Sunday, January 28, 2018

PEKERJA RENTAN DI KAPITALISME PINGGIRAN

Zamzam Muhammad


Review buku: 
Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia  sejak 1980an
Penulis: Muhtar Habibi
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang

Kapitalisme akan gugur dengan sendirinya. Ia punya banyak kontradiksi yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Kontradiksi kelas pekerja misalnya. Kapitalisme membutuhkan berjubel proletariat untuk mengakumulasi kapital. Tapi, percayalah, kaum proletariat tidak akan tinggal diam. Lagian, siapa yang betah ditindas terus menerus. Kaum proletariat akan bersatu, bangkit bersama untuk melawan kaum borjuis. Dan Komunisme akan terbit, tepat saat kapitalisme tenggelam. Communism will win!

Namun kenyataannya, kapitalisme tidak mati-mati. Kapitalisme malah justru semakin ganas, trengginas dan beringas. Hukum dialektika kemenangan komunisme belum terlihat tanda-tandanya. Maka pertanyaan ini akan selalu menggoda: kenapa kaum proletariat urung bersatu bangkit bersama melawan kaum borjuis? Apa yang dilakukan oleh kaum borjuis untuk menghalangi kebangkitan kaum proletar itu?

Menurut Gramsci, kaum borjuis berhasil membius kaum proletar sehingga tidak memiliki kesadaran untuk melawan. Akan tetapi rupanya ada alasan yang lebih struktural. Yaitu karena semakin sedikit kaum proletar yang dapat diidentifkasi sebagai proletar aktif. Yang sekarang justru banyak ditemukan adalah kaum pekerja rentan atau yang dalam tradisi pemikiran marxis disebut sebagai surplus populasi relatif.

Sudah menjadi hukum umum bahwa semua kelompok/kelas/individu harus memiliki power untuk melawan. Demikian juga kaum proletar. Hanya mereka yang memiliki power yang dapat melawan kaum borjuis. Namun ternyata borjuis tidak takut lagi terhadap perlawanan kaum proletar.
Misal dalam suatu perusahaan ada demonstrasi karyawan. Apakah komisaris perusahaan ketakutan? Tidak. Karena komisaris perusahaan itu yakin, masih ada kok penganggur yang masih mau kerja di perusahaan ini. Maka komisaris itu tinggal memilih, mau menggantikan karyawan tukang protes itu dengan karyawan fresh dan masih nganggur, atau memindahkan perusahaan ke tempat yang memiliki banyak penganggur atau pekerja murah? Penganggur dan pekerja murah inilah yang masuk dalam kategori pekerja rentan.

Artinya, keberadaan kaum pekerja rentan ini berkontribusi dalam melanggengkan kapitalisme. Lalu bagaimana proses sosiologis terciptanya pekerja rentan ini? Bagaimana keberadaan kaum pekerja rentan di Indonesia? Dua pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam buku “Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia  sejak 1980an”.

Dalam tradisi marxis, surplus populasi relatif tercipta karena kapitalisme berhasil memisahkan manusia dari sarana produksinya. Inilah yang disebut dengan proletarianisasi.  Menurut penulis buku, Muhtar Habibi, dalam konteks Indonesia pasca kemerdekaan, proletarianisasi dimulai ketika kebijakan neoliberal digencarkan. Kebijakan neoliberal berhasil menggeser ekonomi berorientasi substitusi impor menjadi ekonomi berorientasi ekspor. Ekonomi orientasi substitusi impor ditandai dengan adanya kerjasama antara sektor pertanian dan industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Surplus pada sektor pertanian akan dialihkan untuk memajukan industri dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Akan tetapi ketika kebijakan neoliberal diterapkan, doktrin ekonomi menjadi berubah. Doktrin ekonomi neoliberal adalah melakukan efisiensi sambil mencari keuntungan dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu, suatu negara harus terlibat dalam jaringan pembagian kerja internasional agar mendapatkan keuntungan maksimal. Lantaran negara maju efisien dalam sector industri-manufaktur, maka negara berkembang (negara kapitalis pinggiran) harus mengambil bagian dalam sektor penyediaan bahan mentah. Dalam logika ekonomi seperti ini, pembangunan sector pertanian Indonesia menjadi dianggap kurang menguntungkan. Pertama, karena sector pertanian membutuhkan banyak sekali subsidi. Kedua, karena dunia internasional tidak butuh hasil pertanian untuk menjalankan industri-manufaktur. Maka kemudi ekonomi dibanting ke penyediaan bahan mentah industri seperti pertambangan dan perkebunan.

Perubahan orientasi produksi ini bukan tanpa masalah. Pasalnya, pada saat itu hampir separuh masyarakat Indonesia adalah pekerja di sektor pertanian. Lantaran sektor pertanian tidak lagi menjadi panglima, maka bisa dibayangkan berapa juta petani yang kehilangan pekerjaannya. Inilah proses proletarianisasi yang kemudian berujung pada penciptaan kaum pekerja rentan.

Sampai sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor produksi ekstraktif. Padahal Sritua Arief dan Adi Sasono sudah pernah mengingatkan bahwa sektor produksi ekstraktif sangat sedikit kaitannya dengan ekonomi domestik. Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi, namun jumlah pengangguran makin membengkak.

Jika ditarik lebih ke belakang, ekonomi ekstrakatif berorientasi ekspor juga pernah diterapkan pada tahun 1830, ketika kompeni Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Betul bahwa kebijakan itu bisa memberikan kekayaan pada kas pemerintah. Tapi kesejahteraan rakyat sama sekali tidak terangkat. Di sini kita tau, di bagian mana bangsa ini payah: belajar sejarah.

9 comments:

  1. Peresensi tidak melakukan upaya menjelaskan tentang apa itu pekerja rentan. Apa pekerja rentan itu saudaranya Pak Mar apa angga! Angga masuk masuk masuk

    ReplyDelete
  2. Aja ngomong pekerja rentan lah mas. Sadurunge kasus Glebak 30 AM Madrani diselesaikan

    ReplyDelete
  3. Saran utk pekerja rentan: "kuat dilakoni ora kuwat ditinggal ngopi"

    ReplyDelete
  4. Rereferensinya mumet enak ya mas

    ReplyDelete
  5. Peresensi suka alpukat angga?

    ReplyDelete