Thursday, April 9, 2015

MENEROPONG VISI PEMBERDAYAAN IMM JATENG


Zamzam Muhammad Fuad

Demokratisasi Indonesia belum nampak mencapai hasil yang memuaskan. Penulis tak perlu banyak bertele-tele menyajikan contoh kasus untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Sebab, selain banyak sekali, pastilah pembaca sudah banyak yang tahu tentang itu.

Paling tidak terdapat 4 alasan penjelas mengapa demokratisasi Indonesia menemui jalan buntu. Pertama, lantaran sistem rekrutmen elite politik yang rusak. Perspektif ini memandang bahwa partai politik dan sistem pemilu dianggap gagal menghasilkan pemimpin yang berkualitas baik. Kedua adalah karena perilaku elite yang tidak memiliki akuntabilitas publik. Dari sudut pandang ini, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme para elit politik dianggap sebagai tersangka utama gagalnya demokratisasi di Indonesia.

Ketiga, budaya politik Indonesia tidak bersandar pada sistem prestasi (meritokrasi). Atmosfer politik Indonesia tidak memberikan penghargaan (credit poin) dan ruang beraktualisasi terhadap orang-orang yang berprestasi atau berkemampuan. Sebaliknya, budaya politik Indonesia lebih memberikan tempat pada orang berduit dan atau memiliki kekuatan jaringan dan koneksi (patron client regime). Keempat, adalah ketiadaan civil society yang nyata dan mampu mengontrol kekuatan negara. Dari sekian banyak pendapat tersebut, penulis akan mencoba untuk mengeksplorasi pendapat yang terakhir disebutkan.

Demokrasi pada dasarnya adalah sistem politik yang menghendaki adanya keseimbangan kekuatan pada setiap actor dan lembaga politik yang terdapat di dalam suatu ruang lingkup politik. Dalam konteks negara, pengertian itu dapat diperjelas dengan mengatakan bahwa kekuatan antara lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislative, yudikatif); atau antara negara (state) dan masyarakat warga (civil society) idealnya berada dalam neraca kekuatan yang seimbang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat hubungan antar actor dan lembaga adalah saling memeriksa, mengontrol dan memberi keseimbangan (check and balances). Jika mekanisme ini berjalan sempurna, maka kecil kemungkinan terjadi penyelewengan kekuasaan (abuse of power).

Dalam teori, keseimbangan kekuatan dalam hubungan negara dan masyarakat warga harus ada guna memenuhi dalil check and balances. Yang dimaksud dengan masyarakat warga disini adalah 1) masyarakat yang secara kualitas berbeda dengan masyarakat politik dalam arti berada di luar sistem politik formal, 2) memiliki kemandirian dan kekuatan dalam membuat, mengartikulasikan, dan merealisasikan aspirasi-aspirasi politiknya. Ketidakseimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat warga inilah yang terjadi di Indonesia sehingga merusak kualitas demokratitasi. Bahkan sejak kemerdekaan hingga sekarang, kekuasaan negara hampir selalu menghalangi terciptanya masyarakat warga yang kuat.

Usaha untuk menghalangi masyarakat warga ini terjadi sejak kemerdekaan hingga sekarang. Pada masa Orde Lama, terutama pada demokrasi terpimpin, kekuasaan cenderung terpusat pada Soekarno. Kehidupan politik harus sesuai dengan garis yang ditentukan olehnya. Praktis, aspirasi politik masyarakat menjadi terbatasi. Sebab tafsiran politik a la Soekarno-lah yang dikonstruksi paling shahih.

Peluang terciptanya masyarakat warga terjadi di awal Orde Baru. Namun potensi ini hilang lantaran Soeharto berhasil mematikannya melalui serangkaian upaya sistematis, seperti strategi politik korporatisnya (hanya menyetujui ormas yang mendapat restu pemerintah); peraturan massa mengambang; penyederhanaan partai; kebijakan normalisasi kehidupan kampus, militerisasi kehidupan warga dsb.

Pada saat Reformasi, peluang masyarakat warga mengimbangi kekuasaan negara sekali lagi muncul. Meski terancam gagal untuk kesekian kali. Terkait dengan hal ini, ada 2 pertanyaan yang akan diajukan. 1) mengapa bisa demikian dan apa saja faktor-faktornya penyebabnya? 2) apa yang harus dilakukan oleh IMM untuk menjawab tantangan itu?

Tidak seperti orde-orde sebelumnya, terancamnya agenda penguatan masyarakat warga Era Reformasi bukan lantaran ketiadaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, pemilu langsung, dsb. Semua itu ada. Namun lebih karena masyarakat yang berada di luar sistem politik formal tidak terkonsolidasi dengan baik. Buktinya, ketika kran demokrasi dibuka, justru konflik horizontal yang berlatar belakang ekonomi, sosial, budaya, agama muncul dimana-mana. Hal ini dengan sendirinya memperlemah posisi masyarakat warga dihadapan negara. Dengan kata lain, ruang publik sudah ada namun belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat warga untuk meningkatkan posisi tawarnya dihadapan negara. Ibarat gelombang laut, ombaknya mengarah ke pantai namun arus air di bawahnya belum tentu bergerak dalam trajektori yang sama. Hal inilah yang terjadi pada awal reformasi, dan relatif masih terjadi di masa sekarang.

Namun jika berbicara konteks hari ini, pembentukan masyarakat warga menghadapi tantangan baru. Sekarang, masyarakat warga relatif telah mendapatkan kekuatan dihadapan negara. Dan dalam beberapa kasus telah terkonsolidasi dengan baik. Lihat saja ketika Muhammadiyah, yang didukung oleh aliansi pengusaha dan beberapa tokoh terkemuka seperti mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi, berhasil mengawal amandemen UU Migas di Mahkamah Konstitusi. Meskipun belum dapat dijadikan indikator bahwa masyarakat warga sudah terkonsolidasi dengan baik, kasus ini bisa jadi tonggak yang menandai bahwa masyarakat warga di Indonesia sedang menguat.

Akan tetapi kondisi ini belum menjamin terciptanya masyarakat warga yang kuat di masa mendatang. Sebab ada dua hal yang perlu diantisipasi. Pertama, tidak tertutup kemungkinan hanya akan ada ormas tertentu yang memiliki akses dan kekuatan untuk menyampaikan aspirasi. Keadaan seperti itu penulis sebut sebagai “oligarki ormas” Oligarki ormas menyimpan bahaya karena peluang negara untuk mengkooptasi ormas menjadi sangat terbuka. Selain itu harus diingat juga bahwa jumlah masyarakat Indonesia sangat banyak dan terdiferensiasi dalam berbagai suku, etnis, agama, nasib politik, nasib ekonomi, nasib sosial yang berbeda-beda. Jadi, tidak masuk akal menggabungkan masyarakat Indonesia yang demikian itu ke dalam beberapa ormas saja. Jika hanya ada beberapa ormas saja, maka pendidikan politik warga sulit berhasil, karena “hukum besi oligarki” selalu melekat dalam setiap organisasi. Hal ini dengan sendirinya akan mengancam agenda penguatan masyarakat warga secara keseluruhan. Oleh karena alasan-alasan itulah penulis terpaksa harus mengatakan bahwa keberadaan ormas di Indonesia tidak boleh berjumlah beberapa saja. Maka, jika peta jalan sejarah ormas berjalan menuju ke arah oligarki ormas, baik itu karena alasan alamiah atau rekayasa, harus dicegah.

Kedua, ancaman RUU Ormas. Rancangan UU inilah yang membuat masa depan agenda revitalisasi masyarakat warga tidak menentu. Dengan RUU Ormas, ruang gerak ormas semakin terbatasi dan jumlahnya akan semakin menciut. Praktis, ormas akan menjadi mudah dikendalikan. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan mengancam keseimbangan antara negara dengan masyarakat warga. Dengan kata lain, demokrasi akan berjalan secara tidak demokratis.

Mengingat sejak kemerdekaan hingga sekarang masyarakat warga masih tersubordinasi oleh negara, maka wajar jika demokrasi belum mencapai hasil yang menggembirakan. Untuk mengantisipasi hal ini, sulit bagi kita untuk menaruh harap pada negara. Sebab negara sendiri tidak menghendaki adanya masyarakat warga yang kuat. Maka harapan tinggal ada di pundak ormas yang tercerahkan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan menciptakan masyarakat warga yang kuat. IMM adalah salah satu ormas harapan itu. Pertanyaan kemudian muncul, “Bagaimana prospek IMM Jawa Tengah untuk mewujudkan agenda tersebut?”; “Sudah sampai mana progressnya?”; “Apa langkah paling strategis untuk mewujudkannya?”

Sejauh pengetahuan penulis, visi pemberdayaan masyarakat –sebagai agenda penguatan masyarakat warga– sudah menjadi corpus pergerakan di IMM Jawa Tengah sejak 2006 hingga sekarang –bahkan sangat mungkin sejak generasi sebelum itu. Ini bisa dimengerti karena sudah sejak kemerdekaan, posisi masyarakat warga dihadapan negara masih lemah. Oleh karena itulah visi pemberdayaan masyarakat diusung beramai-ramai baik secara implisit atau eksplisit oleh banyak organisasi mahasiswa, termasuk IMM Jateng.

Namun yang menjadi kritik bersama adalah bahwa visi itu belum bisa diterjemahkan dan diaktualisasikan dalam program kerja yang jelas, terukur, terarah dan berkesinambungan antar periode kepemimpinan IMM Jateng. Walhasil, kalaupun ada program pemberdayaan masyarakat kesannya jadi sporadis. Dan kalaupun ada Pimpinan Cabang IMM di Jateng yang berhasil menggelorakan visi itu baik dalam tataran wacana atau aksi nyata, kesannya program itu mendapat ilham dari planet lain, bukan dari sistem internal yang terstruktur dari atas ke bawah dan terencana.

Salah satu jawaban mengapa itu bisa terjadi ditemukan dalam penjabaran visi misi IMM Jateng periode (2010-2012). Dikatakan disana bahwa agenda pemberdayaan masyarakat IMM Jateng belum menunjukkan progress yang cukup baik adalah lantaran kader IMM jateng sendiri belum banyak yang sudah berdaya. Kalau pemberdayaan masyarakat didefinisikan sebagai penciptaan masyarakat yang mandiri dan aspiratif baik itu di lapangan ekonomi dan politik, dalam pengertian itu pula lah kader IMM Jateng belum berdaya. Sederhananya begini: Jika kita sendiri tidak berdaya, bagaimana mungkin kita memberdayakan orang lain? Dalam kondisi seperti itu, mungkin masih ada peluang untuk bisa melakukan pemberdayaan. Namun apa jadinya jika pengetahuan tentang pemberdayaan pun tak punya? Lebih parah lagi apa jadinya jika kader tidak punya hasrat untuk mengetahui apa itu pengetahuan pemberdayaan, mengapa pemberdayaan itu dibutuhkan, untuk apa pemberdayaan dsb. Artinya, persoalan besar terletak pada menurunnya tradisi keilmuan di IMM. Dalam beberapa kasus, ironi ini sudah mulai terjadi. Penulis punya buktinya.

Dulu, PC IMM Sukoharjo berhasil membuat media gagasan berupa blog bernama Kabarpress. Blog ini tidak bisa diremehkan kualitasnya. Materi tulisan yang ada di dalamnya merentang dari isu sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pemikiran Islam, pemikiran Barat, dsb. Meski hanya digawangi oleh 3 kader IMM Sukoharjo, Hariyanto, Agung S.S, Qahar Muzakkar, blog ini berhasil menghasilkan 108 karya tulisan yang bermutu. Di zamannya, tidak ada media gagasan yang mampu menyamai Kabarpress. Sekarang, blog ini mati. Tidak ada kritik, tidak ada yang membaca, dan mungkin tidak ada lagi yang mengelola. Sangat disayangkan. Jika bukan karena menurunnya tradisi intelektual di IMM, tidak mungkin blog ini kehilangan suksesor. PC IMM Surakarta, tidak diragukan lagi, pernah memiliki tradisi keilmuan yang dahsyat. Jurnal Pelopor, Majalah Cendekia, dan Jurnal Ikatan adalah buktinya. Akan tetapi nasibnya sekarang tak jauh beda dengan Kabarpress. Di PC IMM Semarang, pernah ada sekolah pemikiran. Materi filsafat, baik itu Barat atau Islam dibahas disana. Selain itu, pernah juga muncul jurnal pemikiran. Sayang sekali, penulis belum menemukan tanda kejelasan nasibnya. Meskipun hanya sedikit, tiga contoh ini sudah cukup merepresentasikan mandegnya tradisi keilmuan di IMM Jawa Tengah.

Maka treatment yang paling strategis agar visi pemberdayaan masyarakat IMM Jateng dapat diterjemahkan baik dalam wacana dan aksi nyata adalah revitalisasi tradisi keilmuan. Agenda revitalisasi tradisi keilmuan mungkin memiliki efek yang cukup berjarak bila langsung dikaitkan dengan visi pemberdayaan masyarakat warga. Akan tetapi mengingat kondisi eksternal dan internal yang ada, agaknya itu menjadi salah satu jawaban yang memuaskan.

Tumbuh kembangnya tradisi keilmuan di IMM dihambat oleh 2 faktor, yaitu eksternal dan internal. Kampus adalah lingkungan eksternal yang paling dekat dengan IMM. Celakanya, kampus tidak lagi dapat diandalkan sebagai ruang olah pikir dan pengembangan kapasitas intelektualitas. Kecenderungan sekarang kampus justru menjadi seperti pasar jual beli ijazah. Mereka yang punya uang, boleh dapat ijazah tanpa harus repot-repot menjadi pintar terlebih dahulu. Kampus memaksa mahasiswa memenuhi tugas makalah, bukan memaksa mahasiswa membuat makalah. Karena itulah Heru Nugroho mengatakan bahwa kampus lebih dekat maknanya dengan tempat pendidikan, bukan institusi pendidikan (dalam Taufik Abdullah (Ed.), Ilmu Sosial Dan Tantangan Zaman, 2012: 111-128)

Menjauhnya budaya olah pikir dari kampus berdampak langsung pada IMM. Tradisi membaca, menulis, diskusi yang seharusnya bisa dipaksakan di kampus, praktis harus diambil alih oleh IMM. Meski demikian, tugas ini tidak mudah dipikul oleh IMM. Sebab IMM tidak memiliki perangkat daya paksa yang legal (legal enforcement) untuk memaksa para kader untuk membaca, menulis, diskusi. Ini berbeda dengan kampus yang memiliki seperangkat metode disiplin reward and punishment baik itu dalam bentuk nilai atau drop out. IMM tidak memiliki itu.

Hambatan kedua berasal dari internal organisasi itu sendiri. Ada kecenderungan IMM terjebak pada rutinitas organisasi. Agenda-agenda seperti rapat rutin, musyawarah kerja, mengadakan Masta, penjaringan kader baru, taddabur alam, pengadaan sekretariat, nyaris menjadi prioritas utama dalam kehidupan organisasi. Penulis tidak mengatakan itu tidak penting. Tetapi akan menjadi masalah jika tradisi keilmuan lantas tidak diprioritaskan atau bahkan ditinggalkan.

Selain itu, kehidupan berorganisasi lebih peka pada urusan-urusan yang sifatnya politis struktural. Ini tercerminkan ketika agenda Musycab atau Musyda. Dalam acara-acara seperti itu, banyak sekali kader datang dengan semangat membara baik untuk mengomentari LPJ atau mendukung calon ketua/formatur idamannya. Namun paska itu, gaung semangatnya hilang ditelan bumi. Atmosfer politis seperti ini sebaiknya enyah dari IMM. Sebab logika politik struktural hanya akan menumbuhkan dan menyebarkan virus-virus kebencian di antara sesama kader. Jika ini terjadi, agenda revitalisasi keilmuan akan macet. Dan memang, logika politik praktis dan gerakan ilmu tidak selamanya berkawan.

Hambatan eksternal-internal inilah yang mengikis tradisi keilmuwan di IMM. Oleh karena itu, 2 hambatan itu harus diatasi. Caranya pertama, mengingat kampus tidak bisa diandalkan, maka tradisi keilmuwan seperti membaca menulis dan diskusi harus benar-benar digenjot di level komisariat. Di sini, pimpinan komisariat tidak perlu terbebani untuk memikirkan tentang kedalaman materi. Yang harus dipikirkan adalah tradisi. Konsep materi, berikan pada cabang. Kedua, setiap komisariat hendaknya memiliki sistem pendisiplinan yang mengarahkan anggotanya agar terbiasa untuk membaca, menulis dan diskusi. Ketiga, pimpinan cabang memfasilitasi pelatihan, mentransformasikan dan menerjemahkan paradigma keilmuan yang digodok di DPD IMM kepada pimpinan komisariat. Keempat, logika politik struktural harus benar-benar diminimalisir di IMM. Untuk menghilangkannya, sepertinya tidak mungkin. Sebab, dimanapun organisasi hampir selalu memiliki hajat suksesi reorganisasi. Maka yang mungkin adalah mengganti atmosfer wacana “siapa dan darimana yang harus ada dipucuk pimpinan” dengan “pemikiran seperti apa yang ada di dalam otak para calon pucuk pimpinan” dan “calon berpemikiran seperti apa yang harus ada di pucuk pimpinan”.

Empat langkah itu adalah teknis belaka. Sehingga bisa dimodifikasi atau dirubah asal tidak lari dari agenda. Membaca, menulis, diskusi harus menjadi kegiatan wajib di IMM. Tidak boleh tidak. Ketiganya mesti dilakukan secara berbarengan. Membaca mampu mendorong munculnya ide-ide kritis. Menulis mampu memperkuat daya kreatif, menyusun argumentasi dengan hati-hati, dan memberi peluang mensistematisasi gagasan. Sementara itu diskusi dapat dijadikan ruang memperdalam ide gagasan dan melatih berpikir secara cepat. Menjalankan ketiga hal ini secara rutin adalah upaya kecil namun memiliki dampak yang besar pada masa depan Indonesia. Bukankah ribuan mil berlari selalu dimulai dari satu langkah yang sederhana?

Dari uraian panjang di atas, maka jelaslah sudah, tugas IMM dalam mengisi kemerdekaan Indonesia adalah dengan mengembalikan demokratisasi Indonesia ke jalur yang benar. Dan untuk itu, peta jalannya adalah mengagendakan penguatan masyarakat warga sebagai corpus pergerakan. Strateginya adalah merevitalisasi tradisi intelektual di IMM. Sedangkan taktiknya adalah memerdekakan organisasi dan diri sendiri dari hambatan eksternal dan internal yang telah diuraikan di atas.

No comments:

Post a Comment