Wednesday, April 30, 2014

DEMOKRASI HARUS CERDAS



Zamzam Muhammad

April dan Juli nanti kita akan menyambut ritual demokrasi 5 tahunan. Sebuah ritual yang sudah kita alami selama 10 kali namun nasib bangsa ini masih gini-gini saja. Pemimpin selalu berganti. Tapi hanya kulitnya. Old wine in the new bottle. Dalamnya tetap saja korup, ahli obral SDA, tidak punya visi kemandirian dan kedaulatan.



Oleh karena itu kita perlu benar-benar memanfaatkan momentum pemilu ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai 5 tahun ke depan bangsa ini dipimpin oleh sosok yang tidak berkompeten, tidak bisa diandalkan dan tidak bertanggungjawab. Sebelum menentukan pilihan pada pemilu April dan Juli nanti, ada baiknya kalau kita mempertimbangkan beberapa fenomena objektif berikut ini. Harapannya tentu bukan untuk mengajak kita skeptis, namun lebih pada agar kita bisa lebih kritis dan serius menghadapi pemilu 2014.

Pertama, Deputi Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis UGM meriset, sejak 2001 hingga 2012, terdapat korupsi pejabat sebanyak 168 T. Angka ini setara dengan pembangungan 1.244.000 ruang kelas sekolah, menyekolahkan gratis 272 juta anak, menyediakan 18,4 miliar liter beras gratis dan membuat 1.572.000 rumah sederhana. Sebagai catatan, kebocoran itu baru dihitung dari kasus korupsi yang sudah diungkap dan diputuskan. Belum lagi kasus-kasus korupsi yang belum terungkap dan diputuskan.

Kedua, dalam pemilu kali ini, 90 persen anggota DPR sekarang akan mencalonkan diri lagi. Artinya, parlemen kita akan diisi oleh golongan 4L: loe lagi loe lagi. Dan ironisnya 90 persen dari mereka terindikasi kuat tersangkut masalah korupsi. Dengan demikian selama 5 tahun ke depan masalah korupsi masih potensial. Mengingat, biasanya calon petahana hampir selalu menang.

Ketiga, setelah reformasi, pemenang pemilu selalu saja orang-orang yang memiliki modal besar. Sebab pemilu di Indonesia termasuk dalam hitungan high cost election. Uang besar dibutuhkan para caleg untuk membiayai partai, tim sukses, alat kampanye, bahkan membeli suara. Semakin banyak uang dikeluarkan, semakin banyak uang yang harus dikembalikan setelah mendapat kursi. Banyak cara untuk mengembalikan uang sebanyak itu. Termasuk korupsi.

Keempat,  pemilu kali ini berlangsung di tengah tren “masyarakat pagelaran”. Mengikuti Zainuddin Maliki (2006) masyarakat pagelaran merupakan proses sosial yang mengedepankan performance sebagai elemen utama dalam negosiasi kekuasaan dan kewenangan. Dengan demikian politik dan tawar-menawar menjadi persoalan kapasitas mengatur dress code, tampilan wajah, pilihan kosakata, dan bahasa verbal ataupun nonverbal. Apalagi di tengah perkembangan teknologi seperti sekarang, fenomena masyarakat pagelaran semakin menjadi-jadi.

Kelima, banyak dari calon pemimpin kita tidak memiliki gagasan yang bisa dipegang dan tawaran program kerja yang sesuai gagasannya itu. Sehingga, program kerja yang dibuat tidak bisa mencerminkan suatu perjuangan ideologi, melainkan hanya menjalankan program-program yang sudah ada dan disediakan. Misalnya, dalam salah satu wawancara di televisi, beberapa caleg berjanji akan menyediakan uang bagi masyarakatnya untuk digunakan sesuai dengan kemauan masyarakatnya. Ini mencerminkan bahwa sang caleg tidak memiliki program kerja yang jelas sesuai dengan visi dan ideologi perjuangannya.

Kasus ini banyak terjadi. Sehingga jangan heran kalau, meminjam bahasa Sritua Arief (2006), republik ini diisi oleh pemimpin yang hanya bisa menjalankan program (administrative state), bukan pemimpin yang bisa menyusun program atas dasar visi politik jangka panjang berdasarkan ideologi nasional (developmental state).

Lima poin di atas ialah latar (landscape) dari pemilu 2014 ini. Sekali lagi ini bukan merupakan ajakan agar skeptis terhadap pemilu, melainkan agar kita lebih serius menghadapi pemilu mendatang.

Ironi demokrasi kita
Demokrasi merupakan sistem politik yang hanya cocok ditempatkan dalam masyarakat yang memiliki kesadaran dan pendidikan politik yang tinggi. Tanpa pendidikan, pengetahuan dan kesadaran politik yang tinggi, tidak akan ada aspirasi dan partisipasi. Lantaran tidak ada aspirasi dan partisipasi, maka tidak akan ada semangat “dari rakyat dan oleh rakyat”. Lantaran tidak ada semangat itu, maka demokrasi juga tak akan ada.  Kalaupun ada, ia adalah pseudo democracy.

Oleh karena itu, pendidikan politik masyarakat menjadi agenda penting setelah kemerdekaan diproklamirkan. Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tentang pendirian partai politik. Dengan maklumat ini Hatta menghendaki partai-partai politik yang ada dapat segera menubuh dengan masyaratkat sekaligus melakukan agenda pendidikan politik seperti pengenalan ideologi, penyusunan agenda politik bersama, dll. Saking pentingnya pendidikan politik, setiap pemimpin partai produktif menulis buku menyebarkan gagasan-gagasannya, setiap partai punya surat kabar, punya organisasi sayap mulai dari yang berbasis ibu-ibu, petani, mahasiswa, sastrawan dan budayawan. Hebatnya, setiap organisasi-organisasi sayap itu aktif, tidak seperti sekarang yang hidup ketika menjelang pemilu saja. Atmosfer politik seperti ini bertahan hingga 1965. Setelah itu, fungsi pendidikan politik mulai dilemahkan oleh rezim Soeharto.

Cara paling keji yang dilakukan rezim Soeharto untuk melemahkan pendidikan politik masyarakat adalah melalui kebijakan massa mengambang. Gara-gara kebijakan tersebut, partai politik tidak boleh melakukan kegiatan politik apapun bersama masyarakat kecuali dalam masa-masa kampanye pemilu. Orde baru menganggap bahwa masyarakat akar rumput hendaknya dijauhkan dari politik. Pertama, karena masyarakat dianggap belum siap berpolitik. Sehingga kalau bersentuhan dengan politik justru akan menimbulkan konflik dan mengganggu stabilitas. Kedua, politik adalah urusan teknokrat.

Terlihat di sana, rezim Soeharto telah melakukan upaya sistematis untuk membonsai aspirasi dan partisipasi politik masyarakat menjadi hanya sekedar mengikuti pemilu saja. Dengan demikian rezim Soeharto berhasil mewariskan 2 tradisi yang sampai sekarang masih bertahan. Pertama, tradisi politik partai politik yang hanya sibuk mengurusi tetek bengek elektoral. Kedua, berhasil mewariskan kultur masyarakat yang tidak sadar politik.

Dalam dua tradisi inilah pemilu demi pemilu telah kita lalui. Sehingga wajar demokrasi kita kali ini mengandung ironi. Di satu sisi memiliki prosedur-prosedur canggih demokrasi seperti pemilu. Tapi di sisi lain partai politik kehilangan tradisi memberikan pendidikan politik pada  masyarakat. Jeffrey Winters (2014) memotret fenomena ini sebagai berikut: “Indonesia’s political parties are not bottom-up institution. They are move like a conical lamp over a billiard table: intense and bright at the narrow top, faint and dim towards the bottom.” Ketika partai politik absen dalam memberikan pendidikan politik, maka inisiatif voluntaristik-lah yang paling bisa diharapkan. Kita dipaksa untuk otodidak dalam belajar politik. Kecanggihan teknologi informasi memudahkan kita untuk melakukan itu.

Apa yang bisa kita lakukan
Di tengah banalitas politik kepartaian dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kehidupan politik nasional, memilih untuk tidak memilih (baca: golput) menjadi daya tarik yang amat kuat. Apalagi melihat tren golput yang semakin meningkat dari pemilu ke pemilu. Sebagai catatan, angka golput 2009 lalu mencapai 30%.

Menjadi pertanyaan, apakah benar golput merupakan pilihan yang tepat agar republik ini menjadi lebih baik? Saya yakin pertanyaan itu sedang menggelayut dan menjadi bahan diskusi yang hangat. Akan tetapi menurut saya, pertanyaan itu salah, dan ironisnya kita sudah terjebak ke dalam pertanyaan itu. Sebab menurut saya, pertanyaan yang tepat adalah, apakah kita sudah siap dalam berdemokrasi?

Pertanyaan itu penting dimunculkan agar kita punya kesadaran berdemokrasi. Sebagai pemilih berarti kita dituntut untuk berpartisipasi dalam memberikan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap yang para wakil rakyat. Tidak hanya pada saat pemilu, namun juga setelah pemilu. Tanpa kesadaran seperti ini, saya yakin demokrasi akan menjelma menjadi, meminjam Franz Magnis, (2014) “demokrasi 5 menit” atau demokrasi yang hanya selesai di bilik suara. Sebaliknya, sebagai wakil rakyat juga perlu dituntut kesadaran untuk memimpin dan melayani rakyat seluruhnya, tidak parsial hanya pada yang terindikasi memilihnya saja.

Kesadaran berdemokrasi dilandasi dengan kesadaran civic, bukan etnik atau golongan apalagi pribadi dan kekeluargaan. Sebab demokrasi menuntut akuntabilitas publik. Jadi, ketika hendak memilih, pertimbangaan yang harus dikedepankan adalah: “apakah calon pemimpin ini baik buat kita semua”. Berdasarkan observasi singkat saya, kebanyakan orang menentukan pilihan berdasarkan kesamaan agama, kesamaan organisasi, kesamaan keluarga, kesamaan kecamatan, kesamaan RT, kesamaan etnis, dan kesamaan lain yang sifatnya segmentatif primordialistik. Ini berbahaya, baik itu bagi yang memilih dan juga bagi wakil rakyat yang terpilih. 

Bagi pemilih, kesadaran segmentatif primordialistik menghalangi kecerdasan berpolitik. Sistem pemilu proporsional terbuka membuka kesempatan bagi pemilih untuk mempelajari para calon wakil rakyat. Apalagi teknologi informasi seperti internet sangat menunjang untuk itu. Jika yang digunakan adalah kesadaran segmentatif primordialistik, maka tidak ada lagi dorongan untuk mempelajari latar belakang, track record, kemampuan, sang calon wakil rakyat. Sebaliknya, bagi wakil rakyat juga sama. Kesadaran segmentatif primordialistik tidak boleh dikedepankan. Karena ini akan merusak sendi-sendi kewargaan, mengundang favoritisme, rawan menciptakan oligarki, menghindarkan kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.

Lima menit untuk lima tahun. Persis ibarat pelajar SMP yang akan menghadapi Ujian Nasional. Nasibnya ditentukan hanya dalam beberapa menit saja. Inilah kenyataan yang kita hadapi dalam pemilu. Terkesan tidak masuk akal, tapi sulit juga untuk menghindar. Dalam sistem seperti ini, tentu ada saja ekses negatifnya. Akan tetapi semua itu bisa diminamalisir, bahkan membuahkan hasil yang positif jika kita punya kesadaran 1) bahwa politik tak hanya habis di bilik suara dan 2) menjadi pemilih yang cerdas berbekal pada kesadaran civic, bukan segmentatif primordialistik. Dus, Pemilu 2014 harus disikapi dengan serius disertai dengan kecerdasan politik. 



No comments:

Post a Comment