Tuesday, April 29, 2014

MERANCANG PEMIKIRAN ORGANISASI

Zamzam Muhammad

Latar Belakang
Setelah setengah abad berjalan, banyak kritik yang mengarah pada IMM. Kalau dikumpulkan bisa banyak sekali. 1)ketiadaan gerakan pemikiran [1] ; 2)lemahnya budaya literasi.[2] 3)merosot di bidang intelektualitas [3] ; 4)tidak sesuainya paradigma ikatan dari tingkat komisariat hingga pusat [4]; 5)kurang transformatif [5]; 6)belum benar-benar menjadi gerakan sosial.[6] 7) cenderung lupa pada jatidiri Muhammadiyah.[7] 8)IMM telah terlibat dan terjebak dalam politik praktis.[8] 9)dipandang negatif oleh bapak Muhammadiyah.[9] 10) Pola perkaderan yang doktriner sehingga tidak peka menangkap perkembangan zaman.[10]

Tentu saja masih ada persoalan lagi jika mau dideret satu persatu di sini. Namun kalau boleh kita reduksi, kelemahan IMM terletak pada bidang pemikiran dan aktualisasi peran pemberdayaan pada masyarakat. Kalau pendapat itu disetujui, maka 50 tahun IMM baru fokus pada pembangunan infrastruktur organisasi seperti membangun dan mempertahankan komisariat, mencari dan mempertahankan kader, mengadakan rutinitas organisasi seperti rapat dan musayawarah tahunan dll. Wajar saja jika IMM kurang mendapatkan perhatian baik itu dikalangan akademisi pemerhati gerakan mahasiswa ataupun dari kalangan masyarakat itu sendiri.

Sebagai indikator saja, Yudi Latif pernah menulis buku tebal sekali tentang peran intelegensia muslim di Indonesia. Akan tetapi sub bab mengenai IMM hanya sedikit sekali bobot pembahasannya. Selain itu, dalam observasi yang pernah saya lakukan, jika ada seorang menulis tentang gerakan mahasiswa, yang muncul biasanya adalah nama “HMI, PMII, KAMMI, GMNI, dll”. IMM masuk ke dalam kategori “dll”. Terimakasih kepada Makrus Ahmadi yang telah melakukan riset popularitas IMM di dunia maya. Dalam risetnya ditemukan bahwa tulisan yang berkaitan dengan IMM di Google amatlah sedikit, yaitu 512.000 dalam bahasa Inggris dan 139.000 dalam bahasa Indonesia. Kenyataan ini semakin menguatkan kesan bahwa selama setengah abad ini, peran IMM baik itu sebagai gerakan ilmu dan gerakan amal masih sangat terbatas.



Jumlah dan Perbandingan Tulisan Mengenai Gerakan Mahasiswa di Google[11]
No
Organisasi
Inggris
Indonesia
1
KAMMI
10.100.000
279.000
2
HMI
  1.880.000
333.000
3
PMII
  1.470.000
137.000
4
IMM
     512.000
139.000

Tentu saja tidak hanya cerita kurang menyenangkan yang mewarnai setengah abad IMM. Banyak juga torehan prestasi yang telah dilakukan oleh IMM. Akan tetapi renungan kritis akan lebih dibutuhkan jika kita mau merumuskan apa yang harus kita lakukan ke depan. Dengan membawa serta latar belakang di atas, mari sekarang kita coba rumuskan apa yang harus IMM lakukan setelah setengah abad usianya ini.

Makalah ini akan dibagi dalam 4 bagian. Pertama adalah latar belakang. Kedua, mencari agenda utama IMM setelah setengah abad. Dalam tulisan ini, saya menawarkan bahwa penguatan pemikiran organisasi adalah agenda yang harus diutamakan oleh IMM ke depan. Ketiga, menelusuri sisi-sisi epistemologis bagaimana pemikiran organisasi harus dibangun.

Epistema Pemikiran IMM
Organisasi merupakan produk manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak akan mampu mempertahankan hidup jika ia tidak bekerja sama dengan manusia yang lain. Oleh karenanya manusia berinteraksi dengan yang lain, menyamakan keinginan dan bersama-sama berusaha untuk mewujudkannya. Begitu juga dengan organisasi kemahasiswaan seperti IMM. Kemunculannya selalu mengandaikan adanya pertemuan antar manusia, merumuskan keinginan bersama, dan merancang bagaimana strategi dan taktik agar keinginan bersama itu terwujud?

Namun kadang-kadang, semakin tua organisasi, semakin organisasi itu kehilangan spirit untuk mewujudkan tujuan awal yang dirumuskan. Dengan kata lain, organisasi telah kehilangan raison d’etre atau alasan mengadanya. Dari organisasi terkecil keluarga, hingga negara bisa mengalami penyakit ini. Sepasang suami istri menginginkan keluarganya menjadi tempat persemaian kepemimpinan. Tapi dalam kenyataannya, mereka malah terjerat korupsi. Sebuah negara memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakatnya. Namun pada perjalanannya negara itu malah melindungi praktik-praktik korupsi. Pertanyaannya, apakah IMM juga mengalami kondisi serupa, di mana “alasan mengada” sebuah organisasi luntur dimakan usia padahal tujuan organisasi sama sekali belum terwujud?

Bagi setiap organisasi, penting kiranya mempertahankan dan selalu mengingat semangat awal atau pemikiran awal didirikannya sebuah organisasi (alasan mengada). Dalam konteks negara, hal ini bisa direkayasa dengan membuat berbagai macam monumen, tugu peringatan, museum, dsb. Di sini, monumen, tugu peringatan, batu nisan, museum dapat diibaratkan seperti mesin waktu di mana memori-memori masa lalu dapat dihadirkan ke masa depan sehingga 1) visi didirikannya organisasi dapat terpelihara dengan baik. 2) program-program yang dilakukan dapat sesuai dengan visi utama organisasi.

Dari sini kita bisa memahami, mengapa Soekarno pernah mengajak kita untuk tidak melupakan sejarah. Sebab Soekarno tau, dalam sejarah pasti ada pemikiran. Belajar sejarah dengan demikian belajar pemikiran. Dengan belajar pemikiran, kita bisa tau tentang: apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita perjuangkan, apa yang tak harus kita lakukan, apa yang harus kita lawan. Maka, berorganisasi tanpa pemikiran sama artinya dengan berorganisasi hanya demi mengisi waktu luang, hanya demi mencari teman, hanya demi membangun relasi. Dalam konteks IMM, motivasi beroganisasi seperti itu jelas keliru dan salah! Mari lihat tujuan IMM yang awet tersimpan dalam Anggaran Dasar IMM: Mengusahakan terciptanya akademisi islam berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan muhammadiyah. Maka harus ditegaskan sejak awal bahwa berorganisasi di IMM adalah berjuang mewujudkan tatanan kehidupan manusia yang damai, sejahtera, makmur, dan adil. Singkatnya berorganisasi adalah berjuang. Sementara itu, berjuang membutuhkan pemikiran. Maka pertanyaannya menjadi seperti apa pemikiran IMM?

Dalam konteks IMM, itu pertanyaan yang sulit dijawab. Pertama, karena pemikiran identik dengan orang bukan organisasi. Kalaupun ada pemikiran khas organisasi, maka sebenarnya itu adalah akumulasi dari pemikiran-pemikiran orang dalam organisasi, yang dianggap memiliki persamaan dan kesesuaian antara satu sama lain dan bisa disejajarkan dengan tujuan organisasi. Kedua, karena kader IMM relatif sedikit yang memroduksi pemikiran. Indikatornya sederhana, terbatas sekali buku atau bahkan tulisan yang berkaitan dengan gerakan IMM dan ditulis oleh kader IMM. Lantaran terbatas, maka akumulasi pengetahuan menjadi terbatas juga. Padahal, akumulasi pengetahuan adalah syarat utama terbentuknya suatu “mazhab” pemikiran.

Pada waktu DAP Jogja kemarin, penulis berdiskusi dengan Pradana Boy ZTF, seorang intelektual muda Muhammadiyah. Menurutnya, sebagai seorang pemikir, harga yang harus dibayar ketika harus berorganisasi, yaitu, pemikiran pribadi berpotensi terbatasi oleh pemikiran organisasi. Misalnya, Muhammadiyah terlanjur diidentikan dengan gagasan purifikasi. Nah, apabila ada seseorang anggota Muhammadiyah yang memiliki gagasan tentang kebaikan tradisionalisme Islam, dia itu rawan tersingkir dari organisasi karena pemikirannya berbenturan dengan pemikiran organisasi.

Namun dalam konteks IMM yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan organisasi yang membatasi pemikiran, tapi pemikiran yang membatasi organisasi. Maksudnya, pola gerakan organisasi terbatasi oleh pemikiran pribadi. Saya beri contoh, dalam suatu komisariat ada pimpinan atau ketua yang berpikir bahwa IMM adalah gerakan religius. Oleh karenanya IMM diarahkan secara mutlak untuk membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya keagamaan seperti pengajian rutin, tafsir hadist, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya “siraman rohani”. Ada pula suatu komisariat IMM yang pimpinan atau ketuanya sangat terpengaruh oleh kegenitan para filsuf. Sehingga organisasinya diarahkan mutlak menjadi lembaga kajian dan diskusi filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Ada juga komisariat IMM yang pemimpinnya sangat dipengaruhi oleh cita-cita revolusi, sehingga semangat berorganisasi disamakan dengan semangat berdemonstrasi. Ini adalah bukti bahwa dalam konteks IMM, pemikiran pribadi cenderung menentukan atau bahkan membatasi pola gerakan dan pemikiran IMM itu sendiri.

Dibentuknya organisasi dari yang terkecil hingga paling besar seperti negara, selalu memiliki alasan mengada. Persoalannya, dalam organisasi yang sengaja dibuat untuk batas waktu yang relatif lama, sebuah organisasi membutuhkan perangkat (devices) agar semangat mewujudkan tujuan organisasi dapat terpelihara. Perangkat yang dimaksud adalah konstitusi tertulis dan ideologi.

Dalam konstitusi tertulis, anggota organisasi dapat membaca dan menafsirkan segala hal tentang alasan keberadaan organisasinya dan segala macam guide lines organisasi. Namun, persoalan akan muncul ketika penafsiran terhadap konstitusi itu muncul dengan jumlah yang tidak terkendali dan mulai cenderung menjauh dari tujuan organisasi. Untuk mengatasi hal ini, organisasi membutuhkan perangkat kedua yaitu ideologi. Dalam hal ini ideologi dimaknai sebagai seperangkat pengetahuan yang mampu mendekatkan semangat dan pemikiran pendiri organisasi ke dalam semangat masa kini.[12] Itulah mengapa dalam konteks negara kita, UUD 45 dan Pancasila sama-sama penting.

Konstitusi dan ideologi inilah yang pada gilirannya akan memancing munculnya pemikiran organisasi. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa meskipun pemikiran organisasi cenderung konservatif dalam arti selalu bertolak dari konstitusi dan ideologi, pemikiran organisasi juga harus lentur dan terbuka. Ini harus dilakukan agar mampu mengatasi ancaman tantangan hambatan gangguan internal ataupun eksternal yang muncul dalam rentang sejarah.


Pemikiran organisasi bukanlah pemikiran resmi organisasi. Ia lebih pada akumulasi pemikiran-pemikiran yang muncul dari para anggota organisasi yang bertolak dari konstitusi dan ideologi organisasi. Ambillah contoh mengenai pemikiran ekonomi kerakyatan. Apakah dalam konteks Indonesia, pemikiran ekonomi kerakyatan dapat dikatakan sebagai pemikiran ekonomi resmi negara Indonesia? Tentu saja tidak. Indikatornya sederhana. Tidak ada undang-undang yang mengatur dan menetapkan bahwa pemikiran ekonomi kerakyatan adalah pemikiran resmi negara di bidang ekonomi. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa para pemikir ekonomi kerakyatan mendasarkan pemikirannya pada Pancasila dan UUD 1945. Demikian juga dengan pemikiran organisasi dalam IMM. Ia harus melandaskan dirinya pada konstitusi dan ideologi organisasi. 

Kalau semangat awal pendirian organisasi dianggap penting dalam menentukan kemana organisasi itu diarahkan, maka ‘6 Penegasan IMM” perlu diberi perhatian khusus. Mengapa demikian, ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama, 6 penegasan IMM dideklarasikan tidak lama setelah IMM lahir yaitu tahun 1965. Dengan demikian, kedua, 6 penegasan IMM tentu saja sama sebangun dengan pemikiran para founding fathers IMM. Saya setuju dengan Shobaril Yuliadi yang mengatakan bahwa “Dalam melakukan pembaharuan aktualisai trilogi gerakan, kader ikatan tidak boleh tercerabut dari esensi (nilai) dasar ikatan itu sendiri. Yang setidaknya dari enam point penegasan oleh KH. Ahmad Badawi”[13]

Terkait dengan hal di atas, yang dimakud dengan enam penegasan IMM adalah sebagai berikut: 1)menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam; 2)menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM; 3)menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah; 4)menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara; 5)menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah; 6)menegaskan bahwa amal IMM adalah Lillahi Ta’ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Dari 6 penegasan itu dapat kita dapat temukan 2 rumusan pokok. Pertama adalah rumusan tentang identitas IMM. Kedua, adalah rumusan tentang tugas IMM. Rumusan identitas IMM didefinisikan sebagai ciri-ciri atau keadaaan khusus organisasi IMM. Terkait ini, ada 4 identitas organisasi IMM: 1)IMM sebagai organisasi kemahasiswaan, 2)organisasi keagamaan, 3)organisasi persyarikatan, 4)organisasi kebangsaan. Keempat identitas ini satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Usaha menemukan konsep yang lebih solid atau padat harus dilalui dengan cara mengabstraksikan keempatnya ini secara bersamaan. Dalam 6 penegasan kita juga dapat mendapatkan rumusan tugas IMM, yaitu berilmu dan beramal. Dalam hal ini, ilmu dan amal merupakan tugas yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Sebagai organisasi kemahasiswaan, pemikiran kader IMM harus bertolak dari ilmu pengetahuan masing-masing kader yang didapat di kampus. Sebagai organisasi keagamaan, pemikiran kader IMM harus bertolak dari al-quran dan hadist. Sebab kedua sumber itu adalah yang utama dalam islam. Sebagai organisasi persyarikatan pemikiran kader IMM bertolak dari spirit kemuhammadiyahan. Sedangkan sebagai organisasi kebangsaan pemikiran kader IMM bertolak dari Pancasila dan Konstitusi. Keempat tolakan ini akhirnya membentuk sebuah, meminjam istilah Dawam Rahardjo, “Gatra Prismatik” yang pada akhirnya akan memunculkan sinar pengetahuan dan wawasan yang otentik IMM.

Sebagai organisasi mahasiswa, IMM dituntut untuk menyelesaikan masalah kehidupan manusia secara akademis. Mahasiswa sebagai elemen masyarakat yang digembleng di kampus dengan segala macam ilmu pengetahuan dan memiliki akses tak terbatas pada informasi memunculkan potensi mahasiswa sebagai elemen yang bertanggungjawab atas kelestarian hidup manusia. Sebagai orang yang tau permasalahan, tuntutan etisnya kemudian adalah memberi peringatan. Demikian juga dengan mahasiswa, ia harus berani memberi peringatan pada otoritas yang paling berwenang sekalipun seperti negara jika muncul gelagat adanya penyalahgunaan kekuasaan. Melihat suasana kepolitikan sekarang, menjadi agent of social control masih relevan di indonesia sekarang ke dan ke depan. tugas mahasiswa tidak lagi memahami perubahan akan tetapi mengarahkan perubahan itu menuju jalur yang lebih baik. 

Sebagai organisasi keagamaan IMM ditantang untuk menyelesaikan persoalan manusia universal yaitu yang disebut Kuntowijoyo sebagai keterpenjaraan manusia atas teknologi dan dirinya sendiri.[14] Faham antroposentris menjangkar manusia dari pengalaman transendental dan spritual. Berbagai masalah pun muncul. Manusia semakin serakah, tidak peduli terhadap sesama dan lingkungannya. Ini mendorong munculnya berbagai macam konflik, kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, kerusakan alam, dsb. Sebagai representasi dari umat islam, IMM mesti segera “membumikan” ayat-ayat tuhan. Kuntowijoyo menawarkan metode yang diberi nama ilmuisasi islam. Terkait hal ini, Abdul Halim Sani lewat bukunya Manifesto Gerakan Islam Profetik berhasil mengoperasikan Ilmu Sosial Profetik dalam kerangka perkaderan. 

Sebagai organisasi persyarikatan, IMM tidak hanya hadir untuk mengisi amal usaha semata-mata. Lebih dari itu ia harus bisa menanggung tugas sebagai lembaga diseminasi spirit Muhammadiyah. Sebagaimana diterangkan oleh Tafsir, spirit Muhammadiyah sebenarnya terletak dalam sense of humanity-nya.[15] Muhammadiyah telah menegaskan baik itu di wilayah gagasan ataupun praktik bahwa islam tidak hanya agama yang sekedar mengatur urusan manusia dengan tuhan, namun juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dengan demikian mengatakan bermuhammadiyah berarti bersedia untuk membebaskan diri dari semua tindakan menyekutukan tuhan, dan juga membebaskan manusia lain dari kesengsaraan, kemiskinan, kebodohan, ketidaksejahteraan dan ketidakadilan. 

Sebagai organisasi kebangsaan, IMM ditantang untuk mengantarkan republik ini menuju cita-cita kemerdekaan. Tidak mudah memang. Sebab dilihat dari sisi politiknya, indonesia sekarang dan nanti nampaknya akan tetap diisi orang-orang yang tak berkompenten yang masuk dalam pemerintahan. Hal ini kemudian yang menyebabkan tugas pemerintahan menjadi lumpuh. Politik yang sejatinya merupakan alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama malah jadi arena memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan. Politik menjadi semakin tidak cerdas sehingga mempengaruhi dimensi lain dalam kehidupan bernegara seperti dimensi ekonomi. Sekarang kita menyaksikan praktik pelanggaran terhadap konstitusi seperti penjualan aset penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak misalnya minyakbumi, batubara, air, gas dll. Oleh karena itu sudah saatnya IMM mengawal bagaimana agar konstitusi ini bisa dilaksanakan di republik ini.

Penutup
Menyambut setengah abad IMM, menarik jika kita mencermati tema Muktammar, yaitu hendak mempersoalkan kepemimpinan nasional. Betul bahwa saat ini bangsa ini dirusak oleh para pemimpin yang tidak memiliki akhlaq kepemimpinan yang baik. Namun yang tau hal itu bukan hanya IMM. Orang banyak juga tau. Dengan demikian fungsi IMM sejatinya adalah rumah persemaian bagi calon pemimpin masa depan. Jadi, kaderisasi tetap harus jadi detak inti dalam kehidupan IMM.

Dalam keadaan negeri yang benar-benar sudah rusak parah, dalam arti tidak ada orang yang bisa diandalkan, tuhan mengutus nabi untuk memperbaiki kehidupan manusia. Akan tetapi nampaknya hari ini dunia masih belum rusak-rusak amat, sehingga masih menyisakan “manusia baik yang sadar” dan bisa memberi kesadaran pada masyarakat akan bahaya kerusakan moral, sosial, dan lingkungan. Seperti diungkapkan oleh Antonio Skarmeta, “akan selalu ada intelektual-sastrawan yang menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan.”[16] Maka, yang menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana mengumpulkan para manusia yang baik dan sadar itu ke dalam suatu barisan, bukan dalam kerumunan. Sebab pada galibnya Tuhan menghendaki pejuang yang terorganisir. Pejuang yang terorganisir itu, di mata tuhan, layaknya sebuah bangunan yang tersusun kokoh.[17] 

Umat Islam sebagai penghuni mayoritas di republik ini tentu saja memiliki tanggungjawab besar untuk melahirkan intelektual-intelektual yang bisa diharapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan yang muncul. Kalau seperti itu rumusannya, maka bisa juga dikatakan: jika republik ini selamat umat Islam mendapatkan pahala, jika republik ini darurat, umat Islam pula ikut menanggung dosa. Selain karena penduduk mayoritas, secara sosio-historis intelektual Islam Indonesia menanggung tugas yang teramat berat sebagai garda depan perubahan sosial. 

Indonesia merupakan negara yang sejak dahulu hingga sekarang kental sekali dengan nuansa religius. Agama dan aliran-aliran kepercayaan memiliki posisi yang istimewa dalam kehidupan sosial masyarakat baik dulu, maupun sekarang. Kekayaan alam Nusantara menyebabkan kegiatan ekonomi dan politik menjadi maju. Karena politik-ekonomi maju maka kebudayaan dan agama juga menjadi maju. Furnivall mencatat bahwa di Nusantara, agama-agama bisa hidup berdampingan dan harmonis. Selain itu, masyarakat nusantara juga mengenal hak waris, dan sudah mengenal keyakinan tentang adanya kehidupan setelah kematian.[18] Hingga sekarang, agama masih sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Realitas inilah yang menjadi pertimbangan munculnya sila pertama dalam Pancasila.

Kenyataan ini tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa, di mana peran gereja relatif terbatas. Di sana, agama ditempatkan dalam ranah yang benar-benar privat. Oleh karena itu, masyarakat agama berperan relatif terbatas di ranah publik. Oleh karena itulah, perubahan sosial di sana bisa diinisiasi oleh pedagang, buruh, politisi sekular, dll. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang mana agama memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakatnya. Hampir setiap peristiwa dan konflik besar di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran agama dan agamawan. Perang Diponegoro, pergerakan petani banten, peristiwa tiga daerah, proklamasi kemerdekaan, G30S, Reformasi 98, dan peristiwa besar lainnya hampir selalu muncul karena kepemimpinan agamawan, atau memanfaatkan isu agama. 

Berdasarkan pada kenyataan itu, peran kaum intelektual Islam sangatlah ditunggu. Sebab, dalam konteks Indonesia sulit membayangkan akan adanya revolusi atau perubahan sosial yang diinisiasi oleh kaum buruh sebagaimana yang ada di Eropa. Sekali lagi, ini bukan didasarkan pada kenyataan bahwa pemanfaatan isu agama akan lebih bisa membakar semangat rakyat. Namun lebih pada kenyataan sosio-historis bahwa di Indonesia, peran dan pengaruh agama islam sangatlah menonjol dalam melakukan perubahan sosial. IMM harus menyadari kenyataan sosio-historis itu. Dan dari situ IMM harus terdorong untuk mengambil peran!

Daftar Pustaka

[1]Syukril Amin, Nucleus Alternatif Sebagai Upaya Kristalisasi Intelektual Profetik, dalam Tri Wulan Rahayu (ed.), Membumikan Budaya Intelektual Profetik: Percikan Pemikiran Anak-anak Muhammadiyah, Surakarta, 2012, hal. 1

[2]Arif Saifudin Yudistira, Hilangnya Budaya Literasi, dalam Ibid., hal. 12

[3]Sobiatun, Menyoal Intelektualitas IMM, dalam Ibid., hal. 39

[4]M. Abdul Halim Sani, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, Yogyakarta: Samudra Biru, 2011, hal. xxi

[5]Ibid., 217

[6]Fauzi Fashri, IMM sebagai Gerakan Sosial Islam, dalam Makhrus Ahmadi (ed.), Tak Sekedar Merah: Memoar dan Testimoni Kader IMM, Yogyakarta: Rangkang Education, 2013, hal. 4

[7]Anonim. Meneropong IMM Jelang Muktammar Setengah Abad. Lihat di http://muktamarimm-solo.blogspot.com/ 2014/01/meneropong-imm-jelang-muktamar-setengah.html

[8]Chandra Siregar. Introspeksi Gerakan IMM. Lihat di http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/ 02/23/14400/introspeksi_gerakan_imm/#.U1jBZ1V_t5I

[9]Tama. Dialog Ikatan #2 “IMM dipandang negatif oleh bapak-bapak Muhammadiyah? lihat di http://suara-almaun.blogspot.com/2013/05/dialog-ikatan-2-imm-dipandang-negatif.html

[10]Makhrus Ahmadi, Membaca Arus Gerakan Pemikiran IMM, dalam Makhrus Ahmadi (ed.), Tak Sekedar Merah: Memoar dan Testimoni Kader IMM, Yogyakarta: Rangkang Education, 2013, hal 21.

[11]Ibid., hal. 22

[12]Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 2003

[13]Shobaril Yuliadi, Tajdid Trilogi Gerakan; Menatap Setengah Abad Ikatan. Lihat di http://immcabangbskm.wordpress.com/2011/06/23/tajdid-trilogi-gerakan-menatap-setengah-abad-ikatan/

[14]Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008, hal. 266-267

[15]Tafsir, Jalan Lain Muhammadiyah: Menafsir Ulang Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah Akar Rumput, Jakarta: Al-Wasat, hal. 55.

[16]Seperti dikutip dalam Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 74.

[17](QS Asshaf: 41)

[18]J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hal. 5-10.

No comments:

Post a Comment