Tuesday, March 24, 2015

KESADARAN SEJARAH

Zamzam Muhammad

“Sungguh aneh kalau bangsa indonesia lebih menyukai tokoh sejarah lain, daripada tokoh sejarahnya sendiri.” Itulah pesan yang disampaikan oleh Peter Carey pada acara Kuliah Umum di UMP, 14 Maret 2015, lalu. Jauh-jauh hari Peter Carey juga menyelipkan pesan senada dalam bukunya bahwa sia-sia saja Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi dunia jika masyarakatnya tidak tau dan peka sejarah. Sebab karena hal itulah, sehebat apapun kemajuan kita, tetap saja berjalannya tanpa arah. Mudah sekali terombang-ambing, hingga tinggal menunggu waktu untuk pecah.

Sejarah merupakan kurikulum yang dilupakan orang. Fakultas atau jurusannya semakin tidak diminati. Padahal, tidak mungkin bangsa ini maju jika sindrom lupa sejarah mewabah. Bayangkan jika kamu tidak tau siapa ayahmu dan siapa ibumu? Kamu akan merasa hidupmu itu tak punya alasan mengada. Akhirnya kamu bebas menjalani hidup tanpa tuntutan, tuntunan dan tentu saja, tanpa teladan.

Apa itu sejarah sebagai tuntutan? Menempatkan sejarah sebagai tuntutan berarti menyadari bahwa setiap lini masa dalam sejarah ini diciptakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu itu hanya mampu dipahami jika seseorang mempelajari sejarah sebelumnya. Sekarang, bayangkan jika kamu menjadi orang tua. Kamu pasti menaruh harapan pada anak-anakmu, bukan? Demi siapa harapan itu kamu tanamkan pada anakmu? Demi dirimu, anakmu, bangsamu, agamamu, dan seluruh semesta ini, bukan? Bayangkan jika anakmu tidak mau belajar sejarah. Ia tidak mau tau apa yang sebenarnya kamu kehendaki pada anakmu. Ia akhirnya mengalami disorientasi. Hidup semaunya sendiri. Ikut air mengalir, tak peduli air itu mengarah ke laut, atau ke comberan.

Jika sudah tau bahwa hidup ini ada tuntutan, maka dengan sendirinya seseorang akan mengidentifikasi dirinya sebagai “the historical men”. Bagi manusia sejarah, tuntutan sejarah mengandaikan tujuan sejarah. Sementara untuk mencapai tujuan sejarah diperlukan alat-alat untuk mencapainya. Bagi manusia sejarah, alat-alat itu disebut juga dengan falsafah atau world view, pemikiran dan berbagai macam penemuan yang sifatnya teknis. Menjadi manusia sejarah berarti menyadari bahwa hidup ini bergenerasi, beregenerasi, berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan yang satu, bisa jadi dibutuhkan berbagai macam langkah yang harus digotong secara royong oleh setiap generasi dalam lini masa sejarah. Sehingga, untuk melangkah demi tujuan yang satu, manusia tidak perlu memulai dari nol. Ia cukup mempelajari kegagalan atau keberhasilan generasi sebelumnya. Menyambung apa yang sudah dilakukan, memperbaiki kegagalan apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan sejarah sebagai tuntunan.

Terakhir, sejarah sebagai teladan. Untuk memahami ini baiknya kita membaca kata bijak ini: Tidak ada manusia yang tidak bercermin. Teoretisi psikoanalisa postmodern, Jaques Lacan, menyebut bahwa salah satu fase perkembangan kepribadian manusia adalah “fase cermin” (mirror stage). Itu merupakan fase saat manusia mengidentifikasikan dirinya dengan yang lain. Dalam fase ini tanpa disadarinya, manusia akan meniru sifat dan perilaku orang lain. Di titik bersamaan, ia juga menolak beberapa sifat dan perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu proses kedewasaan manusia adalah proses saling mengidentifikasi, saling memberi contoh antara manusia satu dengan yang lain. Fase saling melihat antara satu dengan yang lain ini adalah proses yang tidak akan pernah lekang. Ia akan terus menerus terjadi kendatipun manusia mengatakan bahwa “dirinya adalah dirinya yang otentik”. Di sinilah teladan menjadi penting. Dalam proses identifikasi yang terjadi disepanjang kehidupannya, manusia diharapkan dapat mencontoh dari pendahulunya yang baik dan berkualitas. Namun ini tidak akan pernah terjadi pada manusia yang tidak kesadaran sejarahnya redup. Sebab yang ia tau hanyalah dirinya seorang. Dirinya yang dilahirkan tanpa membutuhkan bantuan orang lain, dan memusatkan kehdiupannya akhirnya pada dirinya seorang. Tanpa sadar bahwa manusia itu mengidentifkasi dari yang lain, maka tidak ada untungnya mencari teladan orang baik.

Tiadanya tuntutan, tuntunan dan teladan inilah yang menyebabkan bangsa ini jalan terseok-seok. Semua ini pangkalnya satu: kesadaran sejarah yang lemah.

No comments:

Post a Comment