Tuesday, November 27, 2012

KONFERENSI BANDUNG: INTERNASIONALISME YANG NASIONALISTIK


Zamzam Muhammad Fuad 




Pendahuluan
Pada mulanya adalah kolonialisme. Pada abad dua Masehi, kekuasaan Romawi telah mengkoloni sebagian belahan dunia dari Armenia sampai lautan Atlantik. Sementara itu, pada abad tiga belas Masehi, bangsa Mongol mampu memperlebar kekuasaan koloninya dari Timur Tengah sampai Cina. Selanjutnya, pada abad lima belas, kerajaan Vijaynagara mampu menaklukkan berbagai kerajaan di India Selatan. Tiga abad kemudian, kerajaan Usmani Turki dapat meluaskan wilayah kekuasaannya sampai pada wilayah Balkan dan sebagian besar Asia (Loomba, 2003: 3).

Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Amerika, Rusia, Jepang, juga merupakan kekuatan imperial sepanjang abad kesembilan belas. Inggris dan Prancis saja telah menguasai wilayah yang menakjubkan, merentang dari kanada, australia, selandia baru, amerika utara, amerika selatan, kepulauan karibia, afrika, timur tengah, daratan India, dan Asia Tenggara (Said, 1995: 36). Edward Said mencatat bahwa hingga 1914, Eropa telah menjadikan 85% permukaan bumi sebagai wilayah jajahannya (Said, 1995: 38). Lebih parah lagi, imperialisme Amerika hingga saat ini telah menguasai hampir seluruh wilayah di dunia. Oleh karena itu semua, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah kolonialisme dan imperialisme. Inheren dengan itu, semangat untuk menjadi bangsa yang merdeka sudah menjadi darah dalam sejarah peradaban manusia.

Tidak ada satupun negara bangsa yang tidak merindukan kedaulatan. Kerinduan pada kedaulatan memunculkan api semangat bangsa-bangsa untuk keluar dari belenggu penjajahan oleh bangsa lain. Petikan pledoi M. Hatta pada pengadilan Den Haag mencerminkan hal tersebut: “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain!”. Semangat kedaulatan, seperti yang terekspresikan dalam pledoi Hatta, dirasakan oleh hampir semua bangsa.
Terkait dengan hal di atas, Konferensi Bandung 1955 merupakan titik sejarah yang mengekspresikan semangat dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk keluar dari cengkeraman penjajahan, baik itu penjajahan identitas, penjajahan politik, dan penjajahan ekonomi. Konferensi Bandung menawarkan sebuah konsep tatanan dunia baru yang saya sebut sebagai internasionalisme nasionalistik. Internasionalisme nasionalistik secara garis besar adalah kerjasama antara bangsa-bangsa, baik itu di bidang ekonomi, politik, dan budaya, tanpa melucuti kedaulatan setiap bangsa.

Hari ini, seluruh manusia sedang menyaksikan sebuah tatanan dunia yang tidak adil dalam bungkus globalisasi. Globalisasi merupakan wajah internasionalisme tanpa peduli pada kesejahteraan dan kedaulatan bangsa-bangsa. Mengingat hal ini, Konferensi Bandung 1955 perlu kembali dipelajari dan dijadikan pelajaran, tidak hanya bagi bangsa di Asia atau Afrika, tapi di dunia.

Konferensi Bandung 1955: Politik Identitas Bangsa-bangsa Asia Afrika
Konferensi Bandung 1955 tidak hanya berbicara tentang masa depan kerjasama politik dan ekonomi antara negara Asia Afrika saja. Lebih dari itu, Konferensi Bandung adalah ajang bagi bangsa Asia Afrika untuk mendongkrak identitasnya dalam percaturan masyarakat global. Sebab, sudah sejak sekian lama, bangsa-bangsa “selatan” mengalami diskriminasi identitas yang dilakukan oleh bangsa-bangsa “utara”. Lantas, apa kaitan antara diskriminasi identitas dengan kolonialisme?

Secara teoritik, beberapa ahli mengatakan bahwa diskriminasi identitas bangsa lain adalah ancangan awal yang mesti dilakukan oleh penjajah (colonizer) sebelum melakukan subordinasi politik dan ekonomi atas negara jajahan. Seperti yang diungkapkan oleh Robertus Robert: agar penjajahan dapat dilakukan, maka pihak penjajah mesti terlebih dahulu harus menyematkan suatu identitas ras yang inferior kepada sang terjajah (Robert, 2009: 25)

Dari sudut pandang penjajah, identitas inferior bangsa lain dengan sendirinya akan menjadi justifikasi untuk mengacak-acak kedaulatan bangsa lain dalam bungkus “misi pemberadaban”. Dalam bahasa Edward Said, inilah yang dinamakan dengan “filantropi imperialis”. Sementara itu, dari sudut pandang terjajah, identitasnya yang inferior akan memunculkan perasaan tertolong, membutuhkan, memohon dominasi (Said, 1995: 40). Perasaan ini dengan sendirinya akan memunculkan keyakinan dalam benak kaum terjajah bahwa kolonisasi bukanlah hal yang menyakitkan (Said, 1995: 50). Praktik inferiorisasi identitas bangsa oleh bangsa lain ini disebut Said sebagai dreadfull secondariness (penomorduaan yang mengerikan). Praktik inilah yang juga dilakukan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia.

Pada era kolonial, bangsa Indonesia mengalami inferiorisasi identitas oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh pemerintah kolonial Belanda, inferiorisasi identitas ini dilakukan melalui: 1) kebijakan kependudukan dan 2) memanipulasi sistem pendidikan pribumi.

Inferiorisasi identitas bangsa Indonesia yang dilakukan oleh Belanda terlihat secara nyata dalam RR 1854 (Regelings Reglement 1854). Dalam RR termaktub bahwa penduduk Hindia Belanda terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu Erupeanen (keturunan Eropa), Inlanders (pribumi) dan Vreemde Oosterlingen (keturunan Timur Jauh: Jepang, Tionghoa, China).

Yang menjadi persoalan adalah bahwa pembagian ini juga menentukan stratifikasi sosial diantara ketiga kategori tersebut. Inlander menempati posisi juru kunci dibandingkan dengan yang lain. Alasannya tidak lain karena terdapat sebuah anggapan –meskipun tersirat, namun banyak diterima oleh orang-orang Belanda– bahwa ras inlander merupakan ras budak, monyet, pemalas, bodoh, terbelakang dan rendah (Robert, 2009: 25).

Selain melalui kebijakan kependudukan, inferiorisasi juga dioperasikan melalui manipulasi sistem pendidikan. Mestika Zed menulis bahwa sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda tidak lebih dari upaya pemerintah kolonial untuk melakukan inferiorisasi identitas. Zed menjelaskan bahwa apa yang diajarkan kepada bumiputra kala itu dipenuhi dengan kata-kata celaan terhadap bumiputra, seperti wild (liar), lui (pemalas), bijgelovig (takhayul), ruw (kasar), wreed (kejam), barbaar (biadab), dom (bodoh), bloeddorstig (haus darah), dan seterusnya” (Zed, 1991: 24-25).

Hampir setiap bangsa terjajah mengalami inferiorisasi serupa. Bangsa India, misalnya. Bangsa India mengalami inferiorisasi oleh pemerintah Inggris dengan cara dipaksa untuk membaca karya sastra berbahasa Inggris. Gayatri C. Spivak menyebutkan bahwa masuknya bahasa Inggris melalui karya sastra telah menyebabkan tersingkirnya pengetahuan-pengetahuan ulayat dan inferioritas mental bangsa India. Spivak menyebut praktik ini sebagai ‘epistemic violence’ (kekerasan epistemik). Konsep ini menerangkan tentang bagaimana pengetahuan Barat atau epistemologi Barat digunakan oleh pemerintah kolonial agar praktik-praktik kekerasan politik, ekonomi dan militer yang dilancarkannya terhadap negara koloni dapat dibenarkan (dalam Morton, 2003: 18).

Selain Spivak, Gauri Viswanathan –seorang teoretikus pascakolonial asal India– juga menyebutkan bahwa pendidikan Inggris di India bukanlah proyek pemberadaban masyarakat koloni. Lebih dari itu, pendidikan Inggris di India justru makin menguatkan dominasi dan hegemoni Inggris di India (dalam Morton, 2008: 26).

Semua itu menunjukkan bahwa kolonisasi telah menyebabkan runtuhnya mental bangsa jajahan. Mereka merasakan inferioritas identitas yang sedemikan dalam. Dengan demikian, salah satu cara bagi bangsa yang ingin merdeka adalah memulihkan inferioritas identitas kebangsaannya. Atau dengan kata lain, keberhasilan sebuah bangsa dalam mencapai kemerdekaan bergantung pada kemampuan bangsa tersebut untuk mengatasi inferioritas identitasnya.

Perjuangan untuk mengangkat identitas inilah yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang berkumpul dalam Konferensi Bandung 1955. Pengakuan de jure eks-penjajah terhadap kemerdekaan eks-bangsa jajahannya di Asia Afrika tidak akan memiliki makna apapun jika identitas bangsa Asia Afrika tetap dipandang sebelah mata. Oleh sebab itu, dapat dipahami mengapa isu kesetaraan derajat identitas antar bangsa menjadi salah satu pokok pembahasan penting dalam Dasasila Bandung. Hal inilah yang tercermin dalam sila ke 3 Dasasila Bandung: “Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Konferensi Bandung merupakan sebuah politik bangsa-bangsa merdeka yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan identitas antar bangsa. Tegasnya, Konferensi Bandung merupakan politik identitas.

Proyeksi Menentang Neo-kolonialisme dan Neo-Imperialisme
Konferensi Bandung tidak hanya digunakan sebagai panggung bangsa Asia Afrika untuk memulihkan identitasnya. Lebih dari itu, Konferensi Bandung juga merupakan reaksi atas perekonomian global yang tamak dan tidak berpihak pada negara baru merdeka.

Kemenangan Amerika dan Russia dalam Perang Dunia II menyebabkan dunia ini terbelah menjadi 2 bagian: blok barat dan blok timur. Masing-masing blok berusaha untuk memantapkan kekuatan politik dan ekonominya dengan cara membuat jaringan antar negara yang berporos pada dua kutub tersebut. Kedua kutub sama-sama berjanji akan memulihkan kondisi politik ekonomi bangsa yang baru merdeka. Namun, banyak para pemimpin negara yang skeptis terhadap tatanan dunia yang demikian ini. Alih-alih mensejahterakan, konstelasi politik global dwipolar ini dipandang dapat memicu pecahnya perang nuklir (Hersri, 2005: 7).

Selain itu, beberapa pemimpin negara tersebut juga waspada terhadap adanya kolonialisme bentuk baru yang berpotensi mengangkangi kedaulatan negara. Dalam bahasa soekarno, tatanan dunia yang seperti ini disebutnya dengan istilah Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dalam pidatonya saat membuka Konferensi Bandung 1955, Soekarno menyeru pada seluruh hadirin bahwa kolonialisme memiliki penampilan baru dalam mengontrol ekonomi, mengontrol pengetahuan, dan menghadirkan “komunitas alien” yang kemudian ditanam di dalam negara (dalam Chatterjee, 2005: 487)

Kewaspadaan terhadap kolonialisme bentuk baru ini memancing peserta konfernsi untuk memikirkan kembali kerjasama dengan negara imperial macam Amerika dan Rusia. Ada dorongan dalam benak pemimpin negara baru untuk menjaga jarak dengan negara-negara imperial tersebut. Masuk dalam polaritas politik global justru akan menggadaikan kedaulatan negara yang baru merdeka. Seperti yang diungkapkan oleh Hatta:
namun haruskah kita orang indonesia ... membuat pilihan pro Rusia atau pro Amerika?... pemerintah tetap berpendapat bahwa sikap yang harus kita ambil adalah sikap yang menjamin bahwa kita tidak menjadi objek dalam arena politik internasional. Lebih baik kita terus menjadi subjek dengan hak untuk menentukan posisi kita untuk berjuang demi tujuan kita sendiri dan demi tujuan indonesia yang merdeka penuh (dalam Ghani, 1995: 25). 

Kondisi ini membawa sebuah problematika dilematis tersendiri bagi negara baru merdeka. Di satu sisi hendak mempertahankan kedaulatan, namun di sisi lain mereka belum memiliki kekuatan infrastruktur ekonomi yang cukup tangguh untuk keluar dari polarisasi kekuatan global tersebut. Oleh karena itu, muncullah gagasan untuk membentuk tatanan perekonomian global baru yang mampu mengusahakan kerjasama antar bangsa dalam bidang ekonomi tanpa harus menggadaikan kedaulatan negaranya. Sebuah kerangka hubungan internasional yang nasionalistik menjadi signifikan didiskusikan. Terkait dengan hal ini, Konferensi Asia-Afrika menyiapkan pondasi kerjasama antara bangsa-bangsa yang baru merdeka.

Kebanyakan dari negara peserta konferensi bandung 1955 adalah eksportir dan importir komoditas pertanian utama. Ini adalah modal untuk membangun kerjasama di sektor ekonomi. Di tengah-tangah agenda, konferensi ini membahas kemungkinan kerjasama antara bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk menstabilkan harga komoditas primer (Chatterjee, 2005: 489). Kalau kerjasama ini dapat dibangun, bargaining position bangsa Asia Afrika dapat terangkat secara signifikan dalam ekonomi politik global.

Selain itu, kekuatan imperialisme Eropa, Amerika, dan Rusia sangat bergantung pada jalur perdangan yang melewati banyak negara Asia dan Afrika. Apabila jalur perdangan ini dapat dikelola, dimanfaatkan, tentu keuntungan besar bagi negara Asia dan Afrika. Saking kelewat penting, Soekerano menyebut jalur ini sebagai garis kehidupan (liveliving). Ia memanjang dari Selat Gibraltar, masuk ke Laut Tengah, turun ke Terusan Suez dan Laut Merah, dan mengalir lewat samudra Hindia di Timur, kemudian melintasi laut cina selatan dan hingga laut jepang (Hersri, 2005: 5).

Namun, fakta bahwa tidak ada kerjasama ekonomi lanjutan yang konkrit setelah konferensi Bandung menunjukkan bahwa impian untuk membentuk jaringan ekonomi baru menjadi terlihat kurang realistis. Namun demikian, berkumpulnya para pemimpin dari negara baru merdeka telah memberikan simbol perlawanan terhadap kerjasama global yang tidak adil (Ghani, 1995: 27)

Refleksi dari Bandung: Internasionalisme yang Nasionalistik
Perjuangan yang tak kenal lelah telah membawa bangsa-bangsa di Asia Afrika ke depan jembatan emas kemerdekaan. Pintu kedaulatan telah dibuka oleh kemerdekaan. Namun, konstelasi politik global yang dicirikan dengan polaritas Amerika dan Rusia membawa kewaspadaan tersendiri bagi negara-negara baru tersebut. Terperosok kembali dalam kolonialisme bentuk baru, merupakan ancaman bagi negara-negara baru ini. Ditambah lagi apabila satu blok saja mendapat dukungan yang sama-sama kuat, maka dunia ini akan berada dalam kondisi berbahaya. 

Dunia yang berbahaya inilah yang menjadi tantangan bagi Asia Afrika untuk mewujudkan perdamaian di anatara bangsa. Teringat pada pesan soekarno, “we are living in a world of fear, fear the futuce, fear of hydrogen bomb, fear of ideology”(dalam chatterjee, 2005: 496). Oleh karena itu, Konferensi Asia Afrika ditantang untuk mewujudkan sebuah koeksistensi perdamaian di antara negara bangsa. Di akhir konferensi, di temukanlah sebuah formula untuk mencapai perdamaian dunia yang dinamakan Dasasila Bandung. Meskipun ada sepuluh sila, Hersri Setyawan memberikan perasan dari ke 10 sila tersbut: 1) menjalin kerjasama dalam bidang khususnya pertanian dan kebudayaan. 2) menjaga HAM. 3) mencarikan jalan keluar bagi negara belum merdeka. 4) untuk mempromosikan perdamaian dunia dan kerjasama (Hersri, 2005: 7).

Dari Bandung 1955 masyarakat dunia dapat belajar bahwa hubungan internasionalisme yang nasionalistik dapat menjadi terobosan baru dalam wacana hubungan internasional saat ini. Mengingat, globalisasi telah muncul dengan wajah buruknya.

Dari bandung 1955 masyarakat dunia bisa mengerti bahwa konferensi Bandung merupakan ajang penegasan negara yang baru merdeka untuk lepas dari Inferioritas identitas dan meraih kedaulatan secara penuh. Mengingat banyak negara Asia Afrika yang sudah mulai berhasil dalam pembangunan, maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa konferensi Bandung merupakan politik identitas yang genuine.

Konferensi Bandung telah memberikan sebuah rute atau trajektori pandang baru terhadap politik global. Konferensi Bandung hendak melepaskan prasangka rasial yang telah melekat sejak berabad-abad lalu dalam hubungan antar bangsa. Selain itu, konferensi Bandung hendak melepaskan diri dari dualisme barat dan timur. Seperti yang dikatakan oleh Hersri Setiawan, konferensi bandung menawarkan jalan ketiga hubungan antar bangsa (hersri, 2005: 7).

Konferensi bandung 1955 menunjukkan pada masyarakat dunia bahwa nasionalisme Indonesia merupakan titik tolak menuju internasionalisme. Sebaliknya, internasionalisme Indonesia adalah internasionalisme yang nasionalistik. Atau dalam istilah Soekarno, “nasionalisme yang tumbuh di dalam taman sarinya internasionalisme” (Soekarno, 1945) Gagasan inilah yang dituangkan dan dimonumentasikan dalam Konferensi Bandung 1955. Wawasan nasionalisme barat yang menganggap bangsa sendiri lebih baik dibanding yang lain, juga sudah mulai mendapat tentangan dari banyak bangsa di dunia.

Sebagai penutup, sangat layak rasanya jika masyarakat dunia mencermati kembali catatan yang diberikan oleh All India Peace and Solidarity Organization (AIPSO): “We owe a lot to Bandung. Most of all we owe our people the commitment and courage to carry forward the unfinished tasks, so that our freedom will flourish in peace and plenty” (AIPSO, 2005: 20).


DAFTAR PUSTAKA

AIPSO, 2005, We Owe A Lot Bandung, Dalam Rhetinking Solidarity In Global Society. Diedit oleh Darwis Khudori. Yogyakarta: UGM.


Chatterjee, Partha., 2005., Empire and Nation Revisited: 50 Years After Bandung., dalam Jurnal Inter-Asia Cultural Studies, vol 6, no. 4. London: Routledge.


Ghani, Ruslan Abdul., 1995., Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia Tenggara, Yogyakarta: Duta Wacana University Press


Loomba, Ania., 2003., Kolonialisme/Pascakolonialisme, diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang Budaya.


Mestika Zed, Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan, Sejarah 1 (1991): 24-25.


Morton, Stephen., 2003., Gayatri Chakravorty Spivak, London: Routledge.


Morton, Stephen, 2008., Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas & Kritik Penalaran Pascakolonial, diterjemahkan oleh Wiwin Indiarti, Yogyakarta: Pararaton.


Robert, Robertus., 2009., Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer, dalam Prisma: Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi, 28, no. 1. Juni.


Said, Edward., 1995., Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.


Setiawan, Hersri., 2006., Learning From History: The Bandung Spirit, dalam Rhetinking Solidarity In Global Society. Editor Darwis Khudori. Yogyakarta: UGM.


Soekarno, Pancasila, Pidato yang Disampaikan Dihadapan BPUPKI 1 Juni 1945.

No comments:

Post a Comment