Wednesday, November 28, 2012

MENYOAL IDEOLOGI DALAM KONTEKS KETAHANAN NASIONAL

Zamzam Muhammad Fuad

Secara umum ideologi didefinisikan sebagai sebuah sistem ide yang mengobsesi seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan atau merespon lingkungannya. Dari penjelasan tersebut kita dapat menemukan bahwa ideologi membedakan dirinya dengan tindakan. Ideologi berada dalam alam pikiran. Sedangkan tindakan merupakan aksi nyata seorang manusia atau kelompok. Terlepas dari definisi tersebut, ideologi menjadi sesuatu hal yang menarik dikaji dalam ilmu sosial karena sifatnya yang mampu untuk mendikte tindakan dan mengarahkan manusia dalam merespon lingkungannya.

Manakah yang terlebih dahulu? Ideologi dulu atau hubungan antar manusia dulu?
Dalam kajian mengenai ideologi, tidak ada pertanyaan yang paling mengundang polemik selain “darimana asal datangnya ideologi?” apakah ideologi muncul belakangan setelah praktik dan pengalaman manusia dalam mengada di dunia? Terkait dengan pendapat ini, gagasan Marx merupakan contoh par exellence. Ataukah kita lebih percaya pada pendapat yang sedikit platonik bahwa ideologi dapat didatangkan terlebih dahulu sebelum manusia mengenal lingkungannya atau sebelum manusia berinteraksi dengan manusia lainnya? Berdasarkan asumsi bahwa ideologi dapat menjadi alat rekayasa sosial, banyak teori-teori pendidikan yang percaya pada pendapat terakhir.

Faktanya, dan saya juga memercayai, bahwa kedua pendapat di atas sulit dijangkar antara satu dengan lainnya. Hubungan antara keduanya bersifat dialektis namun tidak deterministik. Ibarat hubungan antara bahasa dan realitas. Bahasa merupakan abstraksi dari realitas, sekaligus bahasa memiliki kapasitas untuk mendikte penampakan sebuah realitas.

Sebagai awalan, mari kita berbicara mengenai genesis ideologi kapitalisme dan sosialisme. Dawam Raharjo pernah mengajukan sebuah pertanyaan “mengapa pada abad 19 ideologi liberalisme dapat tumbuh subur di Inggris, sedangkan kurang berkembang di Jerman yang cenderung subur untuk ideologi komunitarian yang menekankan pada proteksi terhadap pasar?” Menurut Rahardjo, perbedaan waktu kemunculan industrialisasi di kedua bangsa ini merupakan penjelasan yang paling memungkinkan untuk menjawab pertanyaan diatas. Industrialisasi di Inggris yang lebih awal muncul daripada di negara manapun telah berhasil memacu produksi bahan baku. Ancaman over produksi menjadi pendorong munculnya gagasan ide pasar bebas. Sedangkan di Jerman, yang industrialisasinya muncul di belakang Inggris, tengah berhadapan dengan serbuan produk industri Inggris. Kondisi material semacam ini mendorong munculnya ide tentang komunitarianisme dan proteksi pasar. (Rahardjo, 1992)

Dari kasus di atas jelas terlihat bahwa munculnya ideologi sangat bergantung pada aspek material seperti industrialisasi. Dengan kata lain, hubungan antar manusia atau manusia dengan lingkungannya menjadi faktor penting yang mendikte wajah ideologi. Atau dengan kata lain, ideologi tunduk pada suatu hal yang lebih material. Dalam bahasa Marx, ideologi adalah suprastruktur yang bentuknya bergantung pada dinamika infrastruktur yaitu hubungan produksi antar manusia.

Namun keyakinan bahwa ideologi bergantung pada kondisi material belaka, tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Kita tentu ingat bagaimana wajah perekonomian Indonesia era Soekarno yang sangat anti utang, berbalik arah menjadi sangat pro utang di bawah rezim Soeharto. Mengapa perekonomian Indonesia di era Soekarno yang sangat anti pasar, berubah drastis menjadi pro pasar di era Soeharto? Ada sebuah analisis menarik yang banyak diterima oleh banyak ilmuwan sosial: berubahnya praktik perekonomian Indonesia disebabkan karena adanya penetrasi ideologi neoliberalisme di sekujur institusi kebijakan perekonomian Indonesia. Awalnya, ideologi neoliberalisme masuk melalui akademisi Indonesia yang kuliah di luar negeri (mafia berkeley), kemudian dipromosikan besar-besaran di kampus, kegiatan seminar dan media massa.  Hasilnya, terciptalah sarjana-sarjana ekonomi berpaham neoliberalisme. Praktis, neoliberalisme menduduki posisi sebagai “rezim kebenaran” yang mengelilingi sistem kebijakan perekonomian indonesia. (Mallarangeng, 2008) Oleh karena ideologi neoliberalisme telah mengepung birokrasi kebijakan, maka implementasi kebijakan ekonomi neoliberal tinggal tunggu waktu kelahirannya saja. Pelajaran yang dapat kita petik dari cerita di atas adalah bahwa, ideologi dapat mendikte lingkungan material. Gagasan dapat mendikte praktik. Teori dapat mengontrol realitas.

Di atas segalanya, poin yang akan saya garis bawahi adalah: 1) hubungan antara ideologi dan kondisi material manusia (praktik/tindakan) adalah dialektis, tanpa ujung tanpa pangkal. 2) Ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan kondisi material yang dicita-citakan, karena ideologi memiliki kapasitas untuk mendikte tindakan manusia dan mendikte manusia memahami lingkungannya. Dengan kata lain, ideologi merupakan alat rekayasa sosial. 3) meskipun dapat tercipta dengan sendirinya, ideologi dapat diproduksi, dan direproduksi.

Ideologi sebagai alat rekayasa sosial
Telah dikemukakan di awal, ideologi merupakan sistem ide. Oleh karena itu, menurut saya, ideologi tidak dapat dibatasi hanya pada satu atau dua macam ideologi saja. Mengatakan bahwa ideologi hanya ada 2, liberal atau komunitarianisme, tentu sangat mengaburkan fakta yang ada. Dari sini kita dapat menderetkan berbagai macam ideologi: ideologi islam, ideologi pancasila, ideologi integralistik, ideologi kemajemukan, dan sederet yang lain.

Banyak yang menyebut bahwa ideologi Indonesia adalah Pancasila. Pancasila lahir melalui jalur sosiohistoris masyarakat Indonesia yang kuat (Soekarno). Namun, seperti pernah dicontohkan oleh Soeharto, Pancasila juga dapat diposisikan sebagai alat rekayasa sosial. Terkait dengan alat rekayasa sosial, Marx pernah mengatakan bahwa ideologi merupakan “kesadaran palsu”, kesadaran yang diselundupkan oleh kelas borjuis ke dalam kesadaran kelas proletar untuk menghindari revolusi kelas. Alih-alih ingin mengatakan ideologi proletar yang lebih benar dibanding ideologi borjuis, yang ingin saya tekankan adalah fungsi ideologi dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial. Dalam konteks pemikiran Marx di atas, ideologi berfungsi sebagai alat rekayasa sosial untuk meredam perlawanan kaum proletar. Oleh karena itu, maka seharusnya Marx tidak dapat memberikan label palsu pada ideologi borjuis dan label asli pada ideologi proletar. Bukankah bagi Marx ideologi proletar juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial? Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan ideologi itu barang palsu atau bukan. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan ideologi sebagai alat rekayasa sosial, dan kemudian mengoperasikannya demi kesejahteraan bersama.

Kepentingan nasional sebagai basis produksi ideologi
Ideologi dianggap baik atau buruk ditinjau dari kepentingannya. Marx menganggap ideologi merupakan barang jahat karena ideologi yang berkembang pada saat itu dipandang merepresentasikan kepentingan kaum borjuis. Oleh karena itu, usul Gramsci, ideologi kaum borjuis tersebut mesti diganti dengan ideologi kaum proletar. Pada titik ini Gramsci mengharapkan agar ideologi kaum proletar melakukan counter hegemony atas ideologi kaum borjuis. Proyek intelektual Gramsci adalah menjadikan ideologi kaum proletar sebagai kebenaran yang diterima oleh umum (common sense).

Dari diskusi di atas, yang ingin saya tekankan adalah bahwa pembicaraan tentang ideologi tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang kepentingan. Penilaian terhadap ideologi dapat dilakukan dengan cara mengukur sejauh mana ideologi mengambil peran dalam mensukseskan sebuah kepentingan.

Proyek pembangunan nasional Indonesia dapat mengambil pelajaran dari diskursus di atas. Republik ini harus mampu menciptakan ideologi yang memperjuangkan kepentingan nasional. Selanjutnya, ideologi tersebut mesti diinjeksikan ke dalam –meminjam bahasa Gramsci– commonsense dengan cara sosialisasi pada seluruh masyarakat lewat –dalam bahasa Althusser– aparatus ideologis, yaitu institusi agama, sekolah, keluarga dsb.

Proyek ideologisasi ini tidak boleh hanya di lidah. Kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan Orde Baru yang melakukan proyek ideologisasi tanpa realisasi praktik. Kita mesti ulangi proyek tersebut dengan metode yang berbeda, yang lebih genuine. Bukan demi eksistensi rezim atau pemerintah, bukan demi kelas pemodal, melainkan demi kepentingan nasional.

Indonesia bukan hanya milik pemerintah. Indonesia juga bukan hanya milik individu bermodal besar. Satu orang sejahtera di tanah air ini, maka orang lain juga harus sejahtera. Visi inilah yang disebut kepentingan nasional. Dan kepentingan nasional inilah harus dikristalisasi dalam bentuk ideologi, yang kemudian dioperasikan ke dalam kesadaran seluruh rakyat indonesia.

Referensi
Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG, 2008

Rahardjo, Dawam. Pragmatisme dan Utopia. Jakarta: LP3ES, 1992

No comments:

Post a Comment