indonesia disebabkan karena kebijakan perekonomian yang tidak konsisten dengan amanah konstitusi. Kebijakan ekonomi republik ini bersandarkan pada “Ekonomi inkonstitusional”, kata Revrisond. Oleh karena itu, republik ini perlu segera membenahi paradigma perekonomiannya yang saat ini cenderung liberal.

Memulihkan paradigma ekonomi liberal menuju ekonomi Pancasila merupakan tugas yang tidak mudah dan tidak sederhana. Pasalnya, determinasi ekonomi liberal sedang berjalan melalui, paling tidak, 2 arah. Arah pertama melalui lembaga-lembaga donor asing seperti World Bank dan IMF. Kedua lembaga donor ini, melalui structural adjusment program nya berhasil memaksa Indonesia untuk masuk ke dalam kubangan pasar bebas. Arah kedua, ekonomi neoliberal masuk ke dalam alam berpikir para teknokrat, sarjana, birokrat, pengampu kebijakan, yang berada disekeliling sistem pengambilan kebijakan perekonomian. Singkatnya, paradigma ekonomi neoliberal sedang mengepung kampus seraya memproklamirkan dirinya sebagai “rezim kebenaran”. (Irwan, 2006)

Ekonomi neoliberal telah sejak lama dipercaya oleh para teknokrat dan birokrat sebagai resep ampuh untuk mengusahakan kesejahteraan. Ini dimulai sejak awal pemerintah Soeharto. (Mallarangeng, 2008) Meski telah terbukti sulit mendatangkan kesejahteraan, resep ekonomi neoliberal masih saja dipercaya oleh banyak kalangan.

Ambruknya sektor perekonomian yang menyebabkan ketidaksejahteraan ekonomi, menjadi pemicu meledaknya konflik-konflik horizontal yang didasari oleh perebutan sumber daya ekonomi. Konflik-konflik etnis, konflik pilkada, konflik preman-masyarakat, seringkali disebabkan oleh motif ekonomi. Stabilitas internal republik menjadi tertanggu. Hal ini menyebabkan kegiatan perekonomian juga terhambat.

Ambruknya tatanan ekonomi, politik, sosial, hukum, di Indonesia memaksa kita untuk bertanya, sebenarnya apa sebenarnya menjadi pemicu semua ini bisa terjadi. Sepakat dengan analisa Dhani Purwanegara, bahwa persoalan bangsa ini disebabkan karena karakter bangsa yang lemah. Atau dalam istilah Myrdall, republik ini tergolong “soft state”. Mental dan karakter bangsa ini tidak kuat dalam membela kepentingan nasionalnya. Sebaliknya, meminjam bahasa Franz Magnis Suseno, orang-orang dalam republik ini ibarat lalu lalang kendaraan ibukota: everybody fight for himself. (Magnis Suseno, 2009) Kepentingan diri sendiri di nomor satukan. Sedangkan kepentingan bersama di nomor duabelas kan. Ini tentu sebuah persoalan yang serius.

Penguatan nation and character building perlu diutamakan. Lebih konkrit lagi, tantangan bangsa ini adalah bagaimana caranya agar warga negara memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan durable. Maka, republik ini perlu mengupayakan sebuah rekayasa sosial. Jalurnya melalui pendidikan.

Pendidikan Pancasila yang juga meliputi aspek ekonomi Pancasila perlu untuk disusupkan ke dalam institusi pendidikan. Selain itu, wawasan nasional setiap anak didik juga perlu direvitalisasi. Ada sebuah fakta ironis yaitu meningkatnya gejala manusia Indonesia yang hanya peduli pada daerah asalnya masing-masing. Hal yang paling sederhana misalnya, tidak sedikit anak bangsa yang mengetahui identitas pahlawan dari Papua. Meskipun terlihat sederhana, ini merupakan gejala yang mengawali disintegrasi. Pasalnya, apabila sebuah wilayah telah tercerabut dari imajinasi mereka, maka wilayah tersebut akan benar-benar hilang dari teritorial. Beberapa kasus telah membenarkan argumentasi ini. Lepasnya beberapa pulau terluar Indonesia disebabkan karena setiap anak bangsa kurang memiliki pengetahuan tentang kawasan terluar Indonesia. Wawasan nasional ini perlu dipupuk sejak dini. Oleh karena itu, saya menolak wacana pembekuan mata pelajaran IPS di sekolah dasar. Seperti kata Gellner: “school textbooks and the key role played by them helping to inculcate children that they belong to a specific nation.” (dalam Jones dkk, 2004)

Referensi

Baaswir, Revrisond. Ekonomi Inkonstitusional. Kompas, 01 Oktober 2012.

Irwan, Alexander. “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, diedit oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, 31-61. Jakarta: Equinox Publishing, 2006.

Jones, Rhys Jones dkk. An Introduction To Political Geography: Space, Place And Politics. London: Routledge, 2004.

Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG, 2008.

Rais, Amien. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press, 2008.

Suseno, Franz magnis. Kita Butuh Proyeksi Besar Cita-cita Bangsa. Prisma vol 28, no. 2 (Oktober 2009): 54-60.

Swasono, Sri Edi. Ekonomi Rakyat Maju Bersama Menghindari Polarisasi Ekonomi Dan Polarisasi Sosial. Makalah yang disampaikan pada acara semarak milad IMM ke 48 di Surakarta, 2012.

Vedi, R. Hadiz. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005.

No comments:

Post a Comment